"NAH... ITU DIA! PEREMPUAN GAK TAHU MALU! ITU PASTI SELINGKUHANNYA...!" What the hell... Aku masih berdiri di ambang pintu. Beberapa pria menunjukkan wajah garang. Sementara Ratih terlihat geram. Entah apa yang terjadi. Aku melangkah mendekati mereka. Ingin bertanya, apa sebenarnya yang terjadi. Namun belum sempat aku mengeluarkan suara, sebuah tinju melayang ke pelipis hingga membuatku terdorong kebelakang. Shit! Jelas aku belum siap menerima pukulan secepat ini. "Dasar lacur! Jadi ini kelakuan kamu di belakangku, hah!" teriak seorang pria yang aku ingat sebagai suami Ratih. Ah tidak, mantan suami. Kulihat wajah geram Ratih. Wanita itu maju dan mengangkat wajahnya. "Heh Prasetyo! Urusan kamu sama aku apa, hah! Mau aku ngapain aja dibelakang kamu, juga bukan urusan kamu lagi. Kamu tuh gak tahu malu, atau apa? Bikin rusuh di tempat orang pakek bawak rombongan segala. Malu-maluin." "Jelas, ini menjadi urusanku karena kamu masih istriku! Seharusnya kamu yang malu. Tidur sama laki
Aurin? Ya. Wanita itu Aurin. Wajahnya nampak sumringah saat melihat kedatanganku. Dia berdiri dan segera menghampiri. "Ga? Dari mana aja? Kamu nggak keliatan beberapa hari ini. Aku pikir sakit." "Aku sehat kok. Cuma lagi ada urusan aja," ucapku setelah melepas helm. Aurin nampak tersenyum tipis. Keningku berkerut menatap wajahnya yang nampak kecewa. "Oh.. Pantes. Kemarin aku tungguin gak dateng-dateng. Lain kali kalau ada urusan, kabarin dulu ya. Biar aku nggak nungguin sampe kemaleman." Apa? Astaga... Aku lupa, kalau kemarin ada janji sama Aurin. Jadi gak enak sama nih cewek. Apalagi liat senyuman pahitnya. "Duh... Sorry ya, Rin." Aku berucap dengan hati tak enak. "Iya nggak papa." "Besok aku temenin sampai selesai deh. Seminarnya masih ada kan?" "Masih." "Yaudah. Besok aku jemput." Kulihat gadis itu tersenyum. Tidak sekaku tadi. Yah... Anggap saja sebagai penebus kesalahanku. Aku akan menemaninya seharian besok. ***"Aurin gak di ajak masuk?" Baru saja kaki melangkah m
"Muka kau kenapa merah gitu, Tih? Abis berantem?" tanya Mbak Nadia saat meliatku. Setelah seharian bekerja dengan gaji 50ribu rupiah. Aku menjemput Raka di rumah ibuku. "Iya. Abis berantem sama anjink," ucapku asal. "Anjink? Maksudmu Prasetyo?" Lah kok dia tahu? Aku mengangguk pelan. "Sialan! Mau aku bantu pecahkan kepala dia itu, Tih? Biar tahu rasa!" "Kepala siapa yang mau kalian pecahkan?" Kami berdua terkejut. Ibu mendengar ucapan Mbak Nadia. Aku langsung menatapnya mengisyaratkan bahwa dia tidak boleh bercerita apapun pada ibu. "Kepala anjink, bu.. " saut Mbak Nadia dengan santai. Aku menghela nafas lega. "Nggak ada kerjaan kalian, mau mecahkan kepala anjink." "Raka mana, bu?" "Ada. Abis mandi langsung tidur dia. Tega kamu ninggalin anak seharian. Nggak kasihan sama Raka," sungut ibuku. "Ratih kerja, bu.. " "Buat apa? Gaji suami kamu kurang? Ya, seharusnya kerja dirumah aja minta modalin bikin usaha kelontong. Biar anakmu tetap keurus." Aku diam saja. Entah harus me
Arga POVDibalik sikapnya yang dingin, ada hati yang rapuh. Aku mengerti. Dibalik sikapnya yang terkadang kasar, ada kelemahan yang dia sembunyikan. Atau mungkin faktor kerasnya kehidupan yang membuat moodnya berantakan. Ratih.Perempuan yang dua tahun lebih tua dariku. Terpaksa menerima jalan hidup yang tidak seberuntung wanita lain di luar sana. Aku melihat bagaimana dia menyayangi anaknya. Aku melihat sendiri bagaimana dia berusaha kuat dihadapan anaknya hanya agar anaknya tidak bersedih melihatnya di aniaya. Yang menjadi pertanyaanku... Kenapa suaminya tega menyakiti. Kenapa tega memilih wanita lain dan menyia-nyiakan wanita yang pernah bersimbah darah untuk melahirkan anaknya? Bukankah itu tidak adil? Saat aku menariknya masuk kedalam dekapan. Dapat kurasakan tubuhnya berguncang karena isak tangisnya. Dia tidak menolak, mungkin karena hatinya sudah terlalu sesak. Kubiarkan dia menumpahkan semuanya. Meski debar di dada mungkin bisa di rasakannya. Wanita yang malang. Aku m
"Sumpah! Aku nggak ngapa-ngapin," ucapku saat Ratih menjauhkan diri. Debar di dada masih terasa saat Ratih menindih tubuhku tadi. Wanita itu menyipitkan mata, masih menatapku curiga. "Terus ngapain kamu tiba-tiba ada disini?" "Numpang tidur. Semalem suara geledek kayak berasa mau kiamat, Tih. Aku takut." "Hah?" Ratih terperangah mendengar penjelasanku. Sejurus kemudian wanita itu menarik bajuku dan menyeretku keluar. "Pulang sana!" "Eh.. Kok gitu?" ucapku sedikit terhuyung. "Aku mau kerja. Mending kamu pulang.Suara geledek aja kamu takut, Sok-sok an mau ngelindungi aku dan anakku?" Brak, Ratih menutup pintu dengan kasar. Aku hanya mengusap dada pelan. Merasa di remehkan sekarang. "Belum bisa bayar, Mas?" Aku menoleh pada sumber suara, kemudian terkejut melihat seorang wanita dengan balutan tanktop dan hotpants. Dadanya nyaris menyembul keluar. "Astaga.... " "Kok astaga?" katanya heran. "Pakek baju yang bener, Mbak. Kaget saya." "Ini udah bener, kok. Masak iya, mau ngelo
"Tuh, kan sedih. Dari muka kamu aja keliatan kalau suka sama brondong itu." Mbak Nadia terkikik setelah mengucapkan kata yang menurutku konyol. Aku menatapnya kesal. "Apa sih Mbak. Ratih nggak ada suka sama tuh anak. Masih labil dia. Paling cuma penasaran aja sama Ratih." "Terserah deh. Ego kamu emang gak bisa di turunin sedikit," ucap Mbak Nadia. Di sela perdebatan kami. Terdengar suara keributan dari luar. Kegaduhan yang ternyata berasal dari geduran pintu kontrakan yang aku tempati. Samar-samar, suara teriakan seorang wanita dari luar. Memanggil namaku sekaligus mengumpati. "Keluar kamu Ratih! Dasar sialan! Gak tahu diri!" Aku dan Mbak Nadia saling menatap bingung. Siapa kiranya orang lancang yang telah berani meneriaki namaku. "Siapa Tih?" "Nggak tahu. Ratih juga penasaran," ucapku segera berdiri dan membuka pintu. Saat pintu terbuka, suara teriakan itu semakin jelas terdengar dan belum sempat aku mengingat wajahnya.. Plak, satu tamparan mengenai wajahku. Seketika aku
ARGA POVSudah hampir seharian aku menemani Aurin sejak kemarin. Seperti janji kami sebelumnya. Namun sialnya pikiranku tak luput dari Ratih. Wanita yang baru satu hari tidak kutemui. Rasanya rindu sekali. "Ga." "Hm?" Aku menoleh. Kusadari sejak tadi tak menanggapi ocehan Aurin. Sibuk mengemudi dengan pikiran melayang. Kami menuju jalan pulang. Maksudku mengantar Aurin pulang. "Kamu ada rencana nikah, kapan?" "Enggak tahu. Belum kepikiran sampe sana," ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Mobil berbelok ke arah kanan kemudian berhenti sebab kami telah sampai. Aku menunggu gadis itu turun, namun sepertinya masih ada yang ingin dia sampaikan. "Makasih udah nemenin aku hari ini. Dan untuk pertanyaan tadi... Kalau kamu berubah pikiran, Ada orang yang selalu nungguin kamu kapanpun kamu siap." Aku mengerti. Sebab itulah aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sejurus kemudian tanpa aku duga, Aurin menciumku. Tepat di bibir dengan lembut. Aku tidak menolak, namun tidak juga membalasn
Terdengar helaan nafas dari Bang Lukman. Kini dia menatapku teduh. Ah, pasti ada kotbah baru lagi. Aku membuang wajah, malas. "Mau statusnya berubah seperti apapun, tidak akan menjamin dia untuk tidak menjadi gunjingan orang lain, Ga. Yang namanya hidup gak akan bebas dari penilaian manusia," ucap Bang Lukman sembari menyentuh bahuku. "Reaksimu dalam menyikapi masalah wanita itu bisa saja memancing hal positif, pun dengan hal negatif. Kau bisa membuat masalahnya semakin berat, meski niatmu sebenarnya ingin menyelesaikan masalah wanita itu." Aku menoleh. "Salah satu contohnya. Kau bisa saja menjadi penyebab wanita itu menjadi gunjingan karena terlalu dekat denganya. Mantan suaminya bisa saja mengambil keuntungan dari hal itu, dan mereka bisa berhasil merebut hak asuh atas anaknya." "Terus... Arga harus gimana, Bang?" Bang Lukman hanya tersenyum tipis. Namun aku tahu, dia siap membantuku. Dengan caranya sendiri. ***RATIH POVHari berlalu begitu saja. Pekerjaanku semakin hari sem