Kanaya
Aku boleh numpang makanan di kulkasnya Reo nggak?
Ternyata tak butuh waktu lama untuk Sada membalas pesanku. Kelihatannya dia sedang sangat santai.
Arab KW
Tinggal masukin aja ribet banget lo
Pake nanya segala
Wah, sepertinya Sada sedang kerasukan malaikat. Momen langka ini harus aku manfaatkan sebaik mungkin.
Kanaya
Okayyy. Terima kasiihh ^_^
Arab KW
Besok-besok nggak usah tanya hal gak penting kek gini lagi lah
Gue sibuk
Paling males gue ditanyain hal-hal nggak penting gini
Sekarang setannya sudah mengambil alih. Manusia satu ini benar-benar aneh bin ajaib, sangat sulit untuk ditebak. Sering kali aku berpikir mungkin Sada ini berkepribadian ganda karena mood-nya sering berubah-ubah dalam hitungan menit. Tersera
Aku berangkat ke Delizio dengan kereta yang sepagi ini saja sudah penuh sesak dengan orang-orang yang masih harus berkegiatan di akhir pekan seperti aku ini. Sesaknya membuat tak nyaman, seperti kondisi hatiku saat ini. Kenapa ya? Setelah pulang dari apartment Sada aku merasakan sesuatu yang mengganjal, rasanya aku jadi tidak terlalu bersemangat untuk menjalani hari. Sekelebat ingatan di apartment Sada tadi kembali membayang. Sada kembali dari kamarnya dengan pakaian kasual yang biasa aku lihat, lalu menyuruhku metakkan Reo di atas pantry dapur. Ah iya, wanita cantik tadi juga sudah pergi setelah memakai pakaian yang lebih layak sembari menenteng clutch yang aku tahu harganya sangat fantastis. “Cantik banget. Kamu selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik, ya? Enak banget kalau kaya dan good looking.” Detik berikutnya aku tersadar apa yang aku ucapkan tampaknya telah menyinggung perasaan Sada. Dia menatapku
Tiga jam aku menunggu di ruangan bernuansa coklat ini bersama beberapa orang lainnya. Aku memeriksa tiap sudut ruangan, ada AC dimana-mana, tapi keringatku tak berhenti mengucur. Ini pertama kalinya aku dipanggil wawancara dan aku tak mengira rasanya akan sama mendebarkan seperti akan ujian nasional. Perasaanku saja atau memang sejak tadi beberapa pelamar silih berganti memperhatikan aku? Memang ada yang salah? "Kanaya." Debaran jantungku semakin jadi saat namaku dipanggil. Ini giliranku untuk wawancara. Semoga lancar, Aamiin. Ketika aku memasuki ruangan interview, pandangan beberapa orang di balik meja juga sama menelisiknya seperti pandangan para pesaingku di luar tadi. Astaga, aku semakin gugup. Setelah aku duduk, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, "kamu sudah baca semua persyaratannya?" Aku mengangguk patah-patah. "Sudah semua?" "Sudah, pak." Seorang wanita berkaca mata mencondongkan tubuhnya dan melih
"Mana uang kos lo? Gue nggak ada waktu lama-lama di sini. Urusan gue banyak."Aku menelan ludah gugup "uangnya belum ada, Mas."Dia bersedekap dan menghembuskan nafas panjang, "yaudah kalau gitu lo keluarin bar-"Meoww~~Demi eyeliner firaun! Kenapa Mochi keluar dan ndusel-ndusel kakiku disaat genting seperti ini? Oh lihat matanya yang bulat dan sarat akan permohonan itu. Aku baru ingat aku belum memberi dia makan sejak tadi pagi. Terlalu galau membuat aku melupakan teman kecilku ini.Aku sedikit menunduk dan berbisik padanya "Mochi, jangan minta makan dulu deh. Ini kita lagi terancam terusir nih.”"Itu kucing lo?" Tanya si juragan kos."Iya.""Hmm" dia memperhatikan Mochi dengan seksama "kelihatan terawat dan sehat. Untuk ukuran kucing kampung, kucing lo udah bagus banget."Aku melotot tidak percaya. Setelah body shamming sekarang dia rasis terhadap kucing.Ini benar-benar tidak b
Sambil mengiris wortel sesekali aku memperhatikan Sada yang sangat gesit memasak dengan alat masak yang sangat-sangat seadanya. Dia tampak lihai dan akrab dengan kegiatan ini, yang membuat aku paling tercengang adalah aksinya menggiling cabai secara manual, alias diuleg sendiri. Beberapa menit yang lalu Mas Lukman datang dengan sekantong plastik penuh bahan masakan. Sepertinya Sada meminta pria itu membawa semua bahan masakan di rumahnya, lengkap dengan ulekan cabai. Jadilah dia chef dadakan di dapurku yang sangat minimalis. Katanya dia akan memasak sop ayam. Tapi sejujurnya, aku sanksi dengan rasa masakannya. Terlihat lihai belum tentu hasilnya enak, 'kan? "Gue nggak percaya lo cuma punya wajan, panci, spatula, dan cutter karatan." "Masih mending dari pada nggak ada." "Gue juga nggak percaya lo masih bisa bertahan hidup dengan kemampuan masak nol besar kayak gini. Masak itu adalah basic skill buat survive."
Aku sedang menjemur Mochi dan Reo di luar saat Ranti datang menghampiriku. Dia datang dengan wajah tertekuk lalu menatapku dengan puppy eyes andalannya. Oh tidak bisa. Aku tidak akan luluh lagi dengan mata bulat yang cantik itu."Keykey, kok kamu marahnya lama banget?""Nggak usah panggil aku pakai nama itu deh Ran. Geli aku dengarnya.""Iya aku nggak akan panggil kamu gitu lagi asal kamu maafin aku, ya?""Nggak.""Ayo dong. Aku beneran nyesel, nggak akan aku ulangi. Janji.""Ya memang nggak seharusnya kamu ngulang perbuatan itu. Baik ke aku atau ke siapa pun.""Aku harus lakuin apa biar kamu maafin aku?""Nggak tau. Aku lagi males mikir, lagi pengen sendiri."Mata bulat yang penuh permohonan tadi berubah menjadi delikan tajam. Kan sudah kuduga raut sedih tadi hanya kepura-puraan agar aku luluh."Tega banget sih kamu ngusir aku lagi. Nggak, kali ini aku nggak bakal pergi sampai kamu maafin aku. Aku udah b
Setelah selesai buang air kecil, aku bercermin untuk melihat penampilanku. Ewh aku sangat terganggu melihat minyak di wajahku ini. Aku menghidupkan air kran dan membasuh wajah dan memoles liptint kembali. Setidaknya ini akan sedikit membantu penampilanku agar tak terlihat terlalu lusuh. "Mbak, majikannya baik banget ya." Aku menoleh ke kiri, melihat ke arah seorang perempuan remaja yang aku perkirakan baru lulus SMA. Dia terseyum ramah padaku. "Maksudnya gimana?" Tanyaku tak paham. "Aku lihat mbak tadi makan sama majikan mbak. Aku kesini juga sama majikan aku, dia artis, tapi baik banget. Asik ya mbak punya majikan baik, ditraktir makan yang enak-enak terus." "Hah?" "Sesekali coba ikut majikannya perawatan deh mbak. Aku udah dua kali dibawa ke salon, jadinya wajah aku jadi lebih bersih dan sehat gini. Walaupun kita nggak cantik dan nggak putih, tapi kalau wajah terawat jadi lebih mendingan. Terus coba upgr
Sesuai arahan Sada, aku pergi ke alamat yang dia kirim pada siang hari ini. Ternyata dia mengirim aku ke salah satu restoran terbaik di kota ini, yang seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya. Delizio, adalah salah satu restoran bintang lima yang sering kali dikunjungi atau di-review oleh artis maupun foodvloger ternama. Tampilan luarnya saja sudah menjanjikan kemewahan, kenikmatan, dan tentu saja kemahalan untuk kantongku yang tidak pernah sehat ini.Akan bekerja sebagai apa aku disini? Tukang cuci piring kah? Atau tukang bersih-bersih?Aku mematut tampilan diriku di depan jendela restoran ini yang sangat berkilau dan bebas debu. Jika dilihat dari penampilanku, diterima sebagai petugas bersih-bersih saja rasanya sudah sangat bersyukur.Omong-omong dari mana Sada punya link untuk memasukkan aku ke restoran ini ya? Memang siapa Juna Juna itu? Sedekat apa mereka? Kalau aku benar-benar bisa diterima disini karena re
Alarm sialan yang lupa aku non-aktifkan mengacaukan rencana leha-lehaku hari ini. Karena bunyinya yang sangat berisik, aku jadi tidak bisa tidur lagi. Mungkin memang sudah seharusnya aku bangun, karena sekarang sudah hampir jam sebelas. Setelah peregangan sebentar, aku beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi. Mandi hanya dilakukan jika kita banyak mengeluarkan keringat dan lama beraktivitas diluar ruangan. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mochi yang menghapiriku sambil mengeong tak jelas. "Kamu kenapa? Udah laper ya?" Aku mengikuti Mochi yang berlari ke tempat tidurnya dan menemukan Reo yang masih bergelung di dalam kandang. Makanan dan minum yang aku berikan tadi malam tampak tak tersentuh sama sekali. Ini aneh. Biasanya makanan Reo akan habis atau tersisa sedikit, tapi ini makanannya seperti benar-benar tak tersentuh. Aku jongkok di depan kandang Reo dan mencoba mengelusnya. Tubuhhya terasa sangat l