enjoy reading ...
"Mencintai itu nggak salah, Do. Yang salah itu kalau kamu menjatuhkan pilihan ke wanita yang salah. Sasha, kakak iparmu, bukan wanita tepat yang seharusnya menerima cintamu. Dia udah punya suami, kakak kandungmu, dan mereka udah punya Shakira. Kamu seenggaknya harus mikir, gimana nasib Shakira kalau Mamanya diceraikan Papanya. Dia masih balita. Apa kamu tega bikin dia hidup di keluarga yang broken!?" Tangannya terulur menepuk pundakku, "Kalau menurutku, jangan sampai pengalaman broken home yang kamu dan kakak kandungmu alami, itu kamu wariskan ke Shakira. Dia berhak bahagia di usianya yang masih kecil untuk bermanja-manja pada Mama Papanya." Bayanganku beralih ke kejadian saat Mas Kian membelikannya banyak mainan usai ditinggal bekerja di luar kota. Dia nampak bahagia dan menciumi pipi Mas Kian berkali-kali. Hal yang tidak pernah kualami ketika Papa menduakan Mama. "Juga, apa kamu nggak kasihan Sasha kembali bersedih? Dulu, waktu dia hamil sampai mau lahiran, Masmu nggak mau ngakui
"Gue mau lo nungguin gue disini sampai ---" "Risty!" Kami berdua menoleh ke asal suara yang memanggil namanya. Terlihat Richard berlari kecil dari halaman fakultas yang berumput hijau, lalu menghampiri kami. Rambut hitamnya yang lebat, dibiarkan menutupi jidat. Dengan memakai kaos berkerah warna merah yang kontras dengan kulit putihnya, jeans berwarna pudar yang membungkus kaki jenjangnya. Richard yang menenteng tas ransel kuliah terlihat sangat tampan dan berkelas. Cengkeraman tangan kanan Risty di ujung kerah hoodieku, terlepas. Kemudian kedua tangannya bersedekap di depan dada dengan gaya sombong seiring Richard yang makin mendekat. "Mau pulang? Aku anterin yuk?" tawarnya."Nggak usah, Rich. Gue bisa pulang sama body ... " Risty menggantung kalimatnya sesaat, "Sama Kaika, Livy, dan Greys."Hampir saja dia keceplosan menyebut kata 'bodyguard'. Seperti kesepakatan awal bahwa dia tidak mau mengakui aku sebagai bodyguardnya pada orang-orang selain ketiga sahabat baiknya. "Risty, a
Aku menghajar Richard seperti orang kesetanan! Bahkan di mataku, Richard justru terlihat seperti samsak! Samsak yang biasa kutinju sebebas-bebasnya saat berlatih bela diri di gelanggang. Dengan menaiki tubuhnya, aku bebas meninju wajahnya dengan membabi buta. Darah mulai mengucur di sudut bibirnya namun tiba-tiba dia menggunakan tangannya untuk menarik rambutku sekuat mungkin hingga berhasil meloloskan diri. "Rado! Richard! Stop!" Kaika menahan lenganku yang akan kembali melayangkan tinju ke wajah Richard. Kami sama-sama babak belur namun naluri balas dendamku masih ingin terus menghajarnya. "Stop, Rado! Kamu bisa bikin Richard mati!" Richard terlihat setengah sempoyongan saat berdiri. Tidak berbeda jauh denganku yang babak belur dua kali. Namun aku lebih jantan dibanding dirinya yang baru mendapat tinjuan dariku saja sudah hampir ambruk. "Banci! Payah!" cemoohku. "Tunggu pembalasan gue, an***g!" Richard mengacungkan jari tengah ke arahku lalu pergi terbirit-birit. Aku m
Saat aku begitu khidmat memeluk Mbak Sasha, dia justru menjauhkan tubuhnya dari pelukanku. Kemudian, aku menatapnya dengan sorot memelas penuh arti. Andai aku bisa berkata lantang agar dia memperlakukan aku lebih dari ini agar gersang di dalam hatiku segera terhujani oleh cinta dan kasih sayangnya. Lalu aku yakin, jika luka di fisik ini akan segera sembuh dengan sendirinya. "Ayo kamu mandi dulu, lalu aku obatin." Kepalaku menggeleng lalu meraih pinggangnya. Namun Mbak Sasha justru mencekal kedua tanganku. "Mandi, Rado!" "Mbak, jangan bilang Mas Kian kalau aku habis berantem." "Mas Kian pasti tahu walau kita nggak bilang." "Aku nggak mau dimasukin rumah konseling. Aku nggak nakal, Mbak. Aku nggak sakit. Kenapa aku harus dimasukin rumah konseling? Memangnya kalian mikir aku gila?" tanyaku dengan perasaan begitu mendalam. "Rado, hei! Siapa yang mau masukin kamu ke rumah konseling? Nggak ada," ucapnya menenangkan. Aku meraih kedua tangannya untuk membelai pipiku lembut, "Aku n
"Kenapa sama Risty?!" Tanpa menjawab pertanyaanku, Kaika segera menarik tanganku menuju mobil. Lalu aku menyambar tas ransel kuliah yang tergeletak di atas kursi gelanggang. "Hei, kalian berhati-hatilah!" seru Bang Al. "Makasih, Bang!" jawab Kaika sambil terus berlari. Tanpa banyak tanya, Kaika segera melajukan mobil sedan mewah Risty menuju tempat dimana gadis itu berada. "Risty kenapa, Kai?" "Risty bilang dikepung sama Ziany dan preman sewaannya!" Aku terkejut begitu mendengar ucapan Kaika. Pasalnya, bagaimana nasib Risty dengan badan sekurus itu dihadang oleh dua preman yang bertubuh dempal? Membayangkannya saja aku tidak bisa karena sudah pasti dia akan kalah tenaga. Kaika menyetir seperti orang kesetanan bahkan tidak peduli dengan pengendara lain yang menghadiahinya umpatan. Begitu tiba di jajaran ruko, Kaika segera memarkirkan mobilnya di halaman sebuah apotek. Untuk apa dia mengajakku kemari? "Ayo, Rado! Cepet!" serunya. Namun tiba-tiba langkah Kaika terhenti beg
"Pokoknya lo tahu beres. Kalau soal bikin drama, gue jagonya." Kemudian tangan kanan kiri Risty menengadah diantara kami berdua. "Mana ponsel lo? Biar gue yang selesaiin." "Seenggaknya lo bilang apa yang mau lo bilang ke kakak ipar gue." Bibirnya berdecak, "Lama!" Risty mendorong tubuhku kemudian dia melangkah menuju meja tamu, tempat aku meletakkan tas ransel kuliah. Dengan lancangnya dia mengobrak abrik isi tasku. "Risty!" tegurku. Begitu tangannya berhasil memperoleh ponselku, tangannya kirinya memberi kode agar aku tidak maju untuk menginterupsi apapun yang akan dia lakukan. "Lo bodyguard gue. Dan seharusnya lo tunduk sama perintah gue, Rado. Dan asal lo tahu, baru kali ini gue ikut campur masalah kucing-kucingan bodyguard gue sama keluarganya. Remeh temeh banget lo jadi cowok," ucapnya ketus bernada menyindir. Tatapan matanya masih fokus tertuju pada isi ponselku yang terus diacak-acak oleh jemarinya yang lentik. Dengan kuku sedikit panjang yang dihiasi kuteks berwarna me
"Ya? Ada apa?" Kaika berdiri di sebelahku sambil ikut menatap pemandangan ibu kota setengah sore ini dari kaca bening besar apartemen mewah Risty. "Nanti malam, Risty mau ikut acaranya anak-anak borjuis. Tugas lo ntar malam harus selalu sama dia kemanapun dia melangkah. Jangan alihin pandangan lo darinya meski satu detik aja. Karena Risty itu suka jadi pusat perhatian. Jadi jangan heran kalau ntar dia bakal dikelilingi cowok-cowok." "Ziany bukan anggota acara itu. Jadi tugas lo cuma mastiin dia selalu aman. Dan satu lagi, dia suka pakai baju terbuka tapi nggak mau digoda. Aneh kan?!" Aku mengangguk paham dengan satu hal itu. Karena banyak teman-teman perempuan di fakultas suka memakai pakaian terbuka namun marah-marah jika digoda para lelaki. Lalu jika mereka tidak mau digoda mengapa memakai pakaian terbuka? Tidak habis pikir aku memikirkannya. Sebelum berangkat menjadi bodyguard yang sebenarnya, Kaika mengajakku menyantap makan malam. Karena disana, aku tidak diperkenankan mel
Risty dan semua perempuan di meja itu tertawa lepas menanggapi ucapan temannya yang berkata ingin 'menikmatiku'. Sedang otakku masih memikirkan apa maksud dari ucapannya itu? Karena jelas-jelas aku ini bukan permen atau barang yang bisa dipinjam-pinjamkan atau dicoba-coba. "Tanya aja sama dia. Mau apa kagak," Risty bersuara setelah meredakan tawanya. "Ya lo kali yang nanyain." "Kenapa? Lo mabuk cowok ganteng?" "Gue butuh pelampiasan. Tapi bukan yang sembarangan." "Lo ngerti aja kalau barang-barang gue selalu berkelas." Gadis itu mendekat ke arah Risty lalu berbisik, "Dari cara dia naik motor sport udah bikin jantung gue jedag-jedug." Entah apa yang mereka bisik-bisikkan selanjutnya karena bertepatan dengan itu, acara ini baru dimulai. Risty tiba-tiba berdiri, meraih tanganku menuju tempat yang berada di pojok, diikuti temannya. "Do, buka masker dan topi lo," perintahnya. Aku melakukan apa yang dia inginkan kemudian sahabatnya tersenyum. Kepalanya mengangguk pelan sambil me