Bola mata Dira membulat saat dia mengetahui sosok lelaki yang kini berada sampingnya dan memegang tangannya. "Ibu Dira, kenapa Anda di sini?" tanya Dokter Rico.Dira langsung menghempaskan tangan Dokter Rico lalu dia mencoba berdiri. Namun, sayangnya kaki Dira kesemutan hingga tak mampu menopang tubuhnya. Beruntung ada Dokter Rico di sana jadi tubuh itu tidak langsung menyentuh lantai kembali. Dokter Rico terpesona dengan kecantikan yang di miliki oleh Dira. Sejak awal dia sudah menaruh hati pada pasiennya itu. "Terima kasih, Dokter Rico," ucap Dira menyadarkan Dokter Rico. Rico langsung melepaskan tangannya saat Dira berusaha untuk berdiri tegap. Dia langsung berkata, "Panggil Rico saja. Karena ini di luar jam kerja." "Iya," jawab Dira dengan tersenyum simpul. "Ibu Dira kenapa di sini? Apa Ibu Dira tinggal di sini?" tanya Rico memberondong Dira. Dira nampak gelagapan saat ditanya oleh Rico. Dia tidak mungkin memberi tahu jika dia tinggal di apartemen ini bersama dengan suami y
"Sial!" umpatan itu dilontarkan Abi saat dirinya sudah sampai di kantor. "Dira sampai kapan kamu akan menguji kesabaran yang aku miliki? Apa kamu akan terus-menerus bermain-main denganku?" gumamnya lagi. Abi benar-benar kesal dengan Dira sejak pertengkaran mereka tadi. Apalagi Dira langsung memberikan uang yang dia berikan, tidak hanya itu wanita itu sekarang benar-benar berani. Abi sangat ingat sebelum menikah dulu saat itu, Dira begitu lucu. Senyum yang menawan, gadis yang tegar dan kuat meskipun dia berada di dalam keluarga yang tak pernah menyayangi dirinya. "Seandainya kamu tidak melangkah terlalu jauh. Mungkin kita sekarang bisa berdamai sebagai adik dan kakak ipar, Dira! Tapi kamu, kamu terlalu jauh melangkah," gumam Abi lagi. Kekesalan Abi kini terus memuncak, dia sudah tidak bisa membendung lagi. Hingga akhirnya semua berkas-berkas yang berada di atas meja dia jadikan pelampiasan. Lelaki itu dengan sekali sapu menghamburkan kertas-kertas berwarna putih ke lantai. "Abi,
"Abi kamu di sini?" Suara itu tentu bukan suara Dira, melainkan suara Rico yang langsung membuat Dira menatap kedua lelaki itu bergantian. Sementara Abi terus berjalan menghampiri Dira dan Rico. Decakan halus keluar dari bibir lelaki itu. "Sejak kapan kamu kenal dengannya?" tanya Abi sembari menunjuk ke arah Dira."Aku—""Kita baru saja mengenal. Aku tidak menyangka jika kamu mengenal dia." Dira langsung bersuara mencegah Rico berbicara lebih lanjut. Rico sedikit menyempitkan kelopak matanya sebelah kanan. Melihat gestur Dira yang nampak aneh memandang ke arah Abi. Apa Abi ada hubungannya dengan Dira? pikir Rico. "Benar, aku baru saja mengenalnya. Bagaimana kabarmu, sudah lama kita tidak bertemu, apa kamu ingin ngopi bersama?" Rico memandang lekat bola mata Abi yang kini menatap dirinya sinis."Tidak perlu, kita tidak sedekat itu. Lagi pula kamu hanya sebagai tetangga, lebih baik jangan dekati dia," ucap Abi sembari menunjuk kembali ke arah Dira. Dira sedikit tersentak saat Abi
Ruang tamu yang berada di salah satu unit apartemen sudut ibu kota, memiliki hawa begitu mencengkeram. Dua anak adam kini sedang duduk saling berhadapan memancarkan sinar permusuhan dari kedua bola mata mereka. Ya, Abi baru saja menyetujui permintaan Dira untuk bisa mengabulkan tiga syarat perjanjian di antara keduanya setelah Dira hampir saja menelpon Nadya sebagai bentuk ancaman untuknya. "Apa kalian sudah siap?" Tentu saja suara itu bukanlah suara dari Dira atau pun Abi. Melainkan sosok pengacara sekaligus sahabat dari Abi. "Tentu saja. Aku selalu siap." Dira mengangkat kedua bahunya seakan perjanjian yang kini mengancam rumah tangganya suatu hal biasa. "Tulis saja apa yang dia mau, asal dia bisa langsung menandatangani surat perceraian itu, aku tidak ada masalah," sahut Abi nampak tenang. Pengacara yang bernama Zain itu menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak ingin banyak ikut campur, tugasnya hanya menulis lalu meminta tanda tangan untuk bisa dibawa kejalur hukum. Pe
"Dira, ini bukan waktunya kamu bersusah hati atau sekedar meratapi nasib. Mungkin ini cara Yang Kuasa memberikan dirimu kesempatan untuk bisa membuat suamimu menyadari jika kamu nampak, bukan tak kasat mata," batin Dira sembari menahan nyeri di kepala serta di pinggang. Dira mengikuti permintaan Abi untuk ikut ke tempat gym. "Angkat barbel itu, Dira!"Seruan suara Abi kini terdengar kembali di gendang telinga Dira. Baru saja dia diminta untuk menjadi lawan lari ditempat disalah satu alat yang bernama Treadmill. Bisa dibayangkan Abi membuat kecepatan pada alat itu semaksimal mungkin dan hampir saja membuat Dira pingsan. Baru saja kaki Dira selonjor kini diperintah untuk mengangkat barbel. "Kak, aku ini ingin melayani Kakak seperti suami istri bukan menjadi lawan Kakak di tempat seperti ini," protes Dira yang sudah tidak kuat lagi. Dirinya sudah mulai kelelahan akibat lari ditempat tadi."Betul. Harusnya kamu juga tahu sebelum kamu meminta syarat itu kamu harus paham jika melayani sua
"Turun!" Satu kata bernada tinggi membuat Dira ketakutan, apa lagi kini tatapan Abi seperti serigala yang ingin memangsa korbannya. Keberanian yang wanita itu milik kini hanya tinggal kenangan saja. Dira tanpa banyak berdebat kini melepaskan sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil itu tanpa membawa barang-barangnya. Bola mata wanita itu melihat mobil Abi meluncur begitu saja tanpa memperdulikan dirinya. Dira melepaskan tawa yang tertahan. Namun, tawa itu perlahan-lahan menjadi buliran air mata yang sudah siap tumpah membasahi pipi mulusnya. Sejenak Dira berdiam diri sembari menekuk lututnya yang bergetar, sebelum dia memikirkan bagaimana caranya dia bisa pulang ke apartemen. Kenangan-kenangan menyakitkan kini seperti roll film yang siap berputar memenuhi benak Dira. Seputar kilas balik kehidupannya yang kini berjalan selama 25 tahun. Mungkin kejadian ini yang paling memilukan terbuang begitu saja di tengah jalan."Takdir apa lagi ini. Apa aku salah jika aku ingin melawan apa yang
Indra sama sekali tidak menyangka jika kedua wanita yang berharga dalam hidupnya kini menipu semua orang."Apa? Jadi kamu hanya bersandiwara saja, Nad?" Indra mengulang kembali kalimatnya saat dua wanita itu hanya terdiam seribu bahasa. "Ayah, sudahlah ini semua demi anak kita agar dia bisa hidup bahagia dengan lelaki yang dia cintai. Dan lagi, ini semua juga bukan sepenuhnya bersandiwara. Nadya benar-benar bunuh diri jika dia tidak bersama dengan Abi," jelas Lita panjang lebar yang langsung mendapatkan gelengan kepala dari Indra."Tapi ini semua salah, Bu. Dan tidak bisa dibenarkan!" ungkap Indra yang kini menyuarakan suaranya. Dia sama sekali tidak setuju dengan perbuatan yang dilakukan oleh dua wanita itu. "Ck, Ibu rasa ucapan itu sama seperti ucapan Dira. Apa kini kamu berada di kubu anak itu!" Lita benar-benar ingat perkataan Dira, kenapa sama persis. Apa kalimat itu kini lagi tranding? Indra terdiam sejenak, apa yang istrinya bilang tadi, dirinya berada di kubu Dira? Bahkan b
Abi buru-buru membuka pintu unit apartemen miliknya saat mengetahui Dira tengah pingsan. Tanpa ia sadari saat ini dia menekan egonya untuk mempersilahkan Rico masuk ke dalam apartemen miliknya dan membiarkan Dira berada di pelukan lelaki itu. Dengan wajah kalut Abi menggiring Rico ke salah satu kamar guna merebahkan tubuh Dira di sana. "Abi, segera hubungi siapapun yang penting jenis kelaminnya wanita agar bisa segera mengganti baju Dira. Jika tidak dia akan mengalami hipotermia." Rico memberikan perintah pada Abi dengan keadaan panik apa lagi lelaki itu merasakan tubuh Dira sedingin es batu. Abi terdiam saat mendengar perintah dari Rico. Bukan apa-apa, dia sama sekali tidak ada pelayan seorang wanita. Tidak mungkin sekarang dia memanggil Mama Miranda atau keluarga Dira kan? Yang ada akan semakin memperburuk situasi. "Abi kenapa kamu diam saja? Kasian Dira!" bentak Rico yang kini menyadarkan Abi. Abi yang tidak ingin terlihat cemas dia bersikap masa bodoh di depan Rico. Lelaki it