Share

18. Pingsan

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2024-09-22 22:23:29

Mirza dan Dokter Dion keluar ruang ICU setelah melihat perkembangan pasien, di luar pintu terlihat anak dari pasien itu sudah berdiri di depan pintu, menunggu Mirza keluar dari sana.

"Dokter, Saya akan mencabut tuntutan. Tapi, tolong selamatkan ibu saya, dia satu-satunya milik kami, tolong, Dok!" mohon pria itu dan tiba-tiba berlutut di hadapan Mirza.

"Berdirilah. Jangan khawatir, kami pasti akan melakukan yang terbaik dan saya yakin ibu Anda akan segera sadar. Berdoa saja," jawab Mirza membantu pria itu berdiri. Melihat apa yang dilakukan pria itu membuat Mirza teringat pada Mamanya yang sangat ia rindukan, semenjak ia meninggalkan Jakarta 7 tahun lalu, sejak itu pula mereka tak pernah lagi bertemu. Dokter Dion pun tersenyum, karena akhirnya masalah satu per satu mendapatkan titik terang.

Mereka pun meninggalkan ruang ICU setelah kesepakatan dilakukan.

"Mirza," panggil Dokter Dion yang berjalan bersama Mirza,

"Ya," jawab Mirza menghentikan langkahnya.

"Sepertinya pasien sudah me
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Bukan Rahim Pengganti   19. Menemui Mirza

    POV ANAHari ini Mas Adrian tidak pergi ke kantor, ia menemani mbak Najwa di rumah karena tak mungkin menyuruhku untuk tinggal, dia tau, pekerjaanku baru, dan pastinya tidak baik kalau harus ijin. Aku pun mulai kepikiran tentang kondisi Mbak Najwa yang hari ini kembali pingsan. Aku putuskan untuk segera berangkat ke rumah sakit dan menemui dokter Mirza sebelum shift sore dimulai.Kukendarai motorku dengan kecepatan tinggi, berharap dokter Mirza masih ada di rumah sakit. Setibanya aku di rumah sakit, aku tak langsung mengganti pakaianku dengan seragam dinas, karena waktu masih pukul satu siang, masih ada waktu satu jam untuk pergantian shift. Aku segera mengambil kemeja dokter Mirza yang kusimpan di dalam lokerku kemarin, setidaknya aku punya alasan untuk menemuinya sebelum mengutarakan keinginanku untuk berkonsultasi mengenai kehamilan Mbak Najwa.Tok tok tok.Kuketuk pintu ruangannya, mumpung jam istirahat, dan pasien sudah sepi."Masuk," perintahnya dari dalam.Kutarik handle pintu

    Last Updated : 2024-09-23
  • Bukan Rahim Pengganti   20. Makan malam

    Begitu aku kembali dan memberikan helm hitam milik Aryo. "Terus, ini motornya siapa yang bawa?" tanyaku.Aku berpikir mungkin Dokter Mirza tidak bisa membawa motor, aku memang awam dengan kehidupan luar negeri, tapi, di negara maju orang dengan sepeda motor lebih jarang ditemui, sehingga bisa saja dia mengurungkan niatnya untuk makan sate."Ya kamu lah. Masak saya?" jawabnya enteng sekali. "Dokter nggak bisa bawa? Masak dokter setinggi ini terus saya segini, suruh saya yang bawa?" tanyaku.setengah menyindirnya."La kalau saya yang bawa dikira saya tukang ojek, nggak mau saya," jawabnya menyebalkan."La emang kalau saya yang bawa orang bakal ngira apa?""Ngira kalau mobil saya mogok terus nebeng sama kamu." Kuhembuskan napas kasar, berdebat dengan orang di atas rata-rata hanya akan membuang waktu bagi orang yang kemampuannya sedang sepertiku. "Ya udah deh, buruan naik. Jaga jarak, tas ini buat pembatas ya, jangan dipindah," seruku, meletakkan tas dibelakangku."Hemm, buruan jalan, n

    Last Updated : 2024-09-24
  • Bukan Rahim Pengganti   21. Pilih aku atau Ana

    Aku sampai di rumah tepat pukul 10 lewat 30 menit, kubuka pintu yang masih belum terkunci. Aku tak mengetuknya karena tak ingin mengganggu istirahat para penghuninya. Aku segera menguncinya kembali setelah aku masuk.Saat aku berbalik dan hendak menuju kamar, Mas Adrian dan Mbak Najwa mengejutkanku. Mereka sudah duduk di ruang tamu, sepertinya sedang menunggu kedatanganku. Perasaanku mulai tak enak melihat raut wajah mereka. Karena tak biasanya di jam segini mereka masih terjaga."Assalamu'alaikum," sapaku."Wa'alaikumsalam," jawab mereka."Ada apa? Kenapa semua masih belum tidur?" tanyaku menghampiri mereka dengan langkah ragu. Mereka masih bergeming menatapku, tapi tak menjawab pertanyaanku.Hingga akhirnya kulihat selembar kertas dan bolpoin tergeletak di atas meja yang ada di depanku saat ini, tepatnya meja ruang tamu."Apa ini?" tanyaku. Karena tak ada yang menjawab, aku pun mengambil kertas itu, kubaca perlahan dengan penuh ke hati-hatian.Jantungku berdegup kencang kala kubaca

    Last Updated : 2024-09-24
  • Bukan Rahim Pengganti   22. Apa karena Rania?

    POV MIRZAAku kembali memesan sate dan sayur untuk kubawa pulang ke apartemen setelah motor Ana tak lagi terlihat. Tak berselang lama sate pun kudapatkan, aku segera naik taksi menuju apartemen yang jaraknya tak begitu jauh.Kubuka pintu apartemen. "Assalamu'alaikum," sapaku, karena aku tahu di dalam Mama sudah menunggu.Mama yang belum sempat kutemui dalam beberapa hari ini setibanya aku di Jakarta, karena kesibukanku di rumah sakit kakek. Aku memberikan kunci apartemenku saat dia menolak untuk pergi dari warung sate tadi."Wa'alaikumsalam, Anak Mama ... Kesayangan Mama" jawabnya menghampiriku dan menciumiku."Mama jangan gini, Mirza udah dewasa, Ma, malu!" tolakku menghindar."Malu sama siapa? Nggak ada siapa-siapa, Nak," jawabnya."Malu sama umur, Ma," kataku sambil melepas sepatuku."Dasar bocah, 7 tahun kamu nggak ketemu sama Mama, sekalinya ketemu nggak mau mama cium? Kamu ninggalin Mama dari masih sangat muda, bagi Mama, kamu tetep bayi Mama," ucapnya seraya menjewer telinga

    Last Updated : 2024-09-25
  • Bukan Rahim Pengganti   23. Telepon mengejutkan

    Aku pergi ke balkon dan mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal itu. "Halo." Terdengar suara laki- laki dari seberang telepon. "Iya, dengan siapa?" tanyaku. "Ini benar dengan Dokter Mirza?" "Iya, saya sendiri," jawabku. "Saya mau kasih tau, ini istri bapak pingsan di depan cafe." "Hah? Istri?!" kataku dengan suara keras, perkataan laki-laki di telepon itu sangat mengejutkan bagiku. "Yang bener aja, Mas. Saya belum punya istri, saya belum nikah, Anda salah sambung!" Kupelankan suaraku karena kulihat mama sempat menoleh saat aku sebut istri tadi. "Alah kalau pasangan lagi ribut emang suka nggak ngakuin, kalian ribut, kan? Sampe istrinya kabur, bawa-bawa koper segala, bawa motor sendirian pula," jawabnya malah menuduhku. "Apa? Motor?" tanyaku yang semakin bingung. "Iya, lagi pula kalau wanita ini nggak kenal sama bapak, nggak mungkin saya sampai telepon bapak dan dapat nomor bapak." "Jangan mengada-ada, kalian jangan coba main-main sama saya!" ancamku yang s

    Last Updated : 2024-09-26
  • Bukan Rahim Pengganti   24. Dibawa ke mana?

    POV AUTHORKediaman keluarga Adi Wijaya."Mama dari mana ? Kenapa larut malam gini baru pulang?" tanya Adi Wijaya pada istrinya yang baru pulang."Arisan, Pa, sekalian Mama mampir beli sate di depan kantor kamu. Katanya papa mau makan sate, nih ambil." "Selarut ini?" "Iya antri," jawab Bu Ratri, istri Adi wijaya yang tidak lain adalah mama dari Mirza."Papa makan aja, mama mau mandi dulu, gerah.""Ini sudah larut, masak papa makan, Ma?" "Nggak papa, sayang kalau nggak di makan mubazir," jawab Bu Ratri masuk ke kamar mandi.Adi Wijaya pun pergi ke bawah untuk mengambil piring, karena ia tau istrinya akan marah jika ia tak memakannya."Rania, kamu panasin sayurnya. Papa mau makan," perintah Adi Wijaya saat berpapasan dengan Rania yang terlihat baru saja pulang dari pemotretan."Bibi nggak ada, Pa?" tanya Rania mencibikkan bibirnya."Bibi sudah tidur, kamu yang masih bangun," jawanya, Adi Wijaya memang tak begitu suka dengan Rania, melihat Rania yang meninggalkan Mirza hanya karena

    Last Updated : 2024-09-27
  • Bukan Rahim Pengganti   25. Kedatangan Mama

    POV MIRZAAku terbangun saat alarm subuh yang kupasang berdering, seberapa larut pun aku tidur, aku tetap akan terbangun di waktu subuh dan tak pernah bisa untuk bangun kesiangan. Kubuka mata dan kuambil air wudhu, kubentangkan sajadah di ruang tamu, karena tak mungkin aku beribadah di dalam kamar, ada Ana yang masih membutuhkan istirahat, yang akan terbangun jika aku beraktifitas di sana.Usai sembahyang subuh, tak lupa ku baca walau hanya beberapa ayat, kebiasaan yang kuakukan sejak aku terusir dari keluarga Wijaya, kebiasaan yang mampu membuat hatiku lebih tenang dan damai.Aku menyambangi Ana di kamar usai sembahyang subuh. Setelah kupastikan suhunya normal, aku pun bergegas ke supermarket yang ada di lantai bawah apartemen untuk membeli bahan makanan. Saat aku tiba di lantai bawah, seseorang memanggilku."Mas," panggilnya, aku pun menoleh ke arah suara. Ternyata, dia adalah karyawan cafe semalam."Mas, ini kunci motornya, motornya sudah saya taruh di parkiran apartemen. Maaf, sem

    Last Updated : 2024-09-28
  • Bukan Rahim Pengganti   26. Pesan dari Adrian

    POV ANAAku masih bingung kenapa bisa ada di tempat dokter Mirza, yang kuingat aku beli kopi dan pusing di depan cafe. "Arrgh ... yang penting aku masih perawan," kataku mengacak rambut frustasi, aku kesal karena tak ingat apapun.Notifikasi pesan masuk di ponselku yang kuletakkan pada nakas di samping tempat tidur.888xxx : [sudah bisa buka pintu, jangan lupa dimakan supnya keburu dingin. Jangan lupa kunci pintu kalau berangkat kerja. Mirza]Kubaca pesan, ternyata dari dokter Mirza. Aku menghela napas panjang dan tak berselang lama, pesan kembali masuk di ponselkuAryo: [An, mana helm ku, mau pulang, nih.]"Waduh, tadi dokter Mirza lupa bawa helmnya nggak, ya?" gumamku. Segera kuhubungi nomor dokter Mirza. Ia pun mengangkatnya."Halo dokter?" sapaku"Ya.""Dok, Aryo cari helmnya, dokter bawa nggak helmnya?" tanyaku panik."Saya lupa, An. Saya masih di luar ini, kamu kirim nomor Aryo sama saya, biar saya sendiri ya

    Last Updated : 2024-09-29

Latest chapter

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

  • Bukan Rahim Pengganti   102

    Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku

  • Bukan Rahim Pengganti   101. Berpisah

    "Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

  • Bukan Rahim Pengganti   97. Pantas betah

    Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj

DMCA.com Protection Status