Suara itu meminta siapa yang maju? Apa aku? Aku kan paling belakang. Tapi, bukan hanya aku kok. Di sini kan, ada beberapa barisan. Di setiap barisan ada yang berada di posisi paling belakang. "Kamu, yang baru datang, yang paling terlambat, maju." "Kayaknya kamu deh yang dipanggil," kata Cila. Tuh kan, bener. Bakalan dihukum aku nampaknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki maju ke depan. "Cepat sedikit!" hardik suara itu. Ngapain bentak-bentak sih! Dia kan pakai toa, aku juga dengar kali. Terpaksa kupercepat langkahku, mana semua mata melihat semua. Malu banget rasanya. Sampai di depan, OMG, ada makhluk Tuhan paling cakep, aku sampai terpelongo melihatnya. Widih, he's perfect, no minus. Mirip sama Al Ghazali anak penyanyi itu loh. Mimpi apa sih aku tadi malam, ketemu cowok handsome begini. Kulihat name tag di dadanya, namanya Ikhsan. "Yang lain, boleh masuk kelas masing-masing. Kamu, tetap di tempat!" Aku justru senang dia melarang aku masuk. Jadi bisa lama-lama memandang wajahny
"Kamu sudah baikan?" tanya Siska. Bisa manis juga dia, tadi juteknya minta ampun. Aku hanya mengangguk, pura-pura lemah tentunya."Sukur lah. Maaf ya, kalau kami berlebihan, kenalin aku Siska kelas dua belas. Kamu bisa panggil aku Kakak." Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.Gak nyangka, sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia minta aku panggil dia Kakak. So sweet banget. Kok aku jadi terharu ya?"Aku Cahaya, Kak." Kusambut uluran tangannya. Tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini. Nggak tau juga, kemana teman-temannya tadi. Serrr, aku merasa ada hembusan angin lewat. Kok aku tiba-tiba merinding ya. Apa ada arwah di sini? Kepalaku reflek mengarah ke arah arah jendela UKS yang lebar dan terbuat dari kaca keseluruhan. Jadi bisa tampak keluar. Seperti ada yang lewat. Apa itu …."Kamu kenapa?" "Um, gapapa Kak. Kak, aku udah mendingan, mau ke kelasku." "Gapapa nggak masuk dulu, hari ini cuma acara perkenalan aja kok. Kamu masih kelas sepuluh kan?" "Iy
"Kelas kamu disana. Kok malah kesini?" Kak Ikhsan menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Iya Kak, aku tau. Sesak tadi, kirain di sini toilet." Bohong lagi deh. Sorry cogan. "Kalau toilet, di sana tuh, jalan lurus paling ujung. Justru ngelewatin kelas kamu." "Oke, Kak. Makasih ya."Cepat-cepat aku pergi dari hadapan Kak Ikhsan. Kayaknya bakal ada pengalaman setu di sekolah ini. Masih penasaran aku, dengan 'dia'."Cahaya!" panggil Cilla yang lagi keluar kelas. Kenapa tuh bocah keluar?Semakin kupercepat langkahku, menyongsong Cilla. "Kamu kok keluar?" tanyaku saat sudah mulai dekat dengannya. "Gak ada, emang pengen lihat kamu aja. Kok kamu lama banget?" "Biasalah." Aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Ternyata nggak ada guru, pantes Cila keluar."Sini, kita duduk satu bangku." Cilla menarik tanganku, untuk duduk di urutan bangku paling depan. "Hai, kenalin aku Andri." Tau-tau udah ada temen cowok yang ngajak kenalan, kusambut uluran tangannya. "Cahaya." Aku sebutkan namaku."Mulai
"Buat apa coba? Nggak usah deh berurusan sama yang begituan," tanya Cila yang kayaknya takut. "Jujur ya, saat masuk sekolah ini. Ruangan yang duluan aku lihat, ya laboratorium. Aku merasakan hawanya berbeda disitu. Kali aja ada misteri yang belum terungkap, dibalik peristiwa kebakaran itu." "Meti benar, aku ikut sama Meti." Aku angkat tanganku. Akan semakin seru kalau ada teman kan? Aku sama Meti bisa saling melengkapi. "Kalian, bagaimana?" tanya Meti pada Rindi, Cuma, Andri dan Ray. Mereka tidak langsung menjawab, cukup lama aku dan Meti memandangi mereka."Ya sudah, kalau kalian tidak ikut. Kita batal jadi geng," sungut Meti. Dia kelihatan semangat sekali untuk menyelidiki peristiwa tujuh tahun silam."Emangnya kita udah bentuk geng gitu?" celetuk Ray, membuat kami semua tertawa. "Ya udah, kalau nggak mau. Kita berdua aja Ca, mereka semua penakut." Meti kembali ke mejanya, yang berjajar dengan mejaku dan Cila. "Panggil Haya aja, jangan Ca. Lebih enak dipanggil Haya," kataku.
"Nggak papa kok, cuma kayak keseleo nih leher aku," kataku sambil menggoyang-goyangkan kepalaku. Belum saatnya kalian tau yang sebenarnya.Aku melihat sosok yang sangat menyeramkan sedang mengintip dari pintu lab. Tubuhnya penuh luka bakar, sangat mengerikan. Apa itu petugas kebersihan yang meninggal saat peristiwa kebakaran dulu?Bulu halus di sekujur tubuhku seketika bangkit semua. Belum pernah aku 'melihat' yang seperti itu wujudnya. Pantas saja, banyak orang takut melihat hantu. Kalau wujudnya seperti itu sih, Pak Ustad juga bakalan kabur."Haya, kamu bisa merasakan ya?" bisik Meti, sambil menoel tanganku, dia sudah berada di sebelah kiriku."Maksudnya?" Aku pura-pura tidak tau maksud Meti. Kami terus mengayunkan langkah kaki kami menuju ke kantin sekolah. "Pasti tadi kamu merasakannya kan? Makanya kamu kayak kaget gitu." "Ah, enggak kok. Amit-amit kalau aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hiii." Aku pura-pura merinding, supaya Meti tidak curiga. Meti tetap saja memandang
Hei, kenapa ini? Kenapa langkah kami sangat berat? "Guys, kakiku nggak bisa gerak nih," kata Rindi."Sama, aku juga," sahut Ray.Reflek kami semua berusaha mengangkat kaki kami, tak ada yang bisa mengangkat kakinya. "Gimana ini?" tanya Cila mulai ketakutan. "Semua tenang. Tarik nafas dalam-dalam, jangan ada yang takut," kata Meti. Aku merasakan ada yang memegang bahuku, aku ingin menoleh tapi tak bisa. Rasanya tubuhku menjadi dingin sekali. Keringat sebesar-besar jagung keluar dari pori-poriku. Waktu seakan berhenti berputar. Aku mencoba melirik dengan ekor mataku. Alangkah terkejutnya aku, melihat hantu gosong menampakkan dirinya perlahan dari belakangku. Perlahan tapi pasti, dia semakin jelas berjalan ke depanku. Bau anyir juga gosong yang sangat menusuk, langsung memenuhi rongga hidungku. Aku mencoba memanggil teman-temanku, tapi suaraku tidak mau keluar dari tenggorokanku.Masih bisa ekor mataku melirik kesana kemari, teman-temanku hanya berdiri seperti patung saja. Kini sos
"Maafkan saya Pak Rudi. Saya tidak sengaja waktu itu. Tolong, jangan sampai hal ini tersebar kemana-mana. Reputasi saya akan hancur. Saya akan bayar ganti rugi." Suara siapa itu? Kubuka perlahan mataku. Ini kan ruangan lab. Kulihat Bapak tadi memakai seragam petugas kebersihan, sedang berbincang dengan siapa ya? Aku nggak kenal. Berarti dia sudah menjadi petugas kebersihan di sekolah ini."Saya nggak butuh uang Bapak. Saya mau, Bapak mempertanggung jawabkan perbuatan Bapak. Enak sekali, Bapak bisa bebas kemana-mana setelah menghilangkan nyawa anak saya. Jangan karena Bapak pemilik yayasan ini, Bapak bisa sesuka hati saja!" Ternyata Bapak itu pemilik yayasan. Aku baru hari ini masuk sekolah, jadi belum tau sama pemilik yayasan. Guru-guru aja belum pada kenal."Ya sudah, kalau Bapak tetap keras kepala. Silahkan laporkan saya. Lagipula, Bapak nggak ada bukti," kata Bapak pemilik yayasan, sambil berjalan ke arah pintu keluar lab. "Siapa bilang saya tak ada bukti, saya bukan orang yang bo
Dia mengatur sedemikian rupa, hingga botol itu menjadi sangat dekat dengan lilin itu. Saat dia akan melangkah pergi, dia tiba-tiba terdiam, seperti ada yang menahan kakinya. Aku melihat ke bawah kolong meja. Ternyata Bapak petugas kebersihan yang menahan kakinya. Bapak itu ternyata masih hidup. Bapak kepala yayasan berusaha keras melepaskan kakinya dari cengkraman Bapak petugas kebersihan. Dia tampak panik. Matanya berulang kali melihat ke meja yang ada botol cairan dan lilin tadi. "Lepas Pak Rudi. Maaf, saya terpaksa melakukan ini. Saya nggak mau karir dan usaha yang saya bangun bertahun-tahun, hancur sia-sia," katanya berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman Bapak petugas kebersihan semakin kuat. Dengan sekuat tenaga, Bapak kepala yayasan memukuli bahkan menendang Bapak petugas kebersihan. Sampai akhirnya dia menggunakan sebuah kursi untuk memukul tubuh Bapak petugas kebersihan. Sungguh tak tega aku melihatnya, tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Kalau aku bisa menyentuh ap