Share

Bab 4 : Menghindar

Waktu berjalan dengan cepat. Lima hari berlalu sejak terakhir kali Brina bertemu dengan Evan di ruang arsip perpustakaan. Tak ada kabar dari Evan sejak hari itu. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan rahasia di ruang arsip atau ruang seni. Jangankan bertemu, Evan bahkan tak membaca pesan-pesan yang ia kirimkan. Ia seolah hilang ditelan bumi begitu saja, lenyap tanpa ada jejak.

Padahal mereka berada di sekolah yang sama. Brina tentu ingin menemui Evan langsung, tapi pasti bakal menimbulkan kecurigaan. Hubungan yang mereka jalani secara diam-diam makin mempersulitnya untuk menghampiri cowok itu, apalagi mereka tidak pernah berada dalam satu kelas atau klub yang sama. Bakal terlalu menarik perhatian kalau ia mendekati Evan secara terang-terangan.

Siang ini, untuk kesekian kalinya, Brina mengecek ponsel. Barangkali Evan sudah mengirimkan balasan. Tapi nihil, justru chat dari ibunya yang ia terima, mengingatkannya untuk tidak melewatkan les hari ini.

"Ngelihatin ponsel mulu Na, itu baksonya entar keburu dingin lho," Lia yang duduk di sampingnya mengingatkan setelah lima menit diperhatikannya Br ina terus memelototi layar ponsel.

"Oh iya," Brina menaruh ponselnya ke dalam saku. Lebih baik ia fokus makan sekarang.

Suasana kantin terbilang cukup ramai siang ini. Hampir semua bangku terisi. Aroma harum bakso, mie ayam dan soto berbaur di udara.

"Anak-anak voli tinggi tinggi ya," Lia tiba-tiba menyeletuk, membuat Brina yang tengah menyesap kuah bakso menoleh. Ia mengikuti arah tatapan Lia. Dari arah masuk kantin, tampak enam orang siswa melangkah sembari asyik bercanda. Semuanya bertubuh jangkung. Evan berada di antaranya, kelihatannya cowok itu tak menyadari kehadiran Brina.

"Oh iya, minggu depan semua anak kelas tiga udah bebas aktivitas klub kan?"

Brina menangguk pendek. Berhubung sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian sekolah, mereka mesti fokus untuk belajar.

"Berarti anak-anak voli udah bisa bebas pacaran ya."

Benar juga, larangan pacaran itu bakal tak berlaku lagi buat mereka. Brina jadi membayangkan, seandainya hubungannya dan Evan baik-baik saja, barangkali saat ini ia tengah menanti masa-masa dimana mereka bisa lebih leluasa bertemu di sekolah. Pasti menyenangkan.

"Mereka pasti bakal jadi inceran deh. Apalagi Evan, denger-denger dia juga udah keterima tim voli profesional. Keren banget ya. Udah ganteng, fisiknya oke, karir juga udah mulai jalan."

"Kamu suka sama Evan Li?" Brina akhirnya bersuara setelah sekian lama.

"Sebatas pengagum aja Na. Lagian dia ketinggian, bisa jomplang kalau berdiri di sebelahnya," jawab Lia. Matanya masih memerhatikan anak-anak tim voli yang kini tengah duduk di bagian ujung kantin, menerka-nerka berapa tinggi badan mereka. Barangkali lebih dari 180 cm?

"Kalau kamu Na? Nggak ada yang kamu suka di antara mereka? Nggak pengin pacaran gitu?"

Mendengar pertanyaan Lia, Brina yang sejak tadi mengamati Evan sekilas menoleh. "Belum terlalu kepikiran sih. Lagian sebentar lagi ada ujian sekolah," ujarnya sok rajin, berharap kebohongannya tak begitu kentara.

Setelah menghabiskan bakso dan es jeruknya hingga tandas, Brina mengambil ponselnya, sekali lagi mengirim pesan pada Evan. Lalu gadis itu kembali mengarahkan pandangannya pada Evan. Cowok itu tampak melihat ponselnya selama beberapa saat, kemudian menutupnya dan memasukannya ke dalam saku.

Evan mengabaikan pesannya.

Saat Evan menoleh, pandangan keduanya tak sengaja bertumbuk. Biasanya, Evan akan tersenyum simpul pada Brina, tapi kini cowok itu justru membuang muka, menyibukkan diri dengan mengobrol bersama teman-temannya.

Di tempatnya duduk, Brina tersenyum pahit.

Ia benar-benar diabaikan.

***

Brina benar-benar letih hari ini. Ia bimbang karena Evan secara terang-terangan menghindarinya. Seolah tak memberinya ruang untuk bicara. Brina ingin beristirahat, tapi selepas sekolah, ia mesti pergi ke tempat les. Ibunya bakal mengomel kalau tahu ia mangkir.

"Brina, kamu baik-baik saja?" Bu Lilian, mentor pelajaran ekonomi bertanya setelah diperhatikannya Brina terlihat melamun, tak fokus pada materi yang ia ajarkan. Brina terkesiap, seharian ini ia memang sulit berkonsentrasi dan merasa mengantuk.

"Maaf Bu," ujarnya merasa tak enak hati. Ia kemudian pamit ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Jarum jam sudah menunjuk pukul setengah enam ketika jadwal les hari itu selesai. Gadis itu mendudukkan diri di bangku depan ruangan, menunggu ibunya datang menjemput. Udara sore ini dingin. Di luar, titik-titik air berjatuhan dari langit, dalam waktu singkat hujan turun makin deras. Kilatan cahaya sesekali muncul diikuti suara gemuruh petir.

Brina mengeratkan sweater, agak merasa canggung karena di sini hanya tersisa ia dan Viona. Anak-anak yang lain sudah pulang sejak tadi. Viona kelihatannya juga menunggu dijemput.

"Nunggu dijemput juga Vi?" ujar Brina basa-basi, berharap bisa sedikit melunturkan kebekuan di antara mereka.

Menanggapi pertanyaan Brina, Viona menjawab pendek, "Iya."

Keduanya kembali diam, membuat suara gemericik hujan jadi terdengar semakin jelas.

"Mau?" Viona tiba-tiba menyodorkan snack kentang goreng yang baru ia buka bungkusnya pada Brina. Ragu-ragu, Brina mengambil satu, memasukannya ke dalam mulut.

Blarr blarr blarr

Suara gemuruh petir terdengar lagi. Kali ini makin keras. Membuat Viona jadi berjengit kaget dan menjerit ketakutan. Spontan, gadis itu menggenggam tangan Brina. Ah, Viona takut petir ternyata. Brina mengelus tangan Viona, bermaksud menenangkannya.

Tak lama, Viona melepaskan genggaman tangannya. Kepalanya menunduk malu. Brina tanpa sadar jadi tertawa geli.

"Kenapa?" tanya Viona.

"Enggak papa," jawab Brina berusaha berhenti tertawa, " Nggak nyangka aja kamu yang kelihatannya berani, dingin, ternyata takut suara petir."

"Habis keras banget sih. Dari dulu aku paling nggak bisa dengerin suara petir. Rasanya kayak langit mau jatuh," ujar Viona. Tanpa sadar, perbincangan tentang petir mengarahkan mereka pada hal-hal lain. Hingga tak terasa lima belas menit berlalu.

"Aku selalu ngira kalau kamu benci sama aku," ujar Brina. Viona mengerutkan kening, tak mengerti. Brina melanjutkan ucapannya, "Soalnya kamu kalau ngomong suka rada ketus begitu, terus jawabnya juga pendek-pendek. Apalagi posisi ranking kita selalu berturutan. Kesannya jadi kamu selalu ngangep aku saingan."

"Oh iya?" tanggap Viona. Brina mengangguk pendek. "Iya sih aku dulu mikir kalau kita itu rival, tapi cuma sebatas itu kok. Aku nggak pernah benci kamu secara personal."

Viona tampak berpikir sejenak, "Aku orangnya lumayan moody jadi memang gampang kesel sama hal-hal kecil kalau lagi kambuh. Maaf ya kalau itu bikin kamu terganggu."

Ah begitu, pikir Brina. Ternyata selama ini ia salah paham. Brina terlalu terpaku pada asumsinya sendiri sampai ia tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang ada.

"Jemputanku udah datang," Viona bangkit setelah dilihatnya sebuah mobil hitam di depan gedung les. "Kamu mau sekalian diantar Na? Udah lumayan gelap, terus disini juga dingin."

Brina menimbang-nimbang sejenak. Tadi, ibunya juga mengirim pesan sepertinya bakal telat menjemput karena jalanan di depan tempat kerjanya agak macet. Ia melirik sekilas jam tangannya, sudah lewat pukul enam sekarang.

"Boleh kalau nggak repot."

"Enggak dong, yuk," ujar Viona mengajak Brina menuju mobilnya. Sore itu, Brina sama sekali tak menyangka kalau ia bisa dekat dengan rivalnya. Tapi lebih dari itu, ia juga sama sekali tak menduga kalau kelak, Viona bakal ambil bagian dalam insiden demi insiden yang ia lalui.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status