Share

Bertemu Winola

Rizal masih menutupi, maka Imelda yang akan mencari tau semuanya. Winola yang bernama asli Wanda Sarasvati, merupakan sahabat Rizal, mereka memang begitu dekat, hingga kuliah satu jurusan, namun berpisah setelah Winola – panggilan kesayangan dari keluarga wanita itu – bekerja di perusahaan besar negara lain. Rizal berusia 34 tahun, sedangkan Imelda 33 tahun dengan dua anak laki-laki berusia 10 dan 9 tahun. Pernikahan Imelda dan Rizal sangat bahagia, bagaimana seorang Rizal mencintai istrinya itu, tapi, ia juga tak tega dengan sahabatnya itu. "Jangan sekarang, Mel..." cegah Rizal saat istrinya ngotot mau bertemu Winola. Tangan Rizal di tepis Imelda begitu kuat. Ia berbalik badan. Menatap penuh amarah juga tanda tanya besar mengapa Winola tega menjadi duri dalam daging rumah tangganya. Imelda menerima? Belum. Ia mau mendengar jawaban yang masuk diakal.

"Di mana rumah dia." Sambil memakai pakaian nya, Imelda masih menatap lekat netra suaminya yang tampak gelagapan. "Mas. Denger. Kalau kamu cuma menami dia di rumahnya selama lima bulan ini tanpa tidur sama dia. Kenapa kamu takut kalau aku samperin dia?! Atau... jangan-jangan kamu juga nikmatin tubuh sa-ha-bat kamu itu, iya!" pelotot Imelda tak memberikan kesempatan Rizal menyanggah. "Lama." Ketusnya lalu meraih ponsel suaminya yang tergeletak di nakas.

"Mau apa, Mel?" Rizal masih mencoba mencegah.

"Diam. Atau... anak-anak dengar apa yang lagi diributin Ibu dan Ayahnya. Psikis anak-anak keganggu karena ulah kamu." Sambil mencari nama Winola pada benda pipih itu, Imel mengancam suaminya yang hanya bisa mengusap kasar wajahnya.

"Demi anak-anak, aku mohon, Mel, jangan sekarang, kasihan dia." Masih saja Rizal membela sahabatnya itu.

"Dan ini, demi anak-anak aku juga harus ketemu dia." Ia lalu mendengar suara Winola di seberang. "Zal..." suara itu menyapa suaminya. Imel memejamkan mata sejenak. "Ini aku, Imel. Bisa kita bertemu, aku mau bicara sama kamu, berdua." Tegasnya. Rizal terus menatap, lalu, jemari Imel mengusap layar ponsel tanda menghidupkan pengeras suara. "Kenapa diam?" tanya Imel lagi sambil menatap lekat suaminya juga.

"Rizal mana, Mel?" Winola justru mencari suaminya.

Senyum sinis Imel terbit, "kenapa? Mau minta di elus perut buncitnya. Atau minta dibeliin sesuatu? Atau... minta dikelonin juga?" tanyanya sarkas.

"IMEL!" bentak Rizal. Wanita itu menitikan air mata lagi, pria yang begitu dicintai, membentaknya untuk pertama kali setelah sebelas tahun pernikahan, bibir Imel bergetar dengan kedua sudutnya tertarik ke atas, ia mencoba tersenyum, padahal, rasa sakit di hatinya begitu menyayat.

"Jadi..., judulnya, kita berdua berbagi suami?" Imel masih ingin mendengar suara wanita itu.

"Mel, aku terpaksa minta bantuan Rizal. Jujur, kita nggak tidur bareng, bahkan setelah lima bulan ini. Rizal hanya membantuku di sini, aku sendirian, dan status pernikahan ini juga supaya anak ini nantinya bisa ada akte dan tercantum nama Ayah, walau bukan Rizal Ayah kandungnya. Di sini, Rizal juga ada kamar sendiri. Dia sahabatku, Mel, sejak kami remaja dan aku tau gimana dia mencintai kamu teramat dalam" Lalu terdengar suara helaan napas wanita itu lagi, ia menjeda kalimatnya. "Oke, aku minta maaf karena nggak izin sama kamu, aku..., jujur aku bingung saat itu, Mel. Dan, Rizal, kamu nggak perlu ke rumah, aku nggak mau kalian ribut. Maafin aku ya, Mel, maaf," lirih Winola begitu memohon juga. Rizal meraih ponsel dari tangan istrinya.

"Makasih udah jelasin ke Imel, Win. Maaf, aku nggak bisa temani kamu besok. Aku dinas semalam, dan pulang ke sini. Hati-hati di rumah, kabari aku kalau ada apa-apa." ucap Rizal. Imel diam, masih menatap suaminya dengan perasaan tak karuan. Rizal memutuskan sambungan telepon, lalu membawa Imel ke dalam pelukannya.

Imel diam, tak membalas pelukan Rizal juga. Ia hanya mencoba untuk menganalisa semuanya. Rasa penasarannya masih belum terpuaskan, ia akan bertemu wanita itu suatu saat nanti, menatap langsung sorot matanya saat bicara kepada Imel. Perempuan tak akan bisa bersandiwara, apalagi kondisi sedang hamil, apa yang diucapkan, bisa saja berbalik pada anak yang sedang dikandung.

"Aku tidak akan membagi hati, percaya, ya." Rizal mengecup kening Imelda begitu lama, wanita itu mencoba merasakan, apakah Rizal jujur atau tidak. Namun sayang, hatinya terlalu hambar untuk merasakannya saat itu.

***

Tiga hari kemudian.

Imelda tak patah akal, ia menghubungi Winola dengan ponsel suaminya, mengirim pesan pura-pura akan mengirim paket dan meminta alamat detail, saat Rizal tidur pulas. Ia beralasan jika lupa dengan RT dan RW rumah wanita itu. Winola membalas pesan singkat dengan bahasa yang biasa saja, layaknya sahabat, tak ada kalimat mesra.

Pagi harinya, setelah ia selesai mengantarkan kedua anaknya ke sekolah, ia mengarahkan mobil ke alamat yang sudah ia pegang. Kedua matanya menatap nama komplek perumahan tak jauh dari kantor Rizal.

"Selamat pagi, Bu, mau ke alamat mana?" tanya Satpam gerbang utama yang memberhentikan mobil Imelda.

"Mau ke rumah Bu Winola, mau antar pesanan makanan dari Pak Rizal." Ia berbohong, satpam mengangguk, ia meminta KTP Imel untuk ditukar dengan kartu visitor. Imel menginjak pedal gas lagi, kedua matanya mencari rumah dengan nomor B17. Ia menyipitkan mata, melihat rumah dengan cat warna hijau tua pagar hitam dengan nomor yang ia tuju. Segera ia menepi ke kanan, mematikan mesin mobil, lalu turun. Langkah Imel begitu tegas, ia mengatur napas sebelum berdiri di dekat teras rumah tanpa pagar itu. "Assalamualaikum," sapanya.

"Waalaikumsalam," terdengar balasan dari dalam. Pintu terbuka, dan munculah sosok yang sudah tak sabar ingin Imel temui.

"Bisa kita bicara." Hanya itu kalimat pembuka yang Imel bisa sampaikan. Winola mengangguk, ia mengajak Imel masuk, namun wanita itu meminta duduk di kursi teras saja. "Alasan kamu apa meminta suamiku menikah denganmu? Apa hatimu beku untuk merasakan bagaimana sakitnya aku dan hati anak-anakku seperti apa jika mereka tau." Tanpa basa-basi, langsung tembak.

Winola mengangguk. "Aku sudah jelaskan, Mel, aku terpaksa," jawabnya.

"Apa tidak ada laki-laki lain. Dan, kenapa keluarga Mas Rizal nggak boleh tau! Apa kamu takut Ibu mertuaku, juga Adik iparku semua melabrak. Padahal, aku rasa pantas jika hal itu terjadi." Sorot mata marah begitu ditunjukkan Imelda.

"Aku malu dan takut Rizal jadi bulan-bulanan keluarganya. Rizal baik, dari dulu dia begitu, aku tau Rizal seperti apa dan untuk itu ak—"

"Kamu manfaatkan kebaikan suamiku untuk masalahmu." Kekehan sinis Imel muncul. Winola yang memang salah, hanya bisa diam menatap istri sahabatnya itu. "Oke. Kalau memang tujuanmu supaya anak di perutmu itu bisa mendapatkan akte kelahiran, apa sanggup kalau aku minta kalian cerai setelah anak itu lahir. Kalian menikah sah, bukan? Jadi perceraian kalian juga harus sah. Aku mau bukti surat cerai itu di hadapanku." Ancam Imel. Winola mengangguk.

"Iya, Mel. Aku akan urus itu setelah anakku lahir. Sekali lagi, maafkan aku, ya, aku memang yang memaksa Rizal. Aku kalut saat itu, Mel, kedua orang tuaku malu, dan aku juga har—"

"Rahasiakan hal ini. Ingat, jangan mengganggu suamiku untuk urusan sepele. Jika kamu butuh sesuatu atau makanan yang mau kamu makan. Minta bantuan keluargamu. Mudah, kan? Jangan kamu korbankan perasaan anak-anakku untuk keuntunganmu. Siap-siap berhadapan denganku. Rizal milikku, bukan kamu. Permisi." Imel beranjak cepat. Ia lega setelah mengucapkan hal itu, dengan langkah begitu berani, ia segera pergi dari rumah itu dan masuk ke dalam mobil.

Sebelum mengarahkan mobilnya kembali pulang, ia sempat melirik ke arah Winola dari dalam mobil yang masih menatap sendu ke arahnya. "Masa bodo. Emang kamu pantas dapatkan labrakanku, Win." Sungut Imelda sambil menatap jalanan di depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status