Share

6. Gagal Mengusir

"Hah?"

Istrinya?

Radit sudah membungkuk-bungkuk menahan tawa mendengar pernyataan polos gadis perawat itu, sementara Gara sendiri terbelalak dengan wajah merah padam.

"Pak, saya serius. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera. Memangnya Bapak nggak khawatir kah? Kasihan Ibu, Pak."

"Hahaha ... " Tawa Radit meledak tanpa bisa dihentikan. "Istri anda kasihan loh, Bapak."

"Terserah. Kalau kamu mau, bawa aja sana sendiri. Dan lo bisa diem nggak, Dit?"

Masih dengan wajah kesal setengah mati, Gara berlalu meninggalkan ruangan apartemennya tanpa menoleh lagi. Meninggalkan sosok lemah yang sesekali masih merintih, mengatakan 'jangan pergi' berulang-ulang.

Dan kenyataannya, Sagara justru melewati hari ini dengan buruk. Selain meeting evaluasi yang sarat kritikan pedas dari sang Direktur Utama dan berlangsung selama berjam-jam, Gara sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya.

Akhirnya, sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, pria dua puluh delapan tahun itu sudah beranjak dari ruangannya untuk pulang.

"Pak, masih ada beberapa file yang perlu diperiksa. Serius Pak Gara mau pulang?" cegat Radit tepat di depan pintu ruangan.

Gara menghela napas. "Kirim ke e-mail saya aja. Sisanya tolong kamu bereskan dulu, saya harus pergi sekarang."

Radit hanya melongo, menatap punggung Gara yang menjauh. Mereka berdua tengah berada di depan ruangan kubikel yang masih penuh dengan karyawan sekarang, jadi harus bersikap layaknya bawahan dan atasan. Radit hanya mengangkat bahu seraya berbalik menjauhi pintu ruangan Gara.

"Bos tampan mau ke mana, Pak Radit?" celetuk salah satu karyawan perempuan yang paling dekat, disambut kikik tawa geli dari yang lain.

"Ketemu calon istrinya," jawab Radit asal.

"Yah, Pak Gara udah ada calon?"

Radit melirik lagi dengan sebal. "Mau nikah bulan depan."

Segera saja desah kecewa memenuhi ruangan yang berisi mayoritas karyawan perempuan itu. Membuat Radit berdecih lagi.

Sementara itu, Sagara sudah memacu sedan hitamnya keluar dari basement kantor, menuju apartemen. Gara benci mengakuinya, tapi tak bisa memungkiri. Dia khawatir kepada gadis yang ditinggalkannya dalam kondisi demam tinggi tadi pagi. Yah, bagaimanapun kan Gara yang sudah menabraknya sampai terluka semalam.

"Tumben masih siang sudah pulang, Pak?"

Gara hanya melambaikan tangan, mengabaikan sapaan sekuriti di lobby apartemen. Ia buru-buru masuk lift dan menekan angka empat.

Ketika akhirnya pintu apartemennya terbuka, tanpa sadar lelaki itu menghela napas lega. Si gadis sedang duduk diam di atas sofa.

Nah, setidaknya dia masih hidup dan bisa duduk.

"Bapak sudah pulang?" sambut gadis perawat yang tadi pagi.

Gara mengangguk. "Gimana keadaan dia?"

"Oh, Ibu baik-baik saja, Pak. Demamnya sudah turun, kok. Barusan sudah minum obat." Dengan senyum sumringah, gadis itu menjelaskan.

"Nggak perlu dibawa ke rumah sakit?"

"Enggak, Pak. Dokter juga sudah bilang, kan. Ibu hanya shock, nggak ada patah tulang atau sesuatu." Rupanya gadis perawat itu masih kekeuh menganggap Carissa adalah si nyonya rumah.

"Oke, kamu boleh pulang sekarang," pungkas Gara, yang segera diangguki oleh si perawat.

Gara kembali melayangkan pandang ke arah sofa, tampak gadis itu sedang memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong sekarang. Gara mendekat dengan langkah senyap, namun si gadis tetap sedikit terlonjak kala menyadari kehadirannya.

"Kamu kelihatan sudah lebih baik," ujar Gara datar.

Carissa mengangguk kecil.

"Mau pulang kapan? Biar aku antar."

Nah, sekarang gadis itu kembali diam menunduk. Membuat Gara berdecak tidak sabar. "Sebenernya, aku yang lebih banyak dirugikan di sini. Tapi karena aku nggak suka ribet, jadi aku batal minta ganti rugi dari kamu. Kamu bisa pergi aja tanpa bayar apapun secepatnya."

Dalam keadaan normal, Carissa pasti tidak terima mendapatkan perkataan seperti itu. Namun, sekarang keadaan sedang tidak normal. Gadis itu untuk sementara kehilangan kemampuan untuk berpikir dengan cepat. Ia lagi-lagi hanya menunduk sembari meremas pinggiran selimut yang menutupi kakinya.

"Nona?"

"T-tolong ... " akhirnya, suara lirih itu menjawab.

"Ya?" Gara mengangkat sebelah alis.

"Bolehkah ... a-aku tinggal sebentar lagi?" Carissa menggigit bibir bawahnya, berusaha mencegah dirinya sendiri untuk tidak terisak lagi.

"Maaf?" Tapi kerutan dalam tercetak di dahi Gara. "Apa maksud kamu mau tinggal sebentar lagi? Aku udah cukup bertanggung jawab, kan? Aku bawa kamu pulang dan panggil dokter pribadi buat meriksa, dan kamu sudah dipastikan baik-baik aja. Kamu mau apa? Mau minta uang?"

Carissa bergeming.

"Aku jadi curiga kamu ngelakuin ini hanya modus. Pura-pura ketabrak biar bisa minta uang ganti rugi. Kalau iya, sorry, kamu sedang berhadapan dengan orang yang salah. Aku nggak akan tertipu sama drama picisan macam itu."

Dua butir air mata gagal ditahan dan luruh lagi dari sudut netra yang sudah sangat sembab itu. Carissa tidak lagi memiliki kekuatan untuk membela diri. Ia menarik napas berkali-kali untuk menenangkan dirinya sebelum bangkit perlahan dari atas sofa putih itu.

"Maaf aku udah merepotkan," ujarnya dengan suara parau. "Aku bukan penipu seperti yang kamu bilang. Aku akan pergi sekarang."

Gara tetap pada posisinya, berdiri bersandar pada sekat pemisah ruangan dengan tangan terlipat di dada. Memandang tajam pada Carissa yang tertatih-tatih menyeret kopernya menuju pintu keluar.

"Makasih udah ijinin aku bermalam di sini." Carissa menambahkan sebelum berlalu di balik pintu.

Gara sebenarnya kasihan, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia sama sekali tidak mengetahui asal muasal gadis itu, pun tertarik untuk mengetahuinya. Lelaki tampan itu hanya mengangkat bahu sebelum berlalu ke dalam kamarnya untuk menukar baju.

Namun, belum lagi jemarinya menyentuh handle lemari, suara denting bel yang seperti ditekan dengan tidak sabar membuatnya terpaksa kembali ke ruang depan. Agak sedikit kesal, Gara membuka pintu dan menemukan pemandangan yang membuat kepalanya mendadak kena serangan pusing.

"Pak Gara!" Sekuriti di lobby bawah berdiri di depan pintunya dengan napas terengah-engah. Tangannya membopong sosok yang terkulai tak sadarkan diri. "Pak, ini temennya pingsan di lobby!"

"Hah?"

  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti
berapa sih umurnya ? 28 atau 29 ? jangan² di bab selanjutnya jadi 27
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status