Share

Jatah bulanan

Imelda sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, suami yang dicintainya, semakin hari, justru semakin lebih ada bersama Winola. Wanita itu kehamilannya semakin besar, Imelda memendam kegalauan hatinya seorang diri. Menepati janji kepada suami juga Winola untuk tak bercerita kepada keluarga besar suaminya, pun, demi menjaga hati dua anaknya-- Dewa dan Ardan, yang semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Rizal.

Bulan ke delapan, kehamilan Winola semakin menambah daftar panjang kekesalan Imelda, karena Rizal akhirnya bicara jika keluarga besar 'sahabatnya' itu, meminta dirinya untuk lebih sering berada di sana. Imel tak habis pikir, kok ada, keluarga perempuan yang mendesak hal itu sementara mereka, tau Rizal sudah beristri dan memiliki dua anak.

Rasa penasaran Imel kembali memuncak. Ia menatap Rizal yang sedang memasukkan pakaian milik pria itu ke dalam satu koper besar.

"Jadi, kamu turuti kemauan mereka?"

Tangan Rizal berhenti melipat pakaian, ia menatap istrinya sejenak. "Mel..., keluarga mereka baik, mereka dulu sempat menolongku dari kesusahan, dan aku lakuin ini cuma untuk membalas kebaikan mereka," jawabnya. Jujurkah Rizal? Ya, benar. Imelda tau, dulu, keluarga Winola pernah membantu Rizal saat ditimpa kesusahan, ayah Rizal sakit, dan pria itu meminjam uang untuk pengobatan, belum lagi, memang keluarga Winola juga membantu memasukkan lamaran kerja Bima-- suami adik kandung Rizal, bekerja di tempat ayah Winola yang menjadi pimpinan  di sana.

Hutang budi kok sampai segininya? Itulah yang ada di benak Imel.

"Berarti, keluarga Winola pamrih, ya? Bahkan nggak lihat hati aku dan dua anak kita." Raut wajah Imel berubah sendu. Rizal diam, ia duduk mendekat. Menghela napas sambil meraih jemari tangan wanita yang ia cintai itu.

"Aku udah bilang, Mel... ini hanya formalitas, aku akan ceraikan dia setelah anak itu lahir. Satu bulan lagi." Tangannya berpindah merangkul bahu istrinya, ia membawa Imel ke dalam dekapannya. "Ada manusia dengan sifat seperti ini, berkata ikhlas, tapi, di saat terdesak, melupakaan hal itu dan mengungkit masa lalu. Aku tau ini hal terbodoh, tolong ampuni aku, Mel," lirihnya.

"Kamu cinta dia, Mas?" Suara Imel terdengar pelan, ia menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu.

"Nggak, Mel. Nggak," lalu ia mengurai pelukan, menangkup wajah Imel, diusapnya pelan lalu mengecupi setiap inci wajah cantik yang beberapa bulan ini tampak sendu. "Kamu cintanya aku, sampai kapan pun," ucap Rizal seraya tersenyum.

Pintu kamar terbuka, tampak Ardan masuk sambil membawa buku tugas sekolahnya. Namun, kedua mata bocah 9 tahun itu menatap ke koper besar yang ada di samping ayahnya.

"Ayah mau dinas keluar kota lagi?" Ardan berjalan pelan mendekat. Rizal mengangguk.

"Satu minggu. Ayah nanti pulang bawa oleh-oleh buat kal--"

"Nggak usah, Yah." Suara Dewa terdengar di depan pintu, lalu menarik tangan Ardan. "Sini, kerjain PRnya sama Abang aja." Begitu ketus nada bicara Dewa. Rizal menatap si sulung yang begitu kesal, Imel beranjak, menggiring putranya kembali duduk di ruang TV.

"Bang, jangan gitu ngomong sama Ayah, nggak sopan. Ibu nggak suka," tegur Imel lembut.

"Ck. Bu. Ayah mau dinas ke mana lagi. Ibu lupa? Bulan lalu, di ulang tahun Abang, Ayah nggak pulang, kan? Dinas juga."

Hati Imel merasa nyeri, memang benar, saat itu, bertepatan dengan acara 7 bulan kehamilan Winola, yang akhirnya, Imel merayakan ulang tahun Dewa dengan makan di restoran steak, bertiga saja. Ia berkali-kali membesarkan hati putranya itu walau hatinya sendiri begitu sakit dan sedih. Imel tak bisa menyanggah, Dewa yang genap 11 tahun, sudah bisa melihat keanehan hal itu, Ayahnya yang memang jarang di rumah.

***

Bulan ke sembilan. Winola melahirkan, dan bisa ditebak, Rizal tak ada di rumah. Kala itu, Dewa sakit, Imel membawa Dewa ke dokter setelah demam selama dua hari. Ardan juga ikut, ke mana pun Imel pergi, ia pasti membawa dua anaknya, tak pernah tidak. Ia juga semakin mandiri dengan melakukan banyak hal semenjak Rizal membagi waktu dengan wanita itu.

Ardan yang sedang memainkan mainan robot di tangannya, mendadak diam saat pandangannya menatap ke arah lobi rumah sakit. Ia menyikut tangan Dewa, lalu berbisik. "Bang, itu, Ayah kita, kan?"

Dewa yang baru saja cek darah karena Imel takut anaknya DBD atau tipus, mendongakkan kepala walau terasa pusing. Kedua matanya menyipit. Ia merangkul bahu Ardan. Mencoba mengarahkan posisi duduk adiknya sedikit miring ke arahnya. "Bukan, mirip doang. Ayah, kan, di kantor jam segini. Tuh, masih jam delapan pagi." tunjuk Dewa mencoba mengalihkan perhatian adiknya.

Rizal, berjalan bersama Winola yang menggendong bayinya, tampak saling melempar senyum. Dewa tau itu ayahnya, namun ia memilih diam dengan pikiran yang mengukir di dalam otaknya 'Ayah sama siapa?'

Imelda datang, duduk di sebelah dua putranya, memberi tau jika Dewa sakit gejala tipus, tak perlu di opname, cukup istirahat di rumah selama satu minggu. "Ibu tebus obat dulu, ya, kalian tunggu di sini sebentar." Kedua anaknya mengangguk. Imelnya berjalan ke meja farmasi, setelah memberikan resep dan mengetahui berapa biayanya, uang yang dibawa Imel kurang dua ratus ribu, ia lupa membawa ATM, akhirnya, ia tak bisa menebus obat walau separuh resep. "Saya ke sini lagi siang bisa, kan, Mbak, ATM saya ketinggalan," ucapnya.

"Bisa, Bu, nanti bilang aja, ambil obat atas nama putra Ibu," ujar petugas. Imel mengangguk. Ia buru-buru menghampiri dua putranya. Lalu mengajak ke arah parkiran mobil. Dewa lemas, juga mual. Imelda yang panik, akhirnya melajukan mobilnya dengan cepat ke arah rumah. Di dalam hati ia berdoa supaya diperjalanan lancar tak ada kendala.

Tiba di rumah, Dewa muntah-muntah, Imel menelpon Rizal sambil meminta Ardan membantu mengambilkan baju ganti kakaknya yang terkena muntahan. "Mas, angkat telponnya," lirih Imel. Sayangnya, hal itu percuma. Imel meletakkan ponsel. Ia fokus menyeka tubuh Dewa dengan air hangat di kamar mandi.

Terdengar suara notifikasi pesan singkat masuk dari ponselnya. Ia segera meraih, membaca isinya dengan cepat.

Rizal : "Mel, aku minta maaf. Uang bulanan kamu dan anak-anak, berkurang sementara, ya, Winola melahirkan, uangku dipakai untuk biaya lahiran dia."

Deg. Imel menatap layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Cepat ia mengerjapkan mata, menghalau air mata yang segera tumpah, mengabaikan hal itu dan kembali mengurus Dewa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bu Iim
banyak typo.....salah trus ngetik nama pemeran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status