Share

Perkiraan yang Salah

          “Bukan ih, gue serius.”

          “Gimana? Pengin berubah seperti apa?”

          “Lu lihat Nissa, kan? Dia cantik banget pakai jilbab. Kalau gue jadi lu, mungkin gue lebih pilih Nissa dibandingkan Rine. Kita jauh, Bi, kayak langit dan bumi.”

          “Astaga, Rine! Rine, gue enggak apa-apa lu mau gimana juga. Memangnya pernah selama ini gue minta lu berubah secara fisik? Jerawat lu saja enggak pernah gue bahas. Gue enggak tahu harus meyakinkan lu gimana, tetapi gue benar-benar suka lu,” jelasnya dengan tangan menangkup pipi cewek yang sedari tadi menunduk.

          “Lebih tepatnya, gue pengin jadi lebih baik, Bi. Gue bingung harus mulai dari mana. Gue takut karena sebenarnya sudah nyaman begini.”

          “Lu akan berubah nanti, seiring berjalannya waktu. Jangan memaksakan kalau belum siap, gue bakal tunggu lu berubah, Rine.”

          Abbian menggenggam kedua tangan milik Rine untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak akan ingkar janji. Hati cewek itu cukup lega mendengar penuturan kekasih hatinya yang baru terjalin dua bulan. Rine tidak tahu apa yang akan dihadapinya hari besok, tetapi keinginannya untuk berubah kenapa tidak kunjung siap juga. Saat dia mencoba memakai jilbab di kamar, dia tidak akan berani keluar. Saat dia ingin membaca kitab suci, bibir tebalnya yang tidak pernah gemetar mendadak terbata-bata, semuanya asing. Dia bahkan tidak hafal rukun islam dan rukun iman yang biasanya dibaca anak TPQ dekat rumahnya.

          Nissa saja sebagai sahabat belum tahu kekalutan hati Rine yang sebenarnya. Di dalam kamar bernuansa kuning gading, cewek itu menatap dirinya di depan cermin. Tangannya yang lentik segera mencari ponsel dan membuka YouTube untuk melihat berbagai kajian di sana. Dia merasa aman dan tenteram meski sesekali bertanya kenapa perempuan terlihat penuh aturan di agamanya. Rine menyimpan itu sendiri, sebelum keberanian itu muncul untuk mengatakannya pada Abbian. Rasa cinta yang Rine sering tepis sebenarnya sudah mengakar kuat. Hanya perlu waktu dua bulan untuk seorang Abbian meluluhkan hati Rine yang sekeras karang di lautan.

          Makan malam seorang diri terasa begitu hambar bagi Rine. Satu-satunya asisten rumah tangga, Bi Jum namanya, juga sudah pamit pulang sehingga menyisakan kesepian. Suara denting sendok yang beradu dengan piring menjadi musik yang meramaikan. Dia hendak menghubungi Abbian, tetapi egonya menahan itu. Cewek dengan kaus oblong dan celana pendek itu enggan ketergantungan kepada siapa pun dengan alasan apa pun. Terpaksa, dia menikmati sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan sambal terasi seorang diri. Sesendok demi sesendok nasi mulai dikunyah walau teramat pelan. Selera makannya selalu menguap ketika makan di rumah, kecuali ditemani Bi Jum. Hal ini berbanding terbalik bila makan di rumah Nissa. Lauk apa pun terasa begitu nikmat, menggugah selera untuk menambah.

          Nasi yang tinggal beberapa sendok pun tidak bisa dia paksa lagi untuk masuk ke mulutnya. Sisa nasi itu dibuang begitu saja dan langsung membiarkan piring itu. Jam di dinding terus bergerak, berkejaran. Chat dari Abbian begitu malas dibalas, kebiasaan yang sudah mendarah daging. Kebiasaan yang membuat Abbian harus memiliki stok kesabaran melimpah. Dering ponsel mengagetkan, nama Abbian terpampang di layar. Lagi-lagi Rine membiarkan ponselnya mati sendiri. Dengan malas yang dilawan, dia chat Abbian, mengabarkan bahwa malas untuk chat atau telepon dengannya. Beruntung Abbian bukan cowok rewel yang meminta dikabari 24 jam seperti UGD. Cowok itu terkesan santai dan percaya akan apa yang ceweknya minta.

          Bel rumah berbunyi, Rine langsung bangkit dengan sedikit umpatan. Dia benci bila ada tamu saat orang tuanya tidak di rumah. Sebelum keluar membuka pintu, cewek itu mengintip dari tirai. Cowok dengan setelan kemeja abu-abu dan celana jin panjang sudah menunggunya. Ya, Abbian, hanya dia yang berani melakukan itu.

          “Kenapa ke sini? Sudah bilang lagi malas.”

          “Pacarnya datang bukan disambut, tetapi disemprot. Untung gue cinta sama lu,” ujar Abbian dengan ciuman yang sudah mendarat di puncak kepala.

          “Lu pasti sendirian di rumah, makanya gue ke sini sambil bawa telur gulung kesukaan lu. Seperti biasa, sausnya gue pisah biar telur gulungnya enggak becek.”

          Desiran itu serupa tiupan daun kelapa di pantai. Rine mempersilakan Abbian duduk di teras dan izin untuk mengambil wadah atas makanan yang sudah dibelinya. Rine pusing, tidak tahu hendak dibawa ke mana hubungannya bersama Abbian. Dia mulai dilanda rasa bersalah bila cowok itu benar-benar serius. Pasalnya, hati Rine masih sering terombang-ambing. Ada banyak alasan yang belum dibicarakan kepada Abbian.

          Telur gulung sudah dikeluarkan, sambal pun sudah dibuka. Rine langsung mengambil dan memasukkannya ke dalam mulut tanpa berkata apa-apa. Cowok yang memegang telur gulung itu tersenyum lebar. Dia suka Rine, suka tingkahnya, suka apa pun yang menyangkut cewek itu. Semua mantannya, nyaris tidak ada yang menyukai jajanan pinggir jalan. Abbian tidak tahu seberapa dalam cintanya, dia hanya tahu betapa susahnya memperjuangkan cewek di depannya.

          Suara mobil disusul klakson mengganggu keduanya sehingga Rine bangkit menuju gerbang. Dia berjalan santai, lalu membuka gerbang besi yang cukup tinggi berwarna merah kecokelatan. Abbian bingung, ini pertama kalinya bertemu keluarga kekasihnya secara tidak sengaja. Biasanya orang tua Rine jarang pulang ke rumah utama, lebih sering di rumah dekat kantornya. Itu yang Abbian tahu dari penuturan Rine.

          “Ini temannya Rine? Di dalam saja, jangan di sini,” ucap wanita paruh baya dengan dandanan menor.

          “Tidak apa-apa di sini saja, Tante. Oh, iya, nama saya Abbian, pacarnya Rine,” jawabnya seraya bangkit untuk mencium tangan wanita itu.

          “Wah, anak itu sudah pacaran rupanya. Baik-baik, ya, sama dia,” jawabnya sambil berlalu begitu saja.

          Lelaki paruh baya di belakangnya hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepala kepada Abbian. Cowok manis itu sedikit terkejut dengan respons orang tua Rine. Kesantaian orang tua kekasihnya itu justru menimbulkan banyak tanda tanya. Pasalnya, orang tua mantan-mantannya dulu selalu marah bila Abbian datang saat mereka tidak di rumah. Berbagai pikiran negatif selalu tertuju padanya, sebagai cowok dewasa tentulah paham mengenai hal-hal yang tidak semestinya dilakukan sebelum pernikahan. Namun, orang tua Rine berbeda. Apalagi saat melihat kekagetan mama Rine seakan-akan dirinya adalah pacar pertama anaknya. Padahal, dia sudah pacar yang ke sekian.

Rine datang dengan wajah datar, entah apa yang terjadi. Dia langsung memakan telur gulung dan bertanya, “Sudah ketemu Mama dan Papa?”

          “Iya, tentu saja. Mama lu tadi menyuruh gue ke dalam.”

          “Ya sudah, ayo.”

          Belum hilang rasa terkejut Abbian, kini ditambah lagi. Cowok itu langsung menurut dan mengekor patuh tanpa berani bertanya apa-apa. Dia kira akan duduk di ruang tamu atau paling intim di ruang keluarga. Akan tetapi, perkiraannya melesat jauh. Rine membawanya untuk ke kamar pribadinya, terlihat dari pintu dengan tulisan Rine Bgst. Cowok itu kaget sampai mematung saat kekasihnya sudah duduk tenang di kasur.

          “Ayo, ke sini. Buat apa lu di situ?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status