Share

Lambaikan Tangan ke Kamera

"Aku pulang," sapa Isti sesampainya di kos. Rasanya lega, setelah menyelesaikan tugas jaga yang menguras emosi.

"Mandi dulu aja, aku mau masak dulu," balas Esy yang sedang di dapur.

Kesempatan yang diberikan Esy benar-benar dipakai Isti untuk menyegarkan diri, dengan mandi air hangat. Setelah selesai, cewek itu pun menuju dapur dan bergabung bersama Esy. Walaupun makan siangnya hanya sop dan tempe goreng, tapi sudah sangat disyukuri oleh Isti, yang sudah sangat kelaparan.

"Kamu nggak pulang, Is? Libur dua hari, kan?" 

"Besok pagi-pagi saja. Hari ini aku capek gila. Rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera saja. Nggak kuat," keluh Isti yang menjeda makannya, hanya demi mengembuskan napas panjang.

Cewek itu lalu memutar tubuh ke kanan hingga menghadap Esy. "Jadi kepala ruang itu dapat tunjangan jabatan berapa sih? Tanggung jawabnya gila-gilaan." 

Esy tertawa keras. "Itulah sebabnya kepala dapat uang tunjangan. Emang gila tanggung jawabnya." 

"Tapi kamu nggak gila, kan? Bukannya kamu kepala ruang juga?" 

"Nggak lah, udah biasa." Esy kembali memusatkan perhatian pada acara televisi. Ruang makan mereka memang jadi satu dengan ruang santai, tempat anak kos menikmati hiburan dari layar kaca.

Tak berapa lama terdengar dering notifikasi, Isti membukanya sambil lalu. Dia  enggan mengalihkan perhatian dari FTV, yang tokoh utamanya adalah aktor favorit.

"Ah!" teriak Isti sambil menghentak-hentak, hingga seluruh tubuh bergetar. 

"Kamu kenapa sih? Seperti anak kecil yang lagi marah saja!" tegur Esy yang terganggu dengan gerakan merajuk itu. 

Cewek itu menggelembungkan mulut hingga seperti ikan buntal lalu menyerahkan gawai pada Esy. 

Esy memandang Isti dan layar gawai bergantian. "Nggak ngerti deh. Kenapa  satu kata 'mbak' bisa bikin kamu kelejotan seperti habis diserempet ikan belut listrik."

"Mbak itu adalah satu kata berjuta makna kepunyaan si Bos. Kalau dia bilang mbak, kita-kita harus paham apa artinya. Kali ini aku ngerasa kalau itu sesuatu yang nggak mengenakkan. Nah bunyi lagi tuh." Isti beringsut menjauh, telinga ditutup rapat dengan kedua tangan. Cewek yang memakai daster gambar bunga tulip itu melihat gawai dari ekor mata, seolah-olah bom waktu yang nyaris meledak. 

Esy menertawakan tingkah lebay temannya itu. Kemudian mewakili Isti untuk membaca kelanjutan chat Hadi. 

"Mbak Isti, besok dinas P1 lagi. Aku masih dinas luar." Esy bahkan berbaik hati membacakan chat itu. 

"Tidakkkkk!" Isti berteriak sekuat tenaga hingga membuat setiap kamar kos menjeblak terbuka. Beberapa kepala tersumbul dari balik pintu, karena penasaran. Esy kemudian meletakkan jari telunjuk secara diagonal di dahi.

"Oooo..." ujar mereka secara bersamaan sebelum akhirnya menutup pintu, kembali ke alam masing-masing. 

"Enak saja bilang aku gila." Isti menepuk paha Esy. 

"Lha emang gila, gila gara-gara Hadi." Esy memegang perut dan pipi bergantian, efek dari tertawa yang terlalu bersemangat. 

"Ya, ampun. Bunyi lagi." Isti menunjuk gawai yang masih dipegang Esy. 

"Terima kasih, itu katanya." 

Isti memutar bola mata mendengar kata itu. "Belum juga bilang sanggup sudah bilang terima kasih. Memangnya nggak ada orang lain apa? Masa aku lagi yang jadi P1?" 

"Kali dia tahu kalau kamu nggak pulang, jadi disuruh masuk." Esy mengedip sambil masih terkekeh.

Kembali Isti memutar bola mata, lalu merebut gawai, dan mulai mengetik sesuatu. "Nah, beres. Aku minta ganti libur hari minggu. Jadi, dia harus masuk buat gantiin aku. Adil, kan?" Isti memainkan alis dengan bangga, kemudian menggosokkan kedua tangan. Wajahnya terlihat licik, sampai-sampai Esy membuka mulut keheranan. Jarang-jarang Isti bertekad balas dendam seperti ini.

Pagi berikutnya, Isti masuk ke Laboratorium dengan senyum cerah. "Tak apa sakit-sakit dahulu sekarang, hari minggu dia bisa bersenang-senang" pikir Isti yang sudah membayangkan hal indah, tentang hari esok.

Jadwal dinas pagi ini ada tiga orang, Isti ditemani Bintang dan Lily. Berhubung tenaga terbatas, jadi Isti bertindak sebagai tukang bantu-bantu. 

Seperti kali ini, dia membawa sampel urine menuju ke ruang pemeriksaan yang terletak di bagian paling belakang. "Ini ada sampel lagi, Ly."

Notifikasi pesan singkat berbunyi, ketika sampel urine sudah ditaruh. Saat Isti membuka gawai, dia menemukan pesan dari Hadi, yang mengingatkan untuk mengerjakan kultur sensitivitas. 

Cewek itu menjawab ya, kemudian mulai mengerjakan tugas yang dilimpahkan kepadanya. Setelah membereskan perlengkapan antibiotik terdengar bunyi notifikasi lagi. Kali ini Hadi mengingatkan untuk menghubungi PMI agar dapat stok darah. 

Isti pun melangkah ke ruang kantor, kemudian menghubungi operator, agar menyambungkannya dengan PMI.

"Selamat siang, Mbak. Saya mau pesan darah untuk persediaan. Golongan darah A WB sebanyak lima kolf, AB WB satu kolf, B WB empat kolf, PRC tiga kolf, dan O PRC lima kolf." Isti mengetuk-ketukkan jari di permukaan meja, selama menunggu jawaban dari petugas PMI.

"Oke, Mbak. Semua permintaan tersedia. Mau diambil kapan?" Jawaban dari petugas PMI membuat Isti lega. Pasalnya, yang dinas malam sudah menghabiskan sebagian besar stok darah mereka. Padahal ada permintaan darah lagi. 

Setelah menutup panggilan telepon dengan PMI, tak lupa Isti menghubungi supir untuk mengambil darah ke PMI.

"Mbak, sini deh. Ini kenapa ya?" Bintang yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Isti, memanggil dari depan alat elektrolit. Dia memang menunggu hingga Pi selesai menelepon.

"Dari tadi nggak mau nyedot sampel. Terus, ini digimanain?" Isti bisa melihat butiran keringat bermunculan, di dahi cewek berambut ikal itu.

Tanpa banyak kata, Isti menghampiri, lalu memperhatikan penjelasan Bintang. Cewek itu berusaha melihat apa masalahnya, tapi belum juga berhasil mencari jalan keluar. Saat Isti mulai menyerah dan mempertimbangkan untuk menghubungi tehnisi, gawai yang ada di sakunya bergetar.

"Semuanya lancar, Mbak?" Suara Hadi di ujung panggilan membuat cewek itu mendesah lega. 

"Bos, ini alat elektrolitnya kok nggak bisa ya?" Isti pun mulai mengulang penjelasan Bintang tadi. 

Setelah sempat berdiam diri selama lima detik, Hadi mulai memberi arahan pada Isti, agar dapat menyeting alat itu. 

"Mbak, kok gini?" tanya Bintang, karena langkah selanjutnya tidak sama dengan perkataan Hadi. 

"Itu karena kamu salah pencet, harusnya yang kanan bukan kiri," sahut Hadi, yang sukses membuat Bintang dan Isti ketakutan. 

Mereka bahkan belum mengatakan apa yang jadi masalahnya, tapi Bos sudah mengetahui kesalahan mereka.

Spontan Isti dan Bintang menatap ke langit-langit ruangan, mencari CCTV yang mungkin dipasang tanpa sepengetahuan mereka. Akhirnya, Isti mengangkat bahu, untuk menunjukkan kalau tidak ada CCTV di sana. 

Setelah panggilan berakhir Bintang berbisik pada Isti. "Bos punya indera keenam ya, Mbak?" 

"Mungkin juga." Isti kembali teringat pada pesan singkat Hadi, yang sesuai dengan waktu dan tempat kejadian. 

Isti kembali mendongak, meneliti langit-langit kalau-kalau memang benar ada CCTV. Bolehkah saat ini dia melambaikan tangan ke kamera, biar si Bos balik ke Laboratorium dan bekerja lagi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status