Ponsel berwarna merah muda yang tergeletak di meja kerja itu bergetar, sebuah pesan dari bos arogan masuk di dalamnya. [ Buatkan minuman, Viv ][ Baik, Pak. Akan saya hubungi petugas yang berangkutan. ][ Kamu yang antar ke sini. ][ Tapi, Pak. Bukankah saya harus menghindar dari pandangan bapak Rayhan yang terhormat. ][ Ini lain cerita. Tamu ku yang meminta ]Deg. Lagi-lagi jantungku berdegup lebih kencang. Semua hal yang bersangkutan dengan Haikal rasanya membuat tubuhku gemetar ketakutan.Ingin rasanya memberontak, tapi posisiku bukanlah di tempat yang tepat. Beginilah rasanya berada di kasta bawah? Seakan tak memiliki pilihan satupun untuk memilih, hanya sendiko dawuh, menerima nasib. Aku berjalan perlahan membawa nampan yang berisi teh hangat, dan air putih. Kutaruh gelas tersebut satu persatu ke atas meja. Berusaha sebisa mungkin menyembunyikan rasa takut dan tubuh gemetarku.“Vivian! Setelah sekian lama akhirnya kita bertemu kembali,” ucap Haikal yang terus menatapku, bahka
‘Kenapa kamu tiba-tiba hadir seperti ini, Viv? Seburuk-buruknya kamu di masa lalu kenapa tidak pernah bisa membuatku membencimu?’Aku menatap laptop yang selalu menemani hariku, membuka folder di dalamnya. Sebuah kenangan dengan Vivian terekam indah di sana. Vivian yang cuek, Vivian yang selalu marah-marah, dan Vivian yang suka seenaknya sendiri, dan tentunya Vivian yang manja. Tapi entahlah, kenapa aku tak bisa membuang sedikitpun memori tentangnya, meskipun ia terus menghujamku dengan kesedihan, dan penderitaan. “Rey, aku mau es krim.”“Tapi di sini gak ada penjual es krim, Viv! Aku ke swalayan sebentar ya.”“Enggak mau. Aku gak mau ditinggal.”“Ya sudah, kamu ikut saja.”“Aku mager. Aku malas jalan.”Hah, aku membuang nafas kasar, mencoba mencari ide untuk Vivianku yang terlampau manja. Duduk di bangku kuliah di semester satu sudah tak layak dibilang anak-anakkan? Tapi nyatanya Vivian terus bersikap layaknya anak SD, dan aku terus berusaha menurutinya. Di setiap senyum yang mengem
“Kenapa membeli sepatu saja kamu tak mampu? Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Viv? Kenapa kamu rendahkan dirimu seperti ini? Dimana harga diri kamu yang selalu kamu tinggikan itu? Dimana? Ha?”Lelaki itu memegang kedua pundakku, menggerakkan tubuhku dan menatapku dengan mata yang basah. “Apa yang terjadi padamu? Apa yang kamu sembunyikan dariku?” “Kamu tidak menjual dirimu untuk uang bukan?”Plakk ...Sebuah tamparan keras melayang begitu saja di pipi berwarna sawo matang itu. Aku memang rendah, tapi tak serendah yang ia pikir. Cukup sudah harga diri yang terus ia injak-injak. Lelaki itu memegang pipinya, bahkan bekas jari menempel merah memberikan tanda dari kesombongannya. Bos Arogan itu terkekeh. “Jangan muna kamu, Viv. Sebutkan hargamu untuk semalam. Aku akan membayar sepuluh kali lipat dari harga yang diberikan Haikal padamu.”‘Haikal? Apa maksudnya? Apa ia berbicara yang tidak-tidak pada Reynan? Tidak saat itu, maupun masa sekarang, Haikal terus membuat ulah.’Aku memici
Aku duduk bersandar ranjang kasur ini, terisak sendiri. Meratapi nasib yang semakin tak berpihak kepadaku. Aku melepas kehormatan hanya demi uang. Sungguh, aku tak pernah berpikir sejauh ini. Memegang kepala yang terasa semakin berat, sedangkan otak kembali memutar kejadian semalam. Benarkah? Aku menjambak-jambak rambutku sendiri frustasi. Hingga sesaat kemudian deringku terdengar, nama Alisa ada di dalamnya. Aku menghapus air mata, mengatur nafas yang yang tadinya tersengal. Menata diri setenang mungkin. “Kak Vivian !”“Iya, Sa.”“Makasih ya, Kak. Karena transferan kakak semalam, nyawa ibu tertolong. Keadaan ibu semakin membaik. Kak Viv gak jenguk ibu ke sini? Beliau nanyain kakak terus.”Aku kembali mengingat kejadian saat di ATM. Saat itu aku belum sempat mentransfer uang, karena masih ragu untuk melakukan ini semua. Lalu ... Siapa yang mentransfer uang untuk ibu? Aku bangkit dan mengambil tas yang tergeletak di sofa depan tv, mengambil dompet dan memastikan... ATM masih di t
Pagi-pagi buta aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat, aku baru mengingat ada laporan yang belum ku selesaikan, padahal hari ini ada rapat intern, yang mengharuskan adanya laporan keuangan lengkap. Mendadak perasaan bahagia hari ini, entah karena apa? Yang pasti aku tak ingin terlambat hari ini. Mungkin karena kesehatan ibu yang tengah membaik, atau karena aku sudah libur hari kemarin. Atau mungkin... Karena nasi goreng yang kumakan kemarin? Nasi goreng dengan rasa yang masih terkenang sampai hari ini. “Kakak tumben jam segini sudah siap? Alisa saja belum mandi,” sapa adik kecilku, yang tengah berdiri dengan handuk di punggungnya.“Kakak kan rajin bekerja. Jadi tidak ingin terlambat.”“Iya, iya, rajin,” ucap Alisa meremehkan.“Gak percaya?”“Kan Lisa bilang iya rajin. Atau jangan-jangan ... Kak Viv lagi naksir temen kerja ya? Hayo ngaku?”“hust apaan si?” Aku berlalu setelah menyemprotkan parfum ke tubuhku. “Kak Viv kayak penjual minyak wangi aja, sudah wangi masih di semprot
POV. ReynanAku tersenyum sendiri kala menunggu Vivian datang, aku harus pakai baju inikah? Ah, kurang cocok. Atau yang ini? Aku menghabiskan waktu seharian untuk mencoba semua pakaian di lemariku. Namun, aku kembali tersenyum kecil ketika mendapati sebuah boxer dan kaos putih ketat, kayaknya ini lebih meyakinkan Vivian kalau aku akan menidurinya. “Telat 5 menit 29 detik.” Kenapa mendadak aku gugup sekali seperti ini? Apa aku sanggup untuk tak menyentuh Vivian? Sedangkan yang aku tahu, aku begitu rindu kepadanya. Sepahit apapun perlakuan ia saat dulu, nyatanya belum mampu membuatku menghilangkan rasaku.Lalu tentang Haikal? Benarkah? Dari gaya tubuh wanita cantik ini, dia sepeti perempuan baik-baik, meskipun aku tahu dia berusaha menutupi kenyataan itu. Dia terlihat canggung sekali, bahkan untuk minum saja dahinya beruntusan dengan keringatnya. Aku yakin suhu ruang ini lebih dari cukup untuk mendinginkan tubuh. Aku tertawa kecil dalam hati, semoga yang aku pikirkan ini benar adany
POV. Reynan“Kak Reynan !”Aku menengok ke sumber suara, hingga gadis kecil yang dulu kupanggil Anabel itu menjadi fokusku. Rambut yang bergelombang, berbeda jauh dengan kakaknya, hingga nama itu terlintas begitu saja. Wajahnya tidak seburuk boneka jahat itu, namun jahilnya? Jangan ditanya . Dia anak periang, dan amat sangat super jail, dan selalu saja aku jadi korban dari kejailan gadis kecil itu. “Kak Reynan beneran kan? Atau Lisa salah lihat?”Gadis kecil itu mengucek matanya, dan sontak membuat kau terkekeh melihatnya. “Anabel?”“What? Anabel itu kutukan, Kak. Dan kutukan itu sudah pergi, jadilah Alisa yang kembali ke wujud asli, princess Barbie.”Wanita itu berceloteh manja, dengan mengangkat sedikit rok nya dan memutar. Aku kembali terkekeh melihat aksinya. “Kak Reynan!” Gadis itu mencubit lenganku, persis di sebelah jam tangan pemberian kakaknya. “Ini jam dari kak Vivian kan, Kak?” Gadis itu mengangkat tanganku, menatap jam yang kini melingkar indah di lenganku. Gadis yan
“Pecat saja aku sekarang!”“Ta-tapi ... A- apa.. maksudmu?” tanya bos arogan itu sedikit terbata.“Pecat aku sekarang, Pak! Atau .... Atau ...”Atau apa? Aku sendiri bingung harus melanjutkan kalimat tersebut dengan kata apa.“Atau apa, Viv?”“Atau ....” Aku terus menatap lelaki arogan itu, meskipun aku sendiri tak tahu dengan kalimat apa untuk melanjutkannya. Berani menatapnya sama dengan penyetaraan kasta bukan? Aku tak lagi harus menunduk , dan terus diinjak seperti biasanya.“Atau aku akan mengundurkan diri sekarang!”Lelaki itu terkekeh. “Viv, kamu mau mengundurkan diri? Yakin?” Lagi-lagi lelaki itu tertawa meremehkan.“Kamu tidak baca surat tanda tangan kontrak? Bahkan denda yang harus kamu bayar itu, melebihi dari uang yang kamu ambil dari ATM.”Aku kelimpungan, membahas tentang ATM seakan menelanjangiku dengan kejadian malam itu. Kehormatan yang bisa diukur dengan nominal uang. “Kamu....! Lelaki itu mendadak menatapku dengan genit, menyunggingkan senyum menyeringai, dan mend