Setelah satu Minggu berikutnya berlalu, tiba saatnya Syaila untuk mendengarkan putusan hakim. Duduk di kursi bersampingan dengan Azka membuat Syaila sungguh tidak nyaman. Karena demi apapun melihat wajah pria itu rasanya Syaila ingin muntah."Sidang hari ini saya buka."Tok tok tokTidak ada perdebatan yang memanas seperti Minggu lalu. Hakim hanya terus bertanya secara bergantian. Sesekali hakim meminta pendapat pada pengacara dari pihak Syaila maupun Azka."Satu Minggu kami sudah berdiskusi, memilih siapa yang kami pikir akan lebih berhak atas putra saudara-saudara sekalian. Saya putuskan .... "Syaila mengepalkan tangannya kuat-kuat, melapalkan doa sebisanya."Saya putuskan sebaiknya putra dari kalian tinggal bersama saudara penggugat."Wajah Syaila mendongak tidak percaya. Ia sampai meneteskan air matanya, mengucapkan syukur pada sang pencipta.Sementara berbeda dengan Azka yang tiba-tiba berdiri, tidak terima dengan putusan hakim. "Saya lebih berhak, Yang mulia!" katanya."Saudara
"Malam itu gue pergi ke hotel bokap lo, buat ngambil rekaman cctv kamar yang Azka sewa. Saat gue memergoki dia lagi sama Maya. Sebenarnya Azka memang enggak sebodoh itu, dia udah ngambil cuplikan Vidio dia lebih dulu. Buat jaga-jaga kayaknya. Mungkin setelah gue pergi waktu itu, gue enggak tahu."Sore itu jalanan cukup lenggang tidak seperti hari-hari biasnya. Pembicaraan mereka berlanjut dengan serius. Nadira sebagai pendengar dan pengemudi sekaligus nampak mendengarkan setiap kata yang diucapkan Syaila dengan baik."Tapi Azka juga enggak sepintar yang orang-orang kenal. Gue enggak perlu Vidio menjijikkan itu untuk gue sebar. Apalagi cuma buat ngebela diri gue sendiri. Gue cuma butuh rekaman saat Azka dan Maya masuk ke kamar terus gue datang, itu udah cukup jadi bukti kuat. Lagian hakim juga enggak mungkin liat Vidio enggak layak kan?"Nadira mengganguk. "Terus kenapa pas pagi-pagi tiba-tiba banyak reporter di rumah gue? Nyariin lu?" tanya Nadira.Syaila terkekeh. "Gue kasih beberapa
Hari sudah berganti menjadi malam, Syaila dan Nadira kini sedang menulusuri jalan, mencari pedagang nasi goreng. Sebab sudah waktunya makan. Dua wanita itu akan lebih memilih pergi keluar walaupun diterjang hujan, dari pada harus bergelut dengan panasnya minyak di dapur. Alias tidak bisa memasak selain mi instan."Nasi Padang aja enggak si? Perasaan enggak nemu-nemu tukang nasi goreng," celetuk Nadira. Kakinya sudah terasa pegal dan kesemutan."Di sana ada. Enggak sabaran banget," balas Syaila ketus."Ya lama elah! Tenggorokan gue kering nih!" eluh Nadira."Yaudah lo tunggu di sini, biar gue yang beli. Lagian rumah kok jauh dari kehidupan masyarakat!" Syaila meninggalkan Nadira yang mengomel karena tidak terima rumahnya di dikatai jauh dari kehidupan masyarat. Nadira lantas masuk ke mini market untuk meredakan rasa dahaganya.Sementara Syaila, ia sudah sampai di tempat nasi goreng yang ia maksud. " Tiga, Pak," pesannya.Penjual pria itu mengangguk setelah memperlihatkan senyum ramahny
Selepas menghabiskan makan malam, Syaila dan Nadira berlanjut menonton televisi bersama. Dan lagi-lagi topik berita di televisi menyiarkan perihal berita perselingkuhan Azka. Namun sayangnya, uang tetap menjadi pemenang. Bagai habis terjatuh tertimpa tangga, fakta yang beredar dimasyarakat adalah Syaila yang tidak tahu diri sebagai seorang istri.Bahkan seminggu terakhir Syaila merasa tidak nyaman sebab tidak sedikit yang memandangnya tidak suka ketika ia sedang berada di luar. Orang-orang seolah melihat benda paling menjijikkan saat melihat Syaila.Maka dari itu Syaila tidak berani untuk keluar, atau ia akan mencari angin pada malam hari dengan memakai Hoodie Seperi tadi."Gila, ya? Gue pikir Azka enggak sejahat itu. Ternyata semua keluarganya juga sama aja. Muak gue liat manusia maodelan kaya gitu!" Nadira akan menjadi orang yang menggebu-gebu jika membicarakan perihal Azka."Gue juga enggak nyangka. Laki-laki yang selama ini gue anggep baik ternyata lagi nyembunyiin topeng berengse
"Sya? Sya sumpah, ya masa gue belum aja interview udah ditolak duluan cuma gara-gara ternyata perusahaan itu lagi kerja sama dengan perusahaan Azka! Gila, ya. Kalau gue mati kelaperan karena enggak punya duit bakal tanggung jawab apa dia?" Nadira mengoceh selepas membanting kan tubuhnya di sofa, melemparkan tasnya kesembarang arah."Sya?" Dia kembali memanggil ketika tidak ada sahutan apapun. Keningnya mengernyit. "Sya?" Sekali lagi dia memanggil.Bangunlah Nadira, berjalan menuju kamar Syaila yang ternyata menutup pintunya. "Tidur apa, ya?" gumamnya.Penasaran, lantas Nadira membuka kamar itu perlahan. Namun bukannya ia menemukan Syaila yang sedang meringkuk di ranjang, kamar itu nampak gelap dan tidak ada sang penghuni seperti yang Nadira duga."Kemana?" Ia berjalan masuk.Matanya menyusuri setiap sudut kamar. Hingga kamar mandi yang ada di dalam. "Apa nih?" Nadira menemukan sebuah amplop coklat yang ditindih pas foto kecil beserta sepucuk surat dengan tulisan tinta merah di meja r
Di sebuah kota kecil, jauh dengan hirup pikuk dari kehidupan kota akhirnya Syaila sampai. Wanita itu sudah banyak tahu sebelum benar-benar pindah dari kota. Rumah dusun yang lumayan murah, pas dengan sisa uang yang Syaila miliki."Kita tinggal di sini?" Geino bertanya sembari melihat bangunan dengan banyak pintu itu tidak rela.Anak itu seolah tidak terima dengan keadaan kamar yang sempit dan lembab. Dia sudah terbiasa dengan kekayaan papa nya."Iya, Nak. Kita tinggal dulu di sini sementara. Kalau mama udah dapet kerjaan nanti, di pindah ke rumah yang lebih layak, " jelas Syaila.Geino dengan mengatakan apa-apa, setelah Syaila membuka pintu dan membiarkan dia masuk.Keadaan kamar dusun itu sangat parah dari dugaannya. Debu di mana-mana sampai bersarang laba-laba. Sepertinya memang sudah lama tidak ditinggali. Dengan semangat yang menggebu-gebu, Syaila melipat lengan bajunya siap untuk berperang, membersihkan rumah barunya hingga bersih.Syaila memang tidak terbiasa melakukan pekerjaa
Rupanya menjalani hidup serba sendiri tidak semudah yang Syaila pikir. Bahkan sekarang, selepas mengantarkan Geino mendaftar sekolah ia harus rela panas-panasan untuk mencari sebuah pekerjaan untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari.Ia sudah datang ke lima PT, namun semuanya menolak karena sedang tidak membutuhkan karyawan dibagian yang Syaila lamar."Harus kemana lagi, ya?" gumamnya sembari mengusap peluh yang mengucur di pelipisnya.Tujuan terakhirnya adalah sebuah PT yang lumayan tidak jauh dari rumah dusunnya, itu bagus, jika harapan terakhirnya ini berhasil ia dapatkan itu akan menguntungkan bagi Syaila. Ia akan lebih hemat biaya transportasi."Semoga keterima!" tuturnya semangat. Ia melangkah ringan membawa amplop coklat yang ia peluk sejak tadi.Sebuah perusahaan yang memproduksi topi untuk di ekspor ke luar negeri, informasi yang Syaila tahu dari internet tentang PT yang sekarang ia datangi itu."Permisi, Pak, saya mau ngelamar untuk posisi ini apakah ada lowongan di sini?" ta
"Hallo, Tante," sapa seorang anak perempuan yang Syaila taksir umurnya sama dengan Geino. Anak dengan wajah riang itu muncul di balik punggung Geino."Hallo, kalian ngapain di sini?" tanya Syaila. Mata nya bergantian menatap dua anak itu secara bergantian."Kami lagi main, Tante. Tapi Geino enggak asik. Masa dari tadi duduk aja main hp. Padahal banyak yang ngajakin main bola sama dia."Syaila terdiam, putranya memang tidak terbiasa bersosialisasi dengan banyak orang. Dia lebih suka menyendiri di kamar dengan game kesukaannya alih-alih panas-panasan bermain dengan teman sebayanya. "Lain kali kalau mau main bilang dulu, ya? Soalnya Tante khawatir. Geino belum tahu daerah sini, kamu bisa jagain dia kan biar enggak nyasar?"Geino menoleh dengan mata sinis. Harga dirinya seolah ternodai karena mamanya menitipkannya pada seorang gadis centil yang tidak ia kenali itu. "Aku bisa jaga diri aku sendiri," sahutnya cepat."Boong Tante. Tadi aja dia salah turun tangga, malah masuk ke ruang orang