Bab 1) Pernikahan Macam Apa Ini?!
"Bagaimana Aira? Hanya kamu yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan keluarga ini dari rasa malu," desak Kalina. Perempuan yang merupakan mama tiri dari Aira itu merangkul bahunya dengan lembut, bahkan mengusap-usapnya. Satu sentuhan yang nyaris tidak pernah Aira rasakan selama kurun 15 tahun perempuan itu hadir di rumahnya.Gadis itu menoleh, menatap sang mama tiri, lalu menghela nafas sejenak. Aira meremas tangannya kuat-kuat.
"Kenapa harus aku yang menjadi tumbal, Ma? Jelas-jelas putri kesayangan Mama yang berulah, tapi kenapa aku yang harus Mama korbankan?" Aira mencebik kesal tak mampu menahan emosi.
Kesabarannya terkikis sudah. Dari dulu Aira selalu di perlakukan berbeda dengan Kiara. Kiara sudah berulangkali berulah, tapi Aira selalu menutupinya dari pengetahuan papanya lantaran tak mau membuat lelaki setengah baya itu bersedih atas kelakuan anak tirinya. Ya, 15 tahun yang lalu Hendra, papa Aira menikahi Kalina yang berstatus janda beranak satu.
"Mama juga tidak menduga itu akan terjadi, Sayang. Bahkan sampai saat ini Mama juga tidak tahu kenapa Kiara sampai kabur, padahal calon suaminya adalah lelaki kaya raya yang...." Tiba-tiba Kalina menggigit bibir, tak melanjutkan ucapannya. Hampir saja ia keceplosan untuk mengatakan bahwa sesungguhnya Athar Shail Huzaifa, calon suami Kiara adalah lelaki kaya raya yang sebentar lagi akan jatuh bangkrut.
Sejujurnya ia kecewa dengan sikap yang diambil oleh Kiara, tetapi sisi hatinya yang lain, Kalina pun mendukung. Tidak mungkin ia membiarkan putrinya hidup dengan seorang lelaki yang akan segera menjadi miskin. Oh, tidak! Dia tidak mau Kiara hidup miskin seperti yang pernah mereka alami saat ia masih bersama dengan mendiang ayah Kiara.
"Tapi aku bukan barang yang bisa ditukar-tukar dan ini adalah pernikahan!" Gadis itu membantah.
"Kalina, kamu tidak bisa memaksa Aira. Kalau dia memang tidak mau, ya sudah!" tegur Hendra angkat bicara. Dia bangkit dari tempat duduk, berjalan memutar menghampiri putrinya. Hendra merenggut tubuh gadis itu dari rangkulan sang istri, lalu memeluk putrinya erat-erat.
"Kamu tidak harus menikah dengan Athar jikalau memang tidak rela. Papa akan membatalkan pernikahan ini jika Kiara tidak kembali sampai nanti malam," ujar Hendra.
"Tapi bagaimana dengan restoran, Pa? Athar sudah terlanjur menanamkan sahamnya untuk restoran dan kita tidak mungkin mengecewakan mereka. Harus ada salah satu anak gadis kita yang menikah dengan Athar!" Kalina mengingatkan.
"Saham di restoran?" Aira tergagap.
Suasana ruang tamu itu kembali diselimuti ketegangan, walaupun hanya ada tiga orang yang berada di ruangan itu. Ruangan yang cukup luas diisi oleh sofa dan lemari pajangan. Interiornya cukup sederhana, tapi elegan dengan dinding berwarna kuning muda. Di beberapa bagian dinding terpajang beberapa foto kebersamaan di keluarga ini. Hendra, Kalina bersama Kiara, tanpa Aira. Sementara di salah satu foto lainnya nampak Hendra yang merangkul Aira. Terlihat jelas ekspresi wajahnya yang memancarkan cinta teramat besar kepada putri kesayangannya.
"Benar, Aira. Jikalau pernikahan ini gagal, di samping kita kehilangan nama baik di hadapan keluarga besar, kita juga akan kehilangan restoran. Kemungkinan terburuk pihak Athar akan menarik kembali restoran papamu, seandainya pernikahan ini gagal." Kalina terus memprovokasi, menekan mental Aira. Dia tidak mau pernikahan yang sudah dirancang dengan matang ini gagal dan ujung-ujungnya ia kembali hidup miskin.
Selama 15 tahun, Kalina menikmati hidupnya sebagai istri pemilik restoran berlabel Alia Resto and Cafe. Dia tak mau pengalaman buruknya saat masih hidup bersama ayah kandung Kiara terulang. Oh, tidak! Aira harus mau menuruti perintahnya.
"Benarkah ini, Pa? tanya Aira menatap wajah sang papa yang tersenyum pahit balas menatapnya.
"Papa tidak akan memaksamu, Aira. Namun begitulah keadaannya."
"Papa bersikap seolah menjualku." Seketika mata gadis itu berembun.
Hendra tersentak kaget. Pernyataan Aira menohok ulu hatinya.
"Tugasmu hanya menggantikan Kiara untuk menikah dengan Athar. Selebihnya terserah kamu. Mau bercerai atau bagaimana, itu terserah kalian saja. Yang jelas, pernikahan ini tidak boleh gagal!"
"Ma, jangan begitu. Ini menyangkut masa depan Aira. Jangan berlaku gegabah!" Tiba-tiba Hendra membentak.
"Tapi ini menyangkut kelangsungan hidup kita, Pa. Jikalau pernikahan ini gagal, yang ada kita kehilangan restoran, sebab kita tidak mungkin mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan oleh Athar. Dua miliar itu bukan sedikit, Papa!" Kalina berteriak. Matanya menatap bengis suami dan anak tirinya.
"Selalu saja yang ada di otakmu itu uang, uang dan uang. Aira jauh lebih berharga dari apapun!"
"Terserah apa kata Papa. Bela saja terus itu putri kesayanganmu!" geram Kalina.
Hendra mendengus dengan lengan yang masih berada di bahu Aira.
"Sebaiknya Mama tidak perlu membujuk Aira lagi, tetapi segeralah mencari keberadaan Kiara. Dia harus kembali ke rumah ini secepatnya untuk menikah," titah Hendra bernada ketus.
Kalina menghentakkan kakinya, kemudian bergegas menjauh dari ruangan itu.
Mencari Kiara? Yang benar saja!
Perempuan berumur 45 tahun itu tersenyum misterius. Seandainya dia mau, tentu saja dengan mudah ia menemukan keberadaan Kiara. Tetapi itu tidak boleh terjadi. Harus Aira yang menikah dengan Athar. Bukan Kiara. Putri kesayangannya harus mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dari Athar, pria kaya raya yang akan segera jatuh miskin itu!
Sepeninggal Kalina, Aira tergugu dalam pelukan sang papa. Lelaki setengah tua itu terus mengusap pundaknya. Sebelah tangannya lainnya menyeka air mata yang terus berjatuhan.
"Jangan menangis. Ada Papa disini." Hendra berbisik, lantas mengecup kening gadis itu.
"Aku takut, Pa. Aku tidak mengenal Athar."
Bagaimana mungkin Aira bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak pernah dikenalnya? Meskipun Athar dulunya adalah pacar Kiara, tetapi ia tidak pernah bertemu dengan lelaki itu. Kehidupannya terbatas antara kamar dan dapur. Mama Kalina menutup akses pergaulannya setelah ia lulus sekolah menengah atas sampai berumur 24 tahun sekarang ini.
"Menurut pengamatan Papa, Athar itu lelaki yang baik. Hanya saja mungkin dia mencintai adikmu." Bibir Hendra bergetar. Sepasang matanya menerawang mengingat sosok lelaki muda berumur 30 tahun itu.
"Papa juga tidak habis pikir kenapa Kiara sampai kabur dan menolak menikah. Padahal beberapa hari yang lalu Kiara lah yang paling antusias menyiapkan pernikahannya melebihi siapapun di rumah ini," imbuh Hendra seraya memijat pelipisnya.
"Lantas bagaimana mungkin Athar bisa menerimaku sebagai istrinya nanti, sementara pengantin yang ia inginkan adalah Kiara? Apa kalian sudah gila menukar Kiara denganku? Pernikahan macam apa ini?!" Aira memekik kencang sembari melepaskan pelukan papanya. Dia berlari menjauh dan masuk ke dalam kamarnya. Di ruangan berukuran 3x3 meter itu ia menumpahkan tangisnya kembali.
*****"Bagaimana Athar? Kamu sudah puas, kan?" ejek Rani seraya menoleh ke arah putranya yang hanya bisa melempar senyum kecut.
"Aku tidak menyangka ternyata Kiara seperti itu, Mom. Aku pikir dia adalah gadis yang tulus, mengingat ia berasal dari keluarga kelas menengah. Ternyata ia malah kabur dan keluarga Hendra memilih menggantinya dengan Aira." Sepasang netra lelaki itu nanar menatap layar ponsel.
Barusan ia memutar kembali video yang dikirimkan oleh anak buah mommy Rani. Adegan Hendra bersama Kalina dan Aira terekam dengan jelas, bahkan suara tangisan Aira membuat hatinya diam-diam merasa iba. Ah, perasaan macam apa ini?
Athar menepuk dadanya kuat-kuat. Sebelah tangannya terulur mengembalikan ponsel milik Rani yang saat itu masih berada di dalam genggamannya.
"Tanpa harus dipinta, mereka sendiri yang akhirnya mengganti sebiji batu kerikil dengan sebutir berlian. Luar biasa!" Rani menggumam. Alih-alih merasa kasihan dengan penderitaan putra semata wayang yang baru saja ditinggalkan oleh calon pengantinnya, justru perempuan berparas cantik itu mengacungkan jempol.
"Berlian? Apa maksud Mama?" Athar terlonjak dari tempat duduknya.
Bab 2) Pertukaran Pengantin"Ah, tidak apa-apa." Mendadak Rani salah tingkah. "Sebaiknya kamu bersiap-siap untuk acara besok. Sebentar lagi mungkin Tuan Hendra akan segera menghubungi kita. Mereka akan memberitahukan pertukaran pengantin...." Rani mengibaskan tangannya, berusaha menetralkan rasa gugup dalam diri, karena ini bukan waktu yang tepat bagi Athar mengetahui soal kebenarannya."Dan aku tidak suka itu, Mom. Aku hanya ingin menikah dengan Kiara bukan Aira. Lebih baik kita batalkan saja, Mom. Jangan pernah mempermainkan pernikahan....""Dan setelah ini kamu akan menarik kembali dana yang sudah kamu berikan untuk restoran Tuan Hendra. Iya, kan?" tebak Rani."Dari mana Mommy tahu?"Wanita berumur setengah abad yang masih nampak cantik jelita itu hanya tersenyum."Itu memang yang ada di dalam pikiranku sekarang, Mom." Nafas Athar turun naik mengingat ulah Kiara yang menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang lelaki dan calon suami. "Aku pastikan setelah ini mereka akan jatuh m
Bab 3) Sebuah PerjanjianAthar tidak menjawab, malah beranjak menuju meja nakas, menarik laci di bawahnya dan mengambil sebuah map. "Kamu baca ini, Aira," ujar Athar datar.Aira mengangguk. Dia membuka map dengan hati berdebar-debar."Jadi kamu ingin kita bercerai setelah aku menemukan orang lain sebagai tambatan hati. Perjanjian macam apa ini?" Tubuh Aira seketika gemetar. Hampir saja map yang dipegangnya jatuh. Sudah sebegitu tak berhargakah dirinya, sehingga Athar sama sekali tak ada itikad untuk berjuang mempertahankan pernikahan ini. Ini pernikahan, sesuatu yang suci, bukan lelucon!Aira menggeleng keras. Dadanya penuh sesak. Sakit hatinya bagaikan di tusuk-tusuk, merasa terhina.Athar menatap iba gadis itu. "Aku pikir ini adalah yang terbaik. Kalau kamu memang ingin berpisah dariku, silahkan tanda tangan. Jika kamu tanda tangan, maka saat itu juga jatuh talakku atas dirimu," ujar Athar."Kamu tidak sungguh-sungguh dengan pernikahan ini, Athar?" Aira memberanikan diri menatap su
Bab 4) Hadiah PernikahanTak ada yang istimewa dengan menu sarapan pagi ini, hanya roti ditemani segelas susu hangat. Aira mengambil roti dan mengolesinya dengan selai nanas, lalu memberikannya kepada Athar"Terima kasih, Sayang." Lelaki itu tersenyum manis sekali yang dibalas Aira dengan sebuah anggukan. Sandiwara yang sungguh sempurna. Berpura-pura saling jatuh cinta agar jangan ada pertanyaan soal hubungan yang tengah mereka jalani. Tidak perlu seisi rumah apalagi perusahaan tahu yang sebenarnya terjadi, cukup mereka berdua saja.Athar memakan rotinya dengan cepat, kemudian meneguk susu hingga isi gelas tandas."Aku berangkat dulu ya, Sayang. Nicko sudah menungguku di luar," pamit lelaki itu."Kok buru-buru sih? Mommy masih ingin ngobrol sama kamu. Kalian kan baru menikah. Banyak yang harus Mommy bicarakan sama kamu," keluh Rani. Dia bahkan mengangkat sebelah tangannya demi mencegah Athar yang sudah beranjak dari kursi tempat duduknya."Kita bisa mengobrol lain kali, Mom. Aku haru
Bab 5) Kedatangan Kiara"Kamu? Apa urusannya denganmu?" tuding Kiara dengan sepasang netranya. Dia sangat terkejut, meskipun itu tak menyurutkan niatnya untuk melepaskan diri dari kungkungan Alvino. Kiara lelah. Dia sudah tak punya waktu lagi untuk melayani Alvino dengan segala argumentasinya.Hanya perlu sekali sentakan menggunakan sikunya untuk memukul dada lelaki itu, Alvino mengaduh dan pelukannya pun terlepas. Kiara berlari kecil menuju kamarnya, mengambil tas kemudian segera pergi dari apartemen itu, tidak peduli dengan teriakan Alvino yang memanggil-manggil namanya. Kiara masuk ke dalam lift dan segera menutupnya. Dia bermaksud turun ke lantai dasar dan dengan menggunakan ponselnya, Kiara memesan taksi yang akan ia gunakan untuk menuju gedung pusat berkah Bumi Group.Tidak lama berselang, taksi pesanannya datang. Kiara segera masuk ke dalam dan mobil pun meluncur. Sepanjang perjalanan, gadis itu masih tetap bermain ponsel. Dia mencermati beberapa data tentang perusahaan mili
Bab 6) Merebut Athar?"Athar!" Suara pekik tertahan disertai dengan benda yang jatuh ke lantai.Athar buru-buru melepas pelukannya terhadap Kiara. Dia pun terpekik melihat Aira yang berdiri gemetar dari jarak kurang lebih sepuluh langkah dari tempatnya sekarang."Aira...." Lelaki itu mendekat. Matanya memicing melihat sebuah kotak makanan yang tergeletak di lantai."Aira, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Maaf." Lelaki itu menunduk, mengambil kotak makanan, lalu meraih tangan Aira, menggandengnya menuju sofa tempat Kiara duduk.Namun Kiara justru berdiri dan bertepuk tangan. "Bagus ya! Katanya kamu tidak mencintai Aira, tetapi kenapa perlakuanmu padanya begitu manis? Bahkan di saat kamu ketahuan memelukku, seakan-akan itu adalah sebuah kesalahan!" bentak Kiara. "Ya, tentu saja itu salah. Aira adalah istriku, bagaimanapun caranya kami menikah. Aku menghargai Aira sebagai wanita yang sudah kunikahi. Dan apa yang kita lakukan barusan adalah sebuah kesalahan," balas Athar.Tangannya
Bab 7) Ini Bukan Lelocun, Kiara!"Maaf," lirih Aira saat berhasil menegakkan tubuhnya kembali. Dia melepaskan diri dari tangan kokoh itu. Rasanya teramat malu menyadari dirinya berada di dalam pelukan seorang lelaki padahal ia telah bersuami, walaupun itu bukan berdasarkan kesengajaan. Namun tak dapat di sangkal, debaran di dadanya menyergap. Ini untuk pertama kalinya ia berada di pelukan seorang lelaki, lantaran sampai sejauh ini, Athar belum pernah menyentuhnya. Hubungan Aira dan Athar lebih mirip sepasang sahabat, bukan suami istri.Aira menghela nafas, mendorong tubuh tinggi besar itu kemudian segera menutup pintu lift. Aira memijat tombol yang akan membawanya menuju lantai dasar.Sementara itu, lelaki itu masih saja berdiri terpaku membayangkan wajah wanita yang barusan tanpa sengaja dipeluknya. Wajah wanita yang terasa begitu familiar. Dia merasa sangat mengenal sosok wanita yang barusan ia peluk, tapi dimana ia mengenalnya? Otaknya terus berusaha untuk mengingat-ingat."Pera
Bab 8) Siapa Dia?Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi membuat nyali Aira menciut, sehingga akhirnya ia mengurangi kecepatan laju mobilnya. Apalagi ia baru beberapa hari ini kembali berurusan dengan mobil. Selama tinggal bersama papa dan mama tirinya, Aira jarang sekali menyetir sendirian. Waktunya habis untuk mengurusi rumah dan dapur, bahkan dia tidak sempat menginjakkan kaki di bangku perkuliahan, padahal papanya adalah orang berada.Entahlah, Aira juga tidak habis pikir. Laki-laki setengah tua itu mau saja menurut perkataan istri keduanya yang mengatakan bahwa Aira lebih cocok di rumah saja dan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi."Daripada suntuk, sebaiknya aku ke restoran Papa saja. Benar-benar ya, Kiara sudah merusak moodku. Apa haknya meminta Athar kembali kepadanya? Memangnya Athar itu barang?" Meskipun sembari menggerutu, matanya tetap awas menatap ke depan. Perjalanan menuju restoran papanya memakan waktu sekitar 30 menit.Alia Resto and Cafe. Itulah nama restoran papany
Bab 9) Ancaman Hendra"Apa yang terjadi, Aira?" Hendra menatap wajah putrinya dalam-dalam. Gurat kesedihan jelas terlihat dari wajahnya yang jelita. Lelaki setengah baya itu berdiri menghampiri Aira yang hanya bisa tertunduk. Wanita muda itu memandangi gelang yang melingkar di lengannya. Gelang pemberian mommy Rani sebagai salah satu hadiah pernikahannya. Ah, untung saja gelang itu tidak rusak setelah aksi rebutan dengan Kiara barusan. Aira menghela nafas berat."Kiara tadi datang ke kantor Athar, Pa," adu Aira."Apa?" pekik Hendra sangat terkejut. Sampai saat ini putri tirinya itu belum menginjakkan kakinya kembali ke rumah mereka, tetapi dia sudah menyambangi kantor Athar yang sekarang sudah menjadi suaminya Aira."Kiara? Mama tidak salah dengar?" sela Kalina serius. Dia sama sekali tidak terkejut, karena barusan Kiara mengirimkan pesan di ponselnya dan mengabarkan soal itu."Betul, Ma. Dan tahukah Mama, apa yang putri kesayanganmu itu lakukan?" ujar Aira. Gadis itu bangkit dan ber