Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb
“Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te
“Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data
Aku menatap ruang kepala itu dengan penuh rasa harap. Berharap pemimpin perusahaan ini bersedia menerimaku jadi sekertaris untuknya. Mengingat bagaimana kesehatan ibu di rumah serta biaya sekolah Alisa yang menunggak, aku tak ingin gagal dalam peluang ini. Kembali kuperhatikan tubuhku dari bawah, memakai sepatu hitam bekas, yang kugunakan saat menjadi SPG kala itu, memakai atasan casual terbaik dan celana kain warna hitam. Kuambil nafas panjang, agar rasa grogi ini mulai memudar. “Vi, kamu bisa!”Aku menyemangati diriku sendiri, sambil memejamkan mata. Tiba-tiba ucapan Pak De ku kala itu menghantui pikiran, ia salah satu staf di sini. “Vi, bos ku lagi butuh sekertaris untuknya. Gajinya lumayan, lebih dari cukup untuk sekedar biaya berobat dan cuci darah ibumu, termasuk juga biaya sekolah adikmu. Apa kamu tertarik? Cuma ya itu ...” Sejenak pak De terdiam.“Kenapa, Pak De?”“Dia arogan dan suka marah-marah, sudah sebulan ini ia ganti sekertaris 3kali, mereka gak kuat dengan hinaan d
“Bagaimana hasil tes wawancaranya, Kak? Apa diterima?” Alisa yang duduk di sebelah ibu menatapku dengan mata berbinar.“Iya. Bagaimana, Nduk?” tanya ibu yang ikut bersuara dengan nada pelan.“Menurut kalian?” Aku mengangkat alis ke atas sambil tersenyum.“Diterima, Kak?” jawab Alisa sambil memelukku.“Alhamdulillah.” Ibu menangkupkan tangan di wajahnya. “Bosnya gimana, Kak? Beneran galak? Kakak dimaki?” pertanyaan Alisa sontak membuat kening ibu berkerut, pasalnya wanita yang telah melahirkan kami itu tak mendengar percakapan antara aku dan Pak De. Setahu beliau, aku hanya sedang ikut wawancara di perusahaan besar.“Biasa aja. Lagian siapa yang bisa menolak pesona Vivian Diandra.”Aku tersenyum simpul, mencoba menutupi kenyataan. Bagaimanapun aku kedepannya, hinaan seberat apapun, aku pasti sanggup. Ada ibu dan Alisa yang begitu membutuhkan.Tersungging senyum di bibir ibu, hingga akhirnya kita berpelukan bersama, sepeti kartun teletubies. Sayang, semua tak lagi lengkap setelah bapak
“Pak Reynan,” ucapku lirih dan bangkit dari tempat dudukku. Aku menundukkan tubuhku dengan hormat. “Aku membayarmu bukan untuk melamun,” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Terlihat para staf lain menatap kami, karena sekat antara ruang ini dengan staf lainnya adalah dinding kaca. Dan ketika Reynan menoleh, mereka kembali sok sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Ma-maaf, Pak!”“Mana jadwal yang aku minta?” tanya Reynan sambil mengarahkan tangan ke arahku.Mati aku, aku belum menyiapkan apapun, bahkan untuk menyalakan laptop di depanku pun belum. Aku menggigit bibir bawahku, dengan tangan yang terus mengucek ujung kemeja yang kupakai. “Belum siap, Pak!” jawabku ragu. “Belum siap?” Terdengar kembali gebrakan meja, yang membuat para staf kembali menoleh, dan lagi ketika Reynan menatap ke arah mereka, para staf kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Kamu tak pernah berubah. Selalu menganggap keperluan orang lain itu tidak penting,” ucapnya dengan ketus. Ia kembali m
“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”Dengan ragu akhirnya aku memakannya, setidaknya roti pisang coklat ini sedikit mengenyangkan ku. Ditambah lagi aroma wangi roti yang menguar di indraku, seakan merayuku untuk lekas memakannya. “Terima kasih, Pak!” ucapku.Tak pernah kusangka, aku mengucapkan terima kasih hanya karena roti sisa. Dimana harga diriku dulu?Reynan menatap ke arahku, lalu tersimpul senyum tipis di bibirnya. Ya, aku tahu kali ini dia balas dendam, tapi biarlah, prioritas utamaku adalah kesembuhan ibu dan sekolah Alisa. Bagaimanapun aku harus kuat. Reynan membuka mobil dan berlalu seperti biasa, menyisakan aku yang tergopoh belum siap ke luar. Kuambil tas kecil milikku, serta stopmap yang berisi data-data penting yang harus kukerjakan. “Selamat sore, Pak!”“Selamat sore, Pak!” Salam terus terdengar ketika Reynan melewati para staf, dan lagi-lagi dengan angkuhnya ia tak membalas.
Kuhitung lembaran uang ratusan itu, tepatnya ada 15 lembar, sangat lebih dari cukup jika aku gunakan membeli sepatu. Bergegas kuisi perut terlebih dulu, aku tak ingin sakit hanya karena telat makan, bagaimana nasib ibu dan Alisa? **“Kak, larut sekali pulangnya?”Alisa yang tengah duduk di kursi tamu itu bergegas bangkit setelah melihatku datang. Diterimanya martabak telur dan roti bakar yang sengaja kubelikan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak jajan untuk mereka. “Ibu mana?”“Sudah tidur, Kak.”“Itu makan dulu, mumpung masih anget.”Aku duduk di kursi sambil meletakkan tas dan kantong kresek yang berisi sepatu baru, menyelonjorkan kaki dan memijitnya perlahan.“Mbak Vi capek?”Alisa memasukkan potongan martabak itu ke mulutnya, hingga terlihat pipinya membulat, lalu menghampiriku. Ia duduk dibawah dan memegang kakiku, dipijitnya kaki itu dengan senyum yang mengembang.“Gak usah, Sa. Kamu juga pasti capek ngurus ibu dan rumah. Kamu habisin aja dulu jajannya.”Aku akui Alisa jug