Share

2. Kehancuran Pertama

Happy Reading

*****

Mengambil headset dan memasangnya di telinga, Ayumi mencoba menghalau suara yang makin mengeras dari perdebatan orang tuanya. Suara azan magrib berkumandang menghentikan aksi si gadis.

Selesai salat, gadis itu bangkit. Bayangan wajah Fathin, saudara perempuannya terlintas. Ayumi meraih ponsel dan mencoba menghubungi ibu satu anak tersebut. Di rumah, terasa sesak akibat pertengkaran orang tuanya yang tak kunjung reda.

"Kenapa Mbak Fathin tidak mengangkat telponku? Biasanya dia selalu standby dengan HP-nya. Apa sebaiknya aku pergi ke rumahnya saja," gumam Ayumi.

Ragu jika tiba-tiba datang berkunjung ke rumah saudara perempuannya. Ayumi kembali mendengar pertengkaran Ayah, bundanya. Menutup telinga dengan kedua tangannya supaya tak mendengar pertengkaran mereka lagi.

"Pusing kepalaku kalau terus-terusan mendengar keributan mereka," ucap Ayumi.

Segera mengambil tas dan keluar kamar. Ayumi bahkan tidak pamit pada kedua orang tuanya. Perasaannya sangat kacau hari ini. Mengendarai skuter dengan kecepatan sedang, dua puluh menit kemudian si gadis sampai di depan pagar rumah saudara perempuannya.

"Assalamualaikum, Mbak," panggil Ayumi supaya keberadaannya di ketahui si Mbak.

Tak ada sahutan, gadis itu bahkan telah mengulang beberapa kali salam. Panggilan pada seluruh penghuni rumah pun sudah dilakukan. Namun, hasilnya nihil.

Ragu-ragu, gadis itupun masuk setelah memarkir motornya di halaman. Menutup kembali pintu gerbang ketika dia telah merapikan letak skuternya. Pintu rumah Fathin terbuka dengan lebar sehingga Ayumi bisa melangkah sampai di ambang pintu.

Lagi-lagi, kakinya tercekat seperti ada lem yang menempel. Suara keras seorang perempuan yang tengah menyebut nama Fathin terdengar. Seperti mengulang kejadian beberapa jam lalu, Ayumi mencoba meneguhkan hati bahwa semua baik-baik saja. Si gadis memejamkan mata menghalau semua memori buruk sore tadi.

Namun, suara keras dan bentakan itu makin nyata di telinga. Ayumi tak lagi bisa berpikir jernih. Ketika membuka mata, semua kejadian di depannya makin nyata.

"Ya Allah, apa ini? Mengapa saudaraku diperlakukan begitu buruk di rumah mertuanya." Menguatkan hati karena ingin membela sang saudara. Ayumi mengucap salam dengan sangat lantang.

Sang pemilik rumah dan juga mertuanya menoleh.

"Ayumi?" ucap Fathin terkejut, "kenapa berkunjung tidak memberi kabar terlebih dahulu?"

Wajah sedih dan terkejut ibu satu anak itu terlihat di mata Ayumi. Seolah adiknya tidak boleh mengetahui apa yang selama ini Fathin sembunyikan. Biarlah, urusan rumah tangganya, cukup dirinya yang tahu. Seluruh keluarganya, hanya boleh melihat kebahagiaan saat mereka bertemu.

"Aku sudah mencoba menelepon, tapi memang tidak ada yang menngngkat. Sekarang, masalah itu tidak penting, Mbak. Kenapa Mbak Fathin tidak membela diri saat ibunya Mas Adam bicara kasar seperti tadi?" Ayumi sengaja menatap mertua saudaranya dengan marah.

Lalu, si gadis beralih menatap kakak iparnya. "Mas Adam juga kenapa diam saja. Dia istrimu, harus dibela dan dilindungi. Jika tidak sanggup melakukannya, mengapa dulu berjanji di hadapan Allah dan Ayah?"

Lelaki yang bernama Adam tersebut tersenyum miring. Sungguh, ekspresi wajahnya membuat Ayumi berpikir seribu kali. Benarkah lelaki itu adalah lelaki yang sama. Lelaki yang dulu datang ke rumahnya dan melamar serta meminta Fathin untuk menjadi istri. Sangat jauh berbeda antara Adam yang dulu dan sekarang.

"Untuk apa membela perempuan yang tidak becus seperti mbakmu itu. Aku sudah cukup sabar menghadapi semua kelakuannya, ya," jawab sang kakak ipar, "tidak ada seorang istri yang keluyuran sampai malam dengan dalih bekerja. Istri orang lain juga bekerja, tapi pas jam lima sore mereka sudah kembali ke rumah. Tapi, mbakmu ini tidak. Dia malah kelayapan sama bosnya. Modus saja mengatakan lembur padahal ada main di belakangku dengan bosnya. Apa wanita seperti itu harus aku bela? Katakan, Yum!"

Ayumi membulatkan mata, mulutnya mulai gatal untuk menjawab semua perkataan sang ipar. Entah mengapa, hatinya begitu perih ketika tuduhan keji itu terlontar dari mulut Adam.

"Jangan sembarang menuduh seseorang berselingkuh jika tidak membawa bukti dan menghadirkan empat orang saksi. Mas Adam itu lelaki yang paham agama, mengerti syariat, tapi kenapa  kelakuan minus seperti ini," jawab Ayumi. Wajahnya makin terlihat merah karena menahan emosi.

Niat hati ingin mencurahkan isi hati mengenai keadaan kedua orang tuanya. Namun, hal yang lebih menyakitkan didapatnya di rumah Fathin.

"Hei anak kecil. Lancang sekali kamu menggurui anakku? Di mana sopan santunmu sebagai tamu di rumah ini? Harusnya, sebelum kamu mengatakan hal seperti tadi. Tanyakan pada mbakmu ini. Apa yang sudah dia lakukan di belakang suaminya. Jika tidak bermain serong, tidak mungkin seorang bos mengantar anak buahnya secara pribadi pulang. Bukan cuma sekali Fathin melakukannya, tapi bekali-kali. Kerja cuma kedok atas perselingkuhannya saja," ucap sang mertua Fathin.

Ibu satu anak yang tubuhnya makin terlihat kurus di mata Ayumi tersebut, menarik pergelangan tangan saudaranya. Mengajak si bungsu sedikit menjauh dari mertua dan suaminya.

"Jangan ikut campur urusan rumah tangga, Mbak. Sebaiknya kamu pulang sekarang, Yum. Nanti, agak malam, Mbak telpon," bisik Fathin.

Mata yang dipenuhi kabut, siap menurunkan air kapan saja. Ayumi tak tega melihat keadaan saudara perempuannya. Selama ini, dia hanya melihat senyuman yang ditampilkan Fathin. Tak sekalipun, perempuan satu anak itu menyebut atau menceritakan kemelut rumah tangganya.

"Mbak, aku tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan dizolimi begini." Ayumi memegang pergelangan tangan sang saudara perempuan.

"Yumi, pulang!" bentak Fathin, segera melepaskan genggaman tangan si bungsu. "Mbak, sudah punya prioritas sendiri dalam hidup dan keluarga ini adalah yang terpenting. Hormati keputusan Mbak, Yum. Jangan mempersulit keadaan."

"Mbak, apa yang Mas Adam dan ibunya lakukan sudah sangat keterlaluan. Mana mungkin, aku meninggalkan Mbak Fathin dalam keadaan seperti ini. Tidak, biarkan aku membantu menjelaskan semuanya." Ayumi masih bersikeras untuk menolong Fathin.

"Yum, pliss." Kedua tangan Fathin menangkupkan di depan. Penuh permohonan, dia meminta.

"Kamu lihat mbakmu!" ucap Adam, "dia bahkan cuma diam dengan semua omonganku tadi. Bukankah artinya semua yang aku dan ibu katakan benar? Kamu cuma anak kemarin sore yang tidak tahu apa pun. Mudah tertipu dengan wajah melas saudaramu."

"Cukup, Mas," pinta Fathin, "biarkan Ayumi pergi. Sasaran kebencian Mas Adam itu cuma aku. Jadi, biarkan adikku pergi. Ayumi tidak tahu apa pun."

Sekali lagi, Fathin menatap si bungsu penuh permohonan dan kesedihan. "Pergilah, Yum. Mbak tidak ingin kamu mencampuri urusan ini. Rumah tanggaku adalah urusanku sepenuhnya."

Ayumi beringsut mundur. Belum pernah melihat permohonan saudara perempuannya seperti ini. Mau tak mau, gadis berjilbab itu melangkah pergi walau berat hati.

Beberapa langkah kemudian, suara Fathin terdengar kembali.

"Jangan menceritakan masalah ini pada ayah atau bunda. Mereka tidak boleh tahu permasalahan rumah tangga, Mbak."

"Tapi, Mbak."

"Jangan membebani kedua orang tua kita." Saat itu juga, air mata Fathin menetes dan Ayumi mengetahui.

Air mata si gadis juga siap meluncur. Andai Fathin mengetahui permasalahan orang tuanya. Masihkah, dia akan berpikir seperti tadi.

"Mbak, Ayah sama Bunda akan ...."

"Pergilah, Yum. Kita bicarakan nanti," pinta Fathin.

Satu nama kini terlintas di benak Ayumi. Mungkin, orang yang ada dipikirannya itu bisa membantu meringankan segala beban pikirannya saat ini.

*****

Banyuwangi, 21 Februari 2024

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status