"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
"Permisi, Pak. Saya dari kantin, datang untuk mengantar makan siang bapak." Nara berbicara seperti itu sambil melihat ke arah seseorang yang duduk di balik meja Ceo.Alangkah terkejutnya Nara ketika menyadari orang yang berada di hadapannya itu adalah teman yang dia kenal sewaktu SMP. Sepertinya bukan Nara saja yang terkejut, pria itu pun sama-sama menunjukkan ekspresi terkejut walau hanya sebentar saat memandang Nara.Pantas saja namanya sama karena memang ternyata orang yang sama. Agas Pratama, ketua OSIS se-angkatan dengan Nara. Saat itu pun Nara kebetulan menjabat sebagai wakil OSIS-nya.Agas ini memiliki wajah yang tampan namun sayang ekspresinya selalu datar seperti papan tulis.Dulu Nara sempat naksir dengan Agas. Alasannya cukup klise. Karena tampan. Meski jarang senyum tapi justru tetap cool di mata para siswi sewaktu itu termasuk di mata Nara. Namun kemudian ada kejadian yang membuat perasaan Nara pada Agas berubah dari suka diam-diam menjadi jengkel setiap melihatnya.Hal i
Siapa sangka seorang Ceo seperti Agas, makan siang di kantin perusahaan, berbaur dengan pegawai lain. Seperti tidak ada batasan jabatan di sini."Nara antarkan puding ini ke Pak Agas yang duduk di sebelah sana," ucap Bu Anggi, penanggung jawab kantin tempat Nara bekerja.Kantin yang dijalankan perusahaan untuk menyediakan makanan kepada karyawannya sehingga mereka bisa makan siang di sana tanpa membayar karena sudah termasuk fasilitas dari perusahaan.Nara berjalan sambil membawa puding dengan hati-hati. Sampai akhirnya cukup dekat dengan tempat Agas duduk. ”Permisi Pak Agas, ini puding untuk Anda," ucap Nara dengan sopan. Agas yang melihat kedatangan Nara hanya mengangguk singkat tanpa bicara. Nara paham betul apa maksudnya. Jadi dia langsung saja meletakkan puding tersebut di meja."Apa ada hal lain yang perlu saya bantu, Pak?" tanya Nara."Tidak perlu. Silahkan kembali bekerja," jawab Agas demikian.Nara mengangguk mengerti.Baru saja dia akan berbalik, namun sebelum dia tahu apa
"Kamu ...." Ternyata perempuan yang tadi menabraknya itu menemui Nara. Lalu membungkuk sambil dengan perasaan bersalah. "Saya benar-benar minta maaf, Mbak," ucapnya. Nara membalas dengan sopan. "Tidak perlu minta maaf, Mbak. Saya mengerti. Namanya juga gak sengaja." "Terima kasih, Mbak." ~~~ Sebulan kemudian, saat Nara baru saja menerima gaji pertamanya. Dia membelikan kue kesukaan dari sahabatnya, Lia. Kue Matcha yang menjadi favorit Lia, Nara beli spesial untuk berterima kasih. Karena sebelumnya Lia telah membantunya mendapatkan pekerjaan Nara sekarang ini. Mereka janjian bertemu di Kafe Star, tempat biasa mereka nongkrong. Nara telah tiba sekitar setengah jam yang lalu. Namun Lia masih belum tiba juga. Meski begitu Nara masih bersedia menunggu lebih lama karena dia juga tahu jalanan Jakarta macetnya minta ampun. Sayangnya pesan masuk membuat penantian Nara menjadi sia-sia karena isi dari pesan itu menjelaskan kalau Lia tidak bisa datang karena ada pasien darurat. Tapi a
"Pak Agas?" ujar Nara yang terkejut setelah melihat sosok yang berada di dalam mobil itu."Ayo masuk," ucap Agas sekali lagi. "Atau perlu saya membukakan pintu untukmu?"Nara buru-buru menggelengkan kepala yang diartikan Agas bahwa Nara bisa membuka pintu mobil sendiri. "Ya sudah, cepat masuk. Sudah malam, saya antar kamu pulang."Ternyata Nara justru menolaknya. "Enggak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri."Melihat Nara tampak segan untuk masuk, Agas pun keluar dari mobilnya lalu berjalan ke sisi pintu di dekat Nara dan membukakannya tanpa bicara. "Ayo masuk!"Nara kaget bukan main mendapatkan perlakuan seperti itu. Dia sampai tidak bisa bereaksi dengan cepat. Ekspresinya yang berlebihan, seakan-akan baru saja bertemu dengan alien saja."Kenapa? Apa segitu bencinya kamu dengan saya sampai tidak mau semobil sama saya?" tanya Agas dengan serius."Tidak Pak. Tidak seperti itu, Kok." Buru-buru Nara menyanggah. "Tapi coba lihat pakaian saya kotor begini.""Saya juga tahu kok. Bahkan say