Share

Emak-Emak Rempong

            Aku tahu apa yang harus aku lakukan menjadi seorang ibu beranak dua. Kakiku langsung berkirai dari sana, halaman rumah yang cukup luas untuk bersantai. Setelah mataku melihat sosok ibu mertua yang telah memasuki rumah, dan aku pun mengikuti jejak Elvina ke rumah.

Pintu rumah terbuka lebar, dimana kedua anakku bermain bersama. Aku tidak menghiraukan dengan posisi mereka. Rasanya sedikit bosan ketika aku harus menguasai rumah sepenuh hariku. Apalagi aku harus bangun sepagi mungkin, sedangkan aku pulang harus lebih telat dari orang lain.

Ya, jarak dari rumah ke sekolah—tempat aku mengajar cukup jauh. Mungkin jarak antara rumahku dengan kota Namang tidak terlalu dekat. Bahkan jarak yang sudah melebihi belasan kilometer dari sini.

Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih setengah jam bila menggunakan sepeda motor. Itu pun tergantung kecepatan yang kita tempuh.

Kakiku langsung menuju kamar, membiarkan semua kelelahanku pada ruangan yang sempit ini. Hanya seukuran tempat tidur dan satu lemari baju saja. Benar-benar sesak dan muak jika harus berada di sini terus-menerus.

“Duh, jenuh juga di sini!” keluhku.

Akhirnya aku memutuskan untuk melempar kebosanan ke luar setelah berganti pakaian. Mataku malah merangkak pada meja keci di tengah ruangan. Buku-buku yang masih berantakan sudah tidak diacuhkan lagi.

“Ah, nanti aja ngeberesinnya.”

Aku mengibrit, meninggalkan kedua anakku yang sedang asyik bermain. Di sana, mereka sudah tidak memedulikan aku ketika terbawa oleh kesenangan mereka tepat di depan televisi. Aku keluar dan berkumpul dengan beberapa wanita di kampung.

Melihat kerumunan, rasanya sudah membuatku lebih lega. Aku mencari posisi duduk bersama mereka yang asyik mengobrol.

“Haira, baru pulang, ya?” Sambutan dari salah ibu-ibu sedang bersantai di atas kursi panjang. Mereka menikmati terik matahari menuju sore tiba.

“Iya, Bu. Tadinya aku mau tidur siang, rasanya agak jenuh juga kalo di rumah terus,” sahutku ramah.

“Ya, udah. Kayak biasa, dateng aja ke sini. Kita ngobrol bareng, udah lama juga nggak liat kamu yang tadinya sibuk mulu.”

“Haira, kamu itu udah biasa ya ngadepin suamimu itu.”

“Iya, suaranya keras lagi. Waktu itu aku pernah nggak sengaja denger.”

Aku melihat dua ibu-ibu yang agak tua, lalu satu wanita yang memang seumuran denganku. Mereka adalah tetangga dekat yang memang agak rewel ketika mendengar hal-hal yang kurang nyaman di keluargaku.

Senyumku terukir sejenak, aku tidak akan curhat pada mereka tentang masalah rumah tanggaku. Jadi tawa kecilku itu keras agar mereka terkesan tidak bergosip.

“Ahh … kalian kan udah tahu. Lagipula aku udah biasa. Kalo nggak biasa, ya … aku pasti udah minggat. Hahaha.”

Jawabku sambil tertawa kecil, tapi tidak mau membeberkan keburukan suamiku.

“Tapi, biar dia begitu. Dia pria yang rajin, sering dateng ke masjid.” Aku melanjutkan agar mereka berhenti menjatuhkan martabat suamiku sebagai pembina rumah tangga.

“He em, aku juga sering liat dia. Dia juga nggak pelit sama orang,” balas dari salah wanita yang sebaya denganku.

“Nah, itulah dia!” sambungku sambil mengacungkan jemariku meninggi.

“Eh, enak aja kalo suami aku! Dia malah enak-enakan tidur kalo udah azan. Memang sih nggak pernah marah, tapi ya itu. Ngorok kalo udah azan lewat.”

"Hahaha, buruk!" teriak wanita di sebelahnya.

Salah satu ibu-ibu di sampingku mencibirkan keluhan dengan raut kesalnya. Dua ibu-ibu itu duduk berdampingan denganku. Mereka semua berkerudung, bertubuh memang agak gendut seperti diriku. Bahkan wanita yang duduk di ujung juga menyamaiku, apalagi umur kami sama.

Aku dan wanita di ujung hanya bisa cengar-cengir agar menghangatkan suasana. Wanita seumuran denganku namanya Yati, dia wanita yang tidak banyak bicara. Berbeda dengan diriku yang memang banyak bicara, dia hanya tersenyum-senyum dan menyahut hanya beberapa kata lalu memilih diam.

Sementara dua ibu-ibu yang duduk di sampingku memiliki nama yang agak mirip. Tepat berada di sampingku namanya Mursiah, lalu di sebelahnya Marfiah. Ke dua-dua ibu itu memiliki awalan huruf yang sama.

Ya, kalau dipanggil memang beda. Mereka yang terbilang lebih akrab denganku dari tetangga yang lain. Kami bercengkerama hingga memecah tawa yang hampir melupakan sisa hariku di penghujung sore.

“Waduh! Aku hampir lupa lho. Udah sore, aku mau balik dulu,” pamitku terkocar-kacir menuju kepulangan.

Ibu Marfiah di sampingku menjerit. “Eh, cepet amat sih?!”

Aku bahkan tidak menoleh lagi. Kakiku dengan entengnya menjauhi mereka karena aku pasti akan dimarahi oleh suamiku. Jarak antara rumah mereka tidak terlalu jauh, walau rumah kami memang terselip di balik gang kecil.

Aku secepatnya melangkah hingga menjatuhkan ke teras halaman depan rumah. Napasku lega ketika aku melihat kekosongan di depan. Sepeda motor suamiku belum terlihat, yang artinya dia belum kembali.

"Ah, syukurlah dia belum balik!"

Tangannku segera meraih gagang pintu menuju bagian ruang tamu. Kepalaku tidak menghiraukan sesosok wanita sedang menghampiri rumahku. Dia memanggil keras.

“Haira, kamu tadi ke mana? Ngomong apa kamu sama mereka?”

Itu suara ibu mertuaku yang tadinya tidak terlihat sama sekali. Lalu aku mengentakkan kakiku untuk berbalik. Hingga aku melihat jelas penampakan ibu mertua yang tampak penasaran dari mana aku pergi?

Dia mendekatiku sambil menyapu halaman rumahku.

“Ma, biarin! Aku bisa kok nyapunya,” cegahku maju selangkah.

“Udah biarin. Kamu kan capek! Lagian kamu kan baru pulang. Tapi, ngomong-ngomong kamu bicara apa sama mereka tadi?” Ibu mertuaku mengulangi pertanyaan yang belum aku jawab.

“Oh, nggak ada apa-apa kok, Ma.”

Aku sedikit mundur, tetapi ingin sekali membantu ibu. Akhirnya tanganku tergerak untuk segera merampas sapu lidi dari tangan ibu mertuaku.

“Ma, aku aja!”

“Jangan sering-sering ngobrol sama mereka!” ketus ibuku mengendurkan dekapannya pada sapu lidi.

Kini, sapu lidi berhasil kurampas dari tangannya. Aku mengambil alih tindakan ibu untuk membersihkan halaman rumahku. Aku takut jika terjadi kesalahan lagi, maka aku harus lebih cekatan.

“Nggak kok, Ma. Mama tenang aja! Aku bukan tipe orang yang suka ngejelekin keluarga sendiri.”

Balasanku sedikit menoleh ke wajah ibu mertuaku. Namun ibu mertuaku masih saja berceloteh tentang hal itu.

“Iya, jangan sering-sering deh! Mereka sering ngomongin kamu dan mama juga. Heuh! Mereka pura-pura baik aja.”

Ibu mertua saya menghentikan pidatonya dan bergegas pergi tanpa pamit. Untuk apa? Lagipula aku tidak akan menjadi menantu yang baik. Saya hanya diam di tempat kerja sore ini. Tanganku menyapu bersih di antara halaman.

Sialnya, aku melupakan tugas yang ada di dalam. Sontak mataku mencelang lebar, terdongak sesaat. Dalam hati aku resah.

‘Aku mau masak, tapi mama malah banyak maunya.’

Kepalaku menggeleng gelisah, kemudian kembali menyapu dengan cepat. Tak sadar kalau suamiku kembali di waktu yang tidak tepat.

‘Ah, dia udah balik lagi!’

Keluhanku kini menjadi bertubi-tubi. Maka ini akan menjadi salahku lagi. Siap-siap dia akan memakiku setelah ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status