Viona baru saja keluar dari restoran Nusantara tempat ia bekerja. Sesekali ia memutarkan lehernya karena sangat pegal memasak pesanan demi pesanan di restoran. Kartu cahsbeenya yang hilang juga menambah daftar kelelahannya hari ini karena ia harus membeli di pusat yang sangat jauh jaraknya.
Hari ini ia tidak pulang bersama dengan Kai karena sahabatnya sedang asyik melakukan kencan buta bersama pria yang ia temukan di aplikasi kencan.
Sesekali Viona merapihkan rambutnya yang terkena angin, malam ini angin sangat kencang hingga menusuk ke dalam tulangnya. Viona memutuskan untuk melipir ke mini market pinggir jalan untuk membeli kopi susu berharap bisa menghangatkan tubuhnya.
Saat menunggu barista meracik kopinya ia mendengar dari kejauhan ada suara orang yang sedang bertengkar.
“Dasar suami istri tidak tahu aturan, selalu bertengkar di depan toko kita,” gerutu kasir toko mini market dengan kesal karena sepertinya sepasang suami istri itu sering bertengkar di depan tokonya.
“Jadi berapa totalnya?” tanya Viona karena sudah hampir 1 menit dirinya berdiri tetapi tidak dilayani.
“Oh,,, eh maaf. Totalnya Rp35.000,” ucapnya dengan malu karena baru menyadari keberadaan Viona.
Saat hendak keluar dari mini market Viona melihat wujud dari sepasang suami istri yang sedang bertengkar, ia memperhatikan hingga tidak sadar ada anak kecil yang berdiri di sebelahnya lalu memegang ujung jari-jarinya.
Viona memasang wajah bingung karena kaget melihat anak kecil itu terlebih ia tidak mengenalnya sama sekali, anak perempuan kecil dengan rambut yang sedikit acak-acakan serta jaket yang sudah lusuh.
Ia menangis di sebelah Viona dengan air mata yang membanjiri pipinya hingga memerah, ia melihat ke arah kedua pasangan yang sedang bertengkar sepertinya anak perempuan ini adalah anak dari kedua pasangan itu.
“Ibu! Ayah!” seru anak perempuan itu seraya menunjuk kepada pasangan suami istri.
Seketika Viona teringat dirinya pernah merasakan hal yang sama persis seperti anak kecil yang berada di sebelahnya, untuk pertama kali Viona melihat kedua orang tuanya bertengkar. Kala itu ia belum mengerti alasan apa yang menjadikan kedua orang tuanya bertengkar ia hanya bisa terdiam dan menangis.
Ibu yang selalu lebih dominan memarahi ayah hingga mencaci makinya terkadang tidak mengenal tempat di rumah, di jalanan hingga di tempat ramai yang sudah pasti akan sangat membuat ayahnya malu.
Ia mengingat betul saat dirinya sudah beranjak remaja ada satu kalimat yang menjadi titik penting mengapa ayahnya selalu dimarahi oleh ibunya, kalimat itu sangat melekat diingatannya.
“Dasar kamu laki-laki miskin! Tidak bisa menafkahi saya dengan banyak, kamu itu hanya buruh pabrik! Menyesal saya pernah menikah dengan pria buruk seperti anda!”
Kemarahan demi kemarahan yang setiap hari Viona dengar menjadi trauma tersendiri baginya hingga umurnya yang sekarang, sesekali ia menetaskan air matanya karena sangat terbayang wajah ibunya yang sedang memaki ayahnya dengan kata-kata kasar.
Salah satu kalimat ibunya kepada Viona yang ia ingat dan terputar di dalam otaknya adalah “tidak usah menikah jika hanya merepotkan diri sendiri atau kamu akan menanggung beban pernikahan yang berat,” ucap sang ibu sambil membawa koper seraya melangkahkan kakinya ke luar rumah.
Tidak terasa ternyata Viona juga ikut larut dalam tangisan anak kecil itu ia mengelap air matanya menggunakan kedua tangannya karena membayangkan perasaaan anak kecil yang berada di sampingnya.
Saat Viona berumur 14 tahun itu adalah puncak dari segala kemarahan kedua orang tuanya terutama ibunya, ia beberapa kali mendengar bahwa ibunya mengucapkan kata cerai dengan lantang dari dalam rumah.
Viona yang kala itu baru saja pulang sekolah sambil membawa es krim kesukaanya langsung mematung mengetahui ibunya melayangkan surat perceraian tepat di depan wajah ayahnya.
“Tapi apakah kamu tega meninggalkan Viona sendirian?” ucap ayah dengan suara yang memelas.
“Saya akan tinggalkan anak itu dengan kamu, karena saya harus fokus mencari uang agar dirinya tidak hidup miskin bersamamu!”
Air mata menetes bersama dengan tetesan es krim yang ada di tangannya, Viona langsung berlari ke arah rumah Kai untuk mendapat perlindungan dan setidaknya tempat untuk menangis.
* * *
Emil bersikeras untuk tidak ingin dijodohkan alasan utama traumanya melihat sang kakak yang pernah gagal dalam pernikahan karena dijodohkan oleh kedua orang tuanya, kakanya sudah menikah 2 kali dan pernikahannya yang pertama gagal karena perjodohan dan keduanya merasa terpaksa menjalankan pernikahan.
Kakaknya bercerai setelah menempuh pernikahan selama satu tahun yang hanya di isi dengan kemarahan dan ketidak cocokan pada banyak hal, pertengkaran itu Emil lihat sendiri karena pada saat itu ia masih tinggal bersama dengan keluarganya.
Sesekali ia memergoki kakak perempuannya sedang ditampar oleh suami pertamanya karena masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik, kakanya ditampar karena tidak membuatkan kopi yang seperti suaminya inginkan.
“Dasar kamu laki-laki gila! Ceraikan saya sekarang!”
“Kamu pikir saya menginginkan pernikahan ini? Tidak, ini semua hanya ulah kedua orang tua kita yang hanya mementingkan perusahaannya untuk di merge! Kekayaan menjadi taruhan untuk meraka dan inilah cara mereka bertaruh membiarkan anaknya tersiksa oleh perjodohan sialan ini!”
Marina hanya bisa menangis menyesali keputusannya yang mau dijodohkan oleh kedua orang tuanya meskipun di pernikahannya yang kedua ia lebih bahagia dan mempunyai anak yang lucu karena ia menemukan pasangan hidupnya sendiri. Namun, luka itu masih ada dan menjadi trauma untuknya.
“Apakah aku harus seperti kak Marina yang harus merasakan keterpaksaan dalam pernikahan akibat perjodohan sialan itu?”
“Aku harus mencari pujaan hatiku sendiri agar tidak menjadi korban ayah dan ibu!”
Begitulah pemikiran Emil sekarang setelah menanyakan pada diri sendiri perihal memilih pasangan hidup, meskipun ia tidak tahu hal apa yang harus ia lakukan untuk menemukan pujaan hatinya karena beberapa kali ia mencoba dengan caranya sendiri selalu gagal.
“Lee, apakah kamu mempunyai ide untuk saya mendapatkan pujaan hati?” tanya Emil kini semakin membuat suasana di dalam mobil menegang.
“Mungkin bapak bisa menambah relasi dengan petinggi perempuan di perusahaan lain,” saran Lee. Bukan hal yang sulit untuk Emil berkenalan dengan petinggi perempuan di perusahaan lain, wajahnya yang tampan, hidungnya yang mancung serta tubuhnya yang kekar membuat siapapun akan terpana jika melihatnya.
Namun, Emil ingin menikah dengan wanita sederhana. Ia ingin memiliki hidup yang santai dan tidak dikelilingi dengan kesibukan pekerjaan selama hidupnya.
“Saya pikirkan terlebih dahulu. Apakah kamu sudah mempunyai kekasih?” tanya Emil karena sudah lama Lee tidak bercerita tentang kehidupan pribadinya kepada dirinya.
Lee tersenyum karena sebenarnya ia juga sangat canggung jika mendekati perempuan.
“Belum,” jawab Lee.
“Ah. Sudah lama kita tidak minum, malam ini ayo menginap di apartement saya,” ajak Emil disertaii dengan gelak tawa.
Viona baru saja keluar dari klub malam karena harus membawa Kai pulang ke apartemennya. Pekerjaannya yang banyak dan tenggang waktu yang sedikit adalah alasan utama Kai mabuk hingga tidak sadarkan diri.Dering telepon masuk ke dalam ponsel Viona, terlihat nama Kai pada layar kacanya.“Tolong jemput aku di klub--,” pinta Kai dengan suara yang tidak jelas dan berisik membuat Viona harus menaikan suaranya hingga 3 oktaf.Belum sempat Kai memberi informasi keberadaannya dimana, panggilan suara itu terputus membuat Viona semakin kebingungan.“Haduh, dasar orang dewasa merepotkan!” gerutu Viona karena kesal dengan Kai yang selalu mabuk hingga tidak sadarkan diri.“Ayah, saya keluar rumah dulu sebentar, harus menjemput Kai yang sedang mabuk berat di klub malam,” pamit Viona kepada sang ayah yang sedang menonton TV.Dengan pakaian seadanya Viona menaiki bus untuk mencapai klub malam, suara mobil yang menggerus jalan seolah menemani kekesalannya.Sesampainya di klub malam asap rokok dan bau a
Emil baru saja tiba di apartemennya pada pukul 3 pagi, Lee sebagai sekretarisnya tidak bisa tidur semalaman suntuk karena memikirkan bosnya yang baru pertama kali naik bus umum.“Selamat pagi, pak!” sapa Lee yang masih memakai piyama berwarna abu-abu dengan garis putih di lengannya.Lee memang terkadang tinggal di apartemen Emil, entah karena pekerjaan atau karena dirinya malas sendirian di apartemennya.“Haduh, berbicara biasa saja ini bukan kantor!” seru Emil sambil membuka sepatunya.Melihat wajah bosnya cerah dan bahagia membuat ke khawatiran Lee terhapus.“Apakah kamu merasa senang?”“Ya!”“Apa yang membuat dirimu senang dengan naik bus sendirian?” tanya Lee dengan penasaran.Emil yang saat langsung menuju ke dapur untuk membuat segelas teh hangat berusaha menjelaskan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.“Ada hal baru yang saya temukan di sana! Saya minta atur jadwal setiap minggu untuk naik bus sendirian!” perintah Emil kini sudah duduk di sebelah Lee.Ia langsung m
“Pak, sore ini ada pertemuan dengan investor dari Jepang,” ucap Lee sambil menyodorkan tablet hitam yang berisi proyek kerja untuk dibicarakan nanti.Emil memang sedang menggaet investor asal Jepang dan mengharapankan kerja sama yang baik untuk memuluskan bisnisnya. Ada beberapa list proyek kerja salah satunya adalah Emil ingin membuat produk makanan cepat saji yang bertemakan makanan dari berbagai provinsi di Indonesia untuk diproduksi di Jepang.Mobil Mercedes S class hitam pekat sudah siap di lobby, Lee sengaja mempertemukan bosnya dan investor asal Jepang itu ke salah satu restoran makanan Indonesia di daerah Jakarta Selatan meskipun tidak mewah tetapi cita rasa yang ditawarkan dari restoran ini sangat kental akan cita rasa tradisionalnya.“Nice to meet you,” ucap Emil sambil menjabat tangankan tangan kanannya kepada investor tersebut.Senyum merekah sudah terlihat di antara ke duanya, Emil sambil berharap cemas akan keputusan akhir dari perbincangannya. Pintu restoran sudah dibu
Mobil Mercedes S class hitam sudah terparkir dengan rapih di parkiran VIP apartemen Pacific Place, terlihat dari kaca spion depan raut wajah Emil yang kesal karena perjanjian kontraknya dengan investor besar dari Jepang tertunda hanya karena masalah sepele.“Sial!”Lee menundukan kepalanya, pasrah. Jika Emil sudah marah tidak ada satupun yang berani untuk menjawab perkataannya sekalipun Lee orang paling dekat dengannya di kantor.“Chef sialan itu. Arrgghh,,,” ucapnya geram sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Emil masih bergeming di posisinya, Lee langsung menekan lantai 27 untuk segera membawa bosnya ini ke dalam kamarnya. Otaknya berputar memikirkan cara untuk meredam amarah Emil, satu-satunya cara ampuh adalah membuatkan black coffe racikannya sendiri.Suara denting menandakan lift sudah sampai pada unit apartemen mewah Emil. Lee langsung segera menekan kode pada gagang pintu, mempercepat gerakan jarinya karena Emil semakin tidak bisa terkendali.“Saya mau besok sudah bertemu de
Marina mendorong pintu kaca ruangan Emil, kemudian masuk lalu menghempaskan tubuhnya dan belanjaan miliknya pada kursi coklat empuk yang ada di depan meja kerja adiknya.Hari ini Marina melipir sebentar ke kantor adiknya karena baru saja berbelanja menghamburkan uang suaminya, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan.“Apa kabar kamu? Semenjak kejadian terakhir saat makan malam tidak ada kabar sama sekali.”Marina membuka obrolan basa-basi tanpa mengetahui sang adik sedang diselimuti oleh amarahnya sejak kemarin, sambil menyodorkan satu pack strawberry manis dan tentu saja mahal karena strawberry ini berasal dari Korea.“Kabar baik. Hanya sedikit pusing.”“Mengapa?”“Proyek kerja tertunda dengan investor Jepang. Gossip tentang proyek baru yang gagal sudah menjalar ke telinga para investor membuat mereka menarik sahamnya dari perusahaan,” jelas Emil sambil mengunyah strawberry.“Kau tau karena apa?”Marina menatap mata Emil dengan penuh rasa penasaran.“Tanda tangan
“Saya mau tanya di mana supervisior anda?” ucap Emil dengan tegas kepada kasir di kedai coffe Bene.Kasir yang berjaga saat itu langsung gemetar terlebih saat pelanggannya menunjukan kartu nama yang merupakan CEO dari perusahaan cepat saji yang berada di seberang kedai.Tak sampai dua menit supervisior sudah berdiri di antara Emil dan Marina serta beberapa ajudan yang ia bawa ke kedai tersebut.“Di mana baristanya?”Ini memang masalah kecil tetapi untuk Emil yang sejak kemarin sedang diselimuti oleh amarahnya membuat emosinya mudah naik. Salah satu sifat Emil yang membuat orang lain tidak suka dengannya termasuk Lee dan kakaknya.Marina berusaha untuk memegang lengan kanan adiknya, mengusap dengan lembut agar amarahnya mereda karena sangat memalukan jika orang lain menilai CEO dari perusahaan SeaFood pemarah dan sangat arogan.Tidak lama kemudian Kevin datang dengan gagahnya berusaha untuk mengakui kesalahannya di depan sang CEO dan supervisiornya.“Kamu itu kerja yang benar! Pekerja
Tangan kanan Emil yang besar masih menarik tangan Viona dengan keras, ia menuntunnya segera ke halte bus terdekat dengan langkah kaki yang cepat karena jika ada karyawannya yang melihat bosnya menaiki angkutan umum akan menjadi gosip yang tak berkesudahan.Viona dengan sepatu pantofelnya berjalan mengikuti langkah kaki laki-laki itu dengan terengah-engah, bagian belakang kakinya sudah lecet membuat dirinya kesakitan.“Sakit.” Viona akhirnya berbicara ketika genggaman CEO ini sudah terlalu keras dan lecet di kakinya semakin melebar.CEO itu menoleh melihat tatapan nanar yang terpancar dari mata hitam Viona, tangan kokoh itu langsung menghentikan tarikan dengan pelan.“Kamu perempuan yang menabrak saya di lobby ‘kan? Dan yang saat itu tengah malam menunggu bus di halte?”Viona bergeming tak kala CEO ini menyadari wajahnya serta pertemuannya beberapa kali dengan dirinya, ia langsung menyingkapi wajahnya dengan rambut seadanya. Sungguh ia kira laki-laki ini tidak akan ingat kejadian apapu
“Ini,” ucap Lee sambil menyodorkan segelas hot espresso yang baru ia pesan melalui aplikasi online. Aroma kopi yang menguar membuat sedikit otak mereka rileks karena sejak siang tadi mereka masih berkutik dengan laptop dan tumpukan kertas, membicarakan solusi mengenai keuangan yang berantakan.Semua staff keuangan sudah pulang hanya tinggal mereka berdua yang masih berkutik karena Emil meminta laporan hasil rapat besok pagi. “Haduh,,, hari ini lembur lagi.” Kai menarik nafas panjang karena dari lubuk hatinya yang paling dalam ia sangat malas sekali lembur.Lee mereganggkan badan dan melirik jam tangan berwarna silver beberapa kali, saat badannya ia renggangkan terlihat otot dadanya yang begitu gagah membuat kemeja putihnya sesak. Mata Kai langsung segar ketika melihat otot yang berada di sekretaris itu.“Sial! Kalau seperti ini aku akan ingin lembur terus!” Kai menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan tentang bagaimana jika laki-laki di depannya ini sedang tidak memakai pakaian s