*Happy Reading*
Aku pun dengan otomatis melirik Irfan, yang langsung terlihat gusar melihat wanita itu, sambil mencuri lirik ke arahku.
Bangke!!
Jadi aku sudah ditipu selama ini?
Baru aja aku hendak beranjak dari tempat dudukku. Alan tiba-tiba menginterupsi dengan santainya.
"Oke! Karena sekarang bini lo udah dateng. Gue pergi, ya? Ayo, Sayang," kata Alan kemudian, sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
Apa?!
Jadi nih pengacara juga udah tau, kalau Irfan ini punya keluarga? Kenapa dia gak kasih tahu, sih? sengaja ya, mau bikin aku kehilangan muka?
Atau … jangan- jangan Dia sekongkol sama Irfan?
"Sayang?" panggil Alan lagi. Sambil memberikan kode lewat ekor matanya, untuk meraih tangannya.
Sayangnya, karena aku masih shock. Aku pun malah menatap uluran tangan itu dengan linglung. Memang apa yang harus aku lakukan? Menyambut tangan Alan dan ikut dramanya yang lain? Sialan! Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini, sih?
Melihat tidak adanya respon dariku. Alan pun tiba-tiba berdecak kesal. Kemudian menghampiri dan berjongkok di hadapanku.
"Ck, gak usah ngerajuk gitu dong, Sayang. Iya, iya, deh. Kamu menang. Aku bakal ijin ngantor, dan nemenin kamu seharian ini. Oke? Seneng, kan?" Alan berucap lagi, sambil mengusap kepalaku dengan sayang. Yang justru ingin kutanggapi dengan tangisan.
Bukan karena Alan sudah berani lancang padaku lagi. Tapi karena benar-benar bingung dengan situasi ini, juga … tentu saja kecewa pada diriku sendiri, karena ...
Bisa-bisanya aku di bodohi seperti ini!
"Sayang?" panggil Alan sekali lagi. Seperti meminta fokusku.
Aku pun mencoba menelan semua kekecewaanku hari ini. Sebelum akhirnya mengangguk sambil tersenyum manis.
Baiklah! Lo jual, gue borong!
"Beneran?" Sekuat tenaga aku menekan gemuruh dalam hati, dan tangis yang sebenarnya ingin menyerbu keluar.
Alan mengulas senyum tipis, lalu mengangguk dan membelai kepalaku, "Tentu! Apa sih yang Nggak buat kamu."
Akting pria itu benar-benar luar biasa!
"Makasih, ya, A'?" ucapku kemudian. Sambil meraih tangannya yang masih ada di kepalaku, dan memegangnya erat-erat di pangkuanku. Membuat Irfan langsung melotot tak suka.
Wajar. Karena asal kalian tau saja, walaupun selama ini kami sudah PDKT cukup lama. Tapi aku tak pernah sekalipun mengijinkannya menyentuhku. Entah itu hanya sekedar salaman, rangkulan, gandengan, atau apapun yang berbentuk skinship. Karena aku dan dia bukan mahram.
Hanya pas berkenalan dengan Alan di swalayan tadi aku kecolongan membiarkannya merangkul pinggangku. Itupun langsung aku tepis dengan cepat.
Maka dari itu aku bilang, wajar jika dia kini terlihat tak suka dengan apa yang aku lakukan pada Alan. Dia pasti kesal sekali saat ini. Dia juga pasti menganggapku sok jual mahal selama ini.
Padahal, sejujurnya ini bukan perkara jual mahal atau apapun. Tapi, dari awal aku memang tak pernah merasa nyaman dengan Irfan.
Aku memang sempat berharap lebih pada pria bermulut manis itu. Tetapi jauh dilubuk hatiku, selalu ada ganjalan yang tak bisa aku jelaskan tiap kali dekat dengannya.
Entahlah, mungkin itu salah satu pertanda dari Allah kalau dia bukan yang terbaik untukku. Sangat berbeda jauh sekali dengan apa yang aku rasakan dengan Alan.
Aku juga gak ngerti soal itu. Faktanya, sekalipun pria dihadapanku ini jarang bahkan tidak pernah berkata manis, malahan sering sekali membuat tensi darahku Naik karena emosi. Tetapi di dekatnya, aku selalu merasa nyaman.
Pertanda apa itu? Terserah. Aku gak mau memikirkannya untuk sekarang.
"Kita pergi?" tanya Alan lembut sekali. Kembali kujawab dengan anggukan dan senyuman penuh kamuflase tentunya.
Alan pun berdiri, dan mengajakku turut serta untuk berdiri di sampingnya, tanpa melepaskan tautan tangan kami sedikit pun. Aku menurut, aku memegang tangan Alan tak kalah erat, bahkan terkesan bergelayut manja pada lengan pria itu.
Tak ayal kelakuanku itu sukses membuat Irfan makin melotot horor. Juga menggeram tertahan dengan rahang yang mengeras.
Terserah dia mau mengataiku murahan atau apapun setelah ini. Yang jelas, aku merasa terlindungi jika dekat pengacara lempeng ini.
"Oh ... jadi dia pacar kamu ya, Lan? Cie ... udah bisa move on nih, ceritanya?" goda wanita itu, yang tadi mencium Irfan di hadapanku.
Jadi, wanita ini juga mengenal Alan?
"Bukan pacar. Tapi udah halal, kok," jawab Alan dengan lugas.
Wanita itu pun terbelalak tak percaya, pun Irfan. Bahkan aku refleks langsung menoleh ke arah Alan, saat pernyataan itu terucap dari bibirnya.
Maksudnya apa?
"Serius, lo?" ucap wanita itu lagi dengan heboh.
"Sure. Kalau belum halal. Mana mau dia digandeng gini," jawab Alan meyakinkan. Sambil melirik tautan tangan kami.
Wanita itu pun tersenyum lebar. Kemudian memperlihatkan dua ibu jari tangannya.
"Lo emang pantes dapetin gadis baik-baik, Lan," ucap wanita itu lagi, "Ah, iya. Lupa gue. Selamat ya, buat kalian." Wanita itu menyalami Alan, kemudian beralih padaku.
"Oh ya, kita belum kenalan, kan? Nama kamu siapa, cantik? Aku Medina, panggil aja Dina. Aku istrinya pria brengsek ini," sambung wanita itu lagi, yang mengaku bernama Medina, sambil mencubit pipi suaminya dengan gemas.
Ya, Medina!
Laki lo emang brengsek!!!
"Hasmi," balasku seadanya. Masih dengan senyum palsu yang terus aku pertahankan.
Bagaimana pun, wanita ini gak salah, kan? Malah di sini. Posisiku yang sebenarnya salah.
PDKT dengan suami orang.
Sungguh, itu bukan sesuatu yang bisa di banggakan!
Walaupun sejujurnya. Aku juga korban di sini. Tetapi, tetap saja kalau Medina tau. Dia pasti akan lebih membela suaminya daripada aku, yang hampir jadi pelakor.
"Ya, udah. Kalo gitu kami pergi dulu, ya?" pamit Alan.
"Eh, mau kemana?" Medina terlihat tak rela.
"Biasalah, Din. Si nyonya lagi ngerajuk, nih. Makanya mau aku sogok dulu pake rayuan. Biar gak kabur." Alan mencoba berkelakar.
Namun entah kenapa, saat mengucapkan kalimat itu. Alan malah menatap Irfan dengan sinis.
"Oh, iya. Ngerti deh gue. Namanya juga pasangan baru. Pasti bawaannya pengen berduaan aja. Iya, kan? Ya udah, met seneng-seneng, deh. Next, boleh nih kita double date. Pasti seru tuh. Ya, kan, Sayang?" Medina merangkul lengan suaminya mesra. Sambil memberi usulan yang tak ingin aku setujui sama sekali.
"Siap! Atur aja." Namun, tentu saja berbeda dengan Alan. Yang notabenenya teman mereka. "Kami duluan. Bye!"
Lalu setelah itu, Alan pun merangkul pinggangku, dan membawaku pergi dari sana dengan cepat.
"Inilah kenapa, saya terus membayangi kalian dari tadi," bisiknya, di sela langkah kami keluar dari tempat sialan itu. Juga setelah jarak kami lumayan jauh.
Jadi, apa itu Artinya, Alan tidak sedang berkonspirasi dengan Irfan?
Jomlo 9*Happy Reading*"Pergilah," titah Alan, saat kami sudah sampai di lobby Mall.Aku pun sontak melirik Alan dan mengernyit tak mengerti.Pergi?Pergi kemana?"Kenapa diam? Gak mau pergi, huh? Mau minta saya anterin, gitu?" tanya Alan lagi, seraya menaikan sebelah alisnya ke hadapanku.Aku yang masih setengah linglung pun, belum bisa berkomentar apapun. Karena belum sepenuhnya bisa mencerna yang terjadi barusan.Barusan aku lagi ngapain, sih?Lagi jalan sama Irfan, kan?Terus papasan sama Alan. Terus makan siang bertiga, dan … Ah, iya. Aku baru dapat kejutan hebat dari si brengsek Irfan."Saya harap kamu tidak baper karena kejadian tadi, Suster. Tolong, apapun yang saya katakan di dalam. Jangan masukan hati. Karena ... uhm ... sebenarnya saya hanya ingin membalas jasa saja," jelas Alan tiba-tiba. Tanpa diminta siapapun."Balas ... jasa?" beoku reflek"Ya!" jawab Alan tegas. "Sepert
Jomlo 10*Happy reading*"Mi, Bantuin Alan sono," kata Dokter Karin tiba-tiba."Maksudnya, Dok?" bingungkuIya bingung. Orang dari tadi aku cuma jadi pendengar, kok. Tiba-tiba malah disuruh bantuin Alan. Bantuin apa pula?"Ya ... gitu. Bantuin Alan, Mi. Kasian," jawab Dokter Karin makin membuatku pusing."Gaje, deh. Bantu apa pula? Kenal juga enggak sama tuh cewe. Ya, kali saya tiba-tiba muncul belain Alan. Nanti kalau doi salah paham gimana?" protesku tak terima.Suka ngadi-ngadi emang nih Dokter sebiji."Nah, itu maksud saya!"Eh?"Siapa tau kalo tuh cewe liat Alan udah punya gandengan lain. Dia bakal sadar dan--""Dih, ogah!!" tolakku cepat, kala sudah bisa mencerna arah pembicaraan Dokter Karin barusan.Pasti deh, yakin aku mah, kalau dia mau minta tolong biar aku pura-pura jadi pacarnya tuh jalan tol.Ih, gak mau!!"Tapi kan, kasian Alan, Mi," kata Dokter Karin lagi."
Jomlo 11*Happy Reading*"Ka-kamu sendiri mana? Kalo kamu beneran udah tunangan sama dia. Mana buktinya? Cincin tunangan kalian mana?"Eh, Sialan! Gue di balikin, pemirsah!Haduh ... Ini sih, namanya senjata makan tuan. Kagak enak banget sumpah!Bentar, aku mikir dulu, ya?"Gini nih kalo orang gak pernah sekolah. Embak, di mana-mana juga, yang namanya tanya itu, pasangannya jawab. Bukan malah balik nanya. Ngerti gak, sih?"Ngeles terus!"Alah! Bilang aja kalo kamu emang gak bisa buktiin pertunangan kalian. Kamu itu kan, cuma ngaku-ngaku!"Ya, salam. Pinter juga nih cewe."Eh, gak usah kaya maling teriak maling deh, ya? Saya sih, gak perlu buktiin apa-apa di sini. Karena saya memang di pihak yang benar. Tuh, buktinya aja calon saya lebih pro ke saya kan, dari pada ke situ?"Huh! Jangan harap aku mau ngalah, ya? Gini-gini juga aku pernah jadi juara debat loh, se-RT waktu di kampung."Mana bisa itu dija
Jomlo 12*Happy Reading*"Melihat kekecewaan anda, sepertinya anda sangat menyukai Irfan, ya?" tebak Alan tiba-tiba.Tentu saja, aku pun langsung menggeleng cepat membantah tuduhan itu, karena itu memang tidak benar."Bukan, bukan seperti itu, Pak. Saya akui, saya memang lumayan kecewa di sini. Tapi itu bukan karena saya terlanjur menyukai Irfan. Saya hanya ... Kecewa pada diri sendiri saja. Khususnya pada kebodohan saya yang selalu jatuh dilubang yang sama. Bego banget, kan?" Aku kembali menertawakan diri sendiri.Kukira, Alan akan setuju dan menjadikan hal itu bahan bully-an untuk membuatku emosi seperti biasa. Secara, dia kan memang musuhku, ya kan?Ternyata, Alan malah menggeleng dan menepuk pundakku sejenak sambil berkata, "Anda tidak sepenuhnya bodoh."Eh?"Wajar jika anda tertipu dengan Irfan, dia memang sangat ahli dibidang itu. Anda bukan satu-satunya."Hah?! Maksudnya?"Itulah kenapa? S
*Happy Reading*Katakan aku gila. Eh! Nggak juga, ding! Wajar kan, ya, Kalau aku akhirnya jadi baper sama Alan. Soalnya sikap Alan-nya bikin aku malehoy. Gini-gini juga aku masih wedok.Jangankan di perlakukan kayak kemaren, di ucapin selama tidur aja, aku mah pasti auto baper. Please jangan julid! Maklumin aja sih, namanya juga jiwa jomlo.Hanya jomlo yang akan tahu rasanya jadi aku. Benci malam minggu, ngarep banget ada yang ngingetin makan dan ngucapin selamat tidur. Kalau ucapan selamat pagi sih, gampang dapetinnya. Pergi aja ke Supermarket terdekat, pasti di sapa selamat pagi sama di tawarin pulsa. Nah, yang ngucapin selamat tidur ini yang susah. Aku harus ke mana biar dapat ucapan itu, coba?Pokoknya, jadi jomlo itu gak mudah, gaes! Apalagi kalau kalian punya atasan Kek Dokter Karina yang punya bucin sejati seperti Si Daddy. Jiwa jomloku makin meronta ingin di lepas segelnya.Hadew ... Nasib banget emang!"Ih,
*Happy Reading*Menghela napas panjang satu kali. Aku pun memilih memasukan kembali ponsel ke dalam saku, kemudian perlahan pergi dari sana.Nanti ajalah bilang makasihnya. Takut ganggu yang lagi kasmaran aku tuh!"Nih, pesenannya, Dok." Aku kembali ke ruangan Dokter Karina. Menyerahkan titipannya, juga kembali melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat terbengkalai saat aku memilih kabur."Makasih Hasmi cantik. Sarang tawon pokoknya.""Sarangheo, Dok. Jan digonta ganti. Merusak hak cipta aja." Aku pun mencebik kesal menanggapi ke koplakan Dokter Bedah itu."Sarangheo kan milik Arjuna. Kalau buat kamu mah sarang tawon aja udah cukup."Lah, minyak urut dong gue. Bener-bener ya nih dokter somplak sebiji."Boleh ganti jadi sarang madu aja, gak? Biar agak manisan dikit." Tentu saja aku harus menawar iya, kan?"Jangan, Mi. Nanti diabetes repot. Udah jomlo, kena diabetes lagi. Ngenes banget nasib kamu."
*Happy Reading*Aku dan Alan disambut senyum penuh arti oleh Bang Elang. Saat kami baru saja tiba di depan ruangan Pak Nyoto.Ck, pasti, deh. Nih polisi playboy satu mikirnya macem-macem."Nah, ruangan Pak Nyoto di sebelah sana, Pak. Tepat di depannya Pak Elang." Malas bertemu dengan polisi lebay itu, yang pasti berakhir dengan saling debat. Aku pun mempersilahkan Alan ke sana sendiri saja.Bodo amat dia mau bilang aku gak sopan atau apa? Penting tugasku mengantarkannya udah selesai, kan? Lagipula, aku masih punya kerjaan lain setelah ini.Alan melirik Bang Elang sejenak, sebelum kembali melihatku beberapa menit. Kemudian menghela napas pelan dan mengangguk."Terima kasih dan ... semangat, ya?"Eh? Semangat? Semangat untuk apa nih? Semangat untuk melupakannya? Woyajelas! Aku pasti akan semangat untuk hal itu.Mengangguk satu kali, aku pun membalas, "A--eh, Bapak juga semangat, ya? Jangan lupa undang saya nanti
*Happy Reading*Sebenarnya, aku ingin sekali mempercayai ucapan Dokter Karina waktu itu. Setidaknya itu menandakan aku gak ngarep sendirian, ya kan? Pikirku, Alan juga ternyata sedikit tertarik padaku, benar tidak? Meski sedikit, tapi mayanlah daripada ngarep sendirian. Lebih ngenes kedengerannya.Sayangnya, gimana aku bisa percaya kalau lagi-lagi harus melihat pria itu bermesraan dengan wanita lain? Memang bukan bermesraan seperti cipok-cipokan atau elus-elusan. Hanya duduk berdua di kantin rumah sakit, sambil ngobrol akrab sekali seakan dunia milik berdua. Kan, hatiku panas lagi ini.Kulkas mana kulkas?"Eh, Mi. Itu pacarnya selingkuhan Dokter Karina, ya?"Aku auto mendengkus kesal, saat mulut julid Devi kembali menebar racun. Tentunya, sambil melirik meja Alan dan pasangannya. Ugh ... kok rasanya gak rela ya menyebutnya begitu?"Jangan mulai, Dev. Udah berapa kali dibilang. Mereka itu cuma partner kerja. Gak lebih!" Aku tidak