Share

5. Pindah Rumah

Hari ini mas Bara mulai bekerja kembali, ia terlihat semakin tampan dengan pakaian resminya. Aku menelan ludah saat mencuri pandang ke arah iparku yang terasa istimewa ini. Mbak Alya tampak sibuk membantu mas Bara bersiap.

"Apa kamu mau berangkat bersama Mas Bara, Aruna?"

Tanya mbak Alya saat kami berada dalam satu meja makan, menikmati sarapan buatan ibu. Ibu sengaja memasak pagi-pagi supaya semua bisa sarapan. Ibu sendiri sudah sarapan bersama bapak tadi, untuk kemudian berangkat berjualan.

Sebenarnya aku senang sekali dengan penawaran ini, tapi aku tidak ingin terlihat murahan dengan menumpang kendaraan mas Bara.

"Mbak Alya bisa saja, tujuan kami beda Mbak. Nanti Mas Bara bisa terlambat kalau harus mengantarku dulu."

"Tidak apa-apa, cuma sedikit masuk gang saja, mungkin cuma butuh waktu tujuh menit."

Aku tidak menyangka mas Bara bicara seperti itu, berarti mas Bara mau mengantarku ke sekolah, yess!

"Baiklah, kalau tidak merepotkan."

Jawabku dengan rasa girang di dalam hati. Kali ini pasti Mbak Alya tidak akan ikut karena dia masih memakai daster. Mbak Alya juga tampak santai tidak ikut sibuk mau pergi juga. Aku bisa duduk di depan, di samping mas Bara nanti.

"Mbak Alya ikut nggak nanti?"

Tanyaku memastikan.

"Ya nggak lah, Mas Bara kan mau kerja. Lagian cucian baju mbak sudah masuk rendaman itu, mau beres-beres rumah juga."

Jawaban mbak Alya membuatku senang sekali. Dengan langkah ringan, aku menuju kamarku untuk bersiap.

Aku menunggu mas Bara di teras depan, tampak olehku mbak Alya mencium punggung tangan mas Bara sebelum mas Bara melangkah keluar. Mas Bara pun mencium kening kakakku, aku memalingkan muka. Dalam hati aku menggerutu, cuma mau kerja saja, pamitnya lama minta ampun.

"Arunaaaa."

Terdengar suara seseorang memanggilku, kami bertiga serentak menoleh ke sumber suara.

Ternyata Arum yang datang, tidak biasanya dia ke sini pagi-pagi. Arum membawa sepeda motornya masuk ke halaman dan berhenti tepat di dekat kami bertiga.

"Ada apa, Rum?"

Tanyaku.

"Kita berangkat bareng ya, ada yang mau kubeli. Itu tugas dari Miss Reni. Kalau aku bawa motor sendiri tidak ada yang pegang nanti."

Aku ingat memang ada tugas dari guru bahasa inggris. Tapi mengapa juga Arum membeli bingkai kaca itu hari ini, seperti tidak ada hari lain saja. Dasar bikin kacau saja nih bocah.

"Tidak harus hari ini kan, Rum?"

"Aku takut duit kelompok hilang, hari ini sudah ngumpul semua, lebih baik langsung dibelanjakan bukan?"

Dasar Arum pandai sekali beralasan, aku berdecak kesal.

Mbak Alya melirikku.

"Ya sudah, Aruna. Kamu berangkat bareng Arum saja. Arum butuh bantuanmu, mana tahu lain kali kamu yang butuh bantuan Arum."

Saat ibu kedua sudah bicara, aku pun tiada berdaya. Mengumpat dalam hati, itu saja yang bisa kulakukan.

________

Malam ini aku merasa sangat gerah, memang sial sekali nasibku. Kipas angin yang ada di kamarku sudah dua hari ini rusak dan ayah belum sempat membawanya ke tukang servis.

Dengan kesal aku ke luar kamar, duduk termangu di sofa ruang tengah sambil menikmati minuman dingin yang kubeli siang tadi dan kusimpan dalam kulkas. Segar rasanya, sedikit memberi efek tenang di otakku.

Ceklek!

Lampu kamar mbak Alya padam, maksudnya memang sengaja dimatikan. Suasana malam memang sudah mencekam, ayah dan ibu pasti juga sudah bermimpi. Telingaku menangkap suara-suara yang membuatku risih dari arah kamar mbak Alya.

Aku tahu mereka sedang apa. Aku menggeram dengan amarah dalam hatiku. Seketika aku ingin memaki, dasar pasangan lebai. Apa mbak Alya tidak merasa kasihan pada mas Bara yang baru saja memulai kerjanya hari ini, setelah cuti menikah pasti banyak sekali pekerjaan yang tertunda dan harus cepat diselesaikan. Gitu malamnya kok ya masih main. Tanpa sengaja aku menjatuhkan kaleng minumanku, suara berisik pun terdengar. Kalau ibu dan ayah pasti tidak dengar karena kamar mereka berada di belakang dekat dapur. Mbak Alya dan mas Bara yang pasti mendengar, aku menutup mulutku dan menyesali insiden ini.

Aku mau kabur ke kamar tapi sudah terlambat, pintu kamar mbak Alya sudah terbuka dan mas Bara-lah yang mendapatiku sedang berada di ruang tengah.

"Sedang apa di sini, Aruna. Apa kamu belum tidur dari tadi?"

Mas Bara menanyaiku sambil berjalan mendekatiku. Aku tidak segera menjawab, aku sedang merasa takjub dengan pemandangan di depan mataku. Tubuh mas Bara yang bertelanjang dada dengan keringat yang tampak mengkilat di kulit putihnya, sanggup menyita perhatianku. Tiba-tiba ada desir aneh di dadaku.

"Ta-tadi aku sudah tidur dan terbangun karena gerah, aku sedang minum di sini."

Jawabku terbata-bata seraya menunjukkan kaleng bekas minumku yang terjatuh tadi.

"Kenapa kamu tidak kembali ke kamarmu, kamu bisa membawa minumanmu ke kamar bukan?"

Mbak Alya pun muncul dan berdiri di belakang tubuh suaminya. Ia memakai baju tidur tipis yang menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas, aku melihat dengan jelas mbak Alya tidak memakai dalaman. Rambutnya tergerai dengan tidak rapi, oh tentu saja, mereka kan ....

"Iya, Mbak. Ini juga mau tidur lagi. Kaleng ini pakai jatuh dan mengganggu tidur kalian. Kalau begitu aku permisi ya Mbak, Mas ...."

Rasanya aku tidak tahan dengan pemandangan yang tersaji dihadapanku ini, aku buru-buru pamit dan pergi tanpa menunggu jawaban dari mbak Alya atau pun mas Bara.

Bukannya aku menjadi tenang ketika sudah berada di kamarku sendiri, pikiranku semakin kacau saja karena peristiwa tadi. Mengapa aku tidak bisa menghilangkan bayangan mas Bara dalam sedetik pun.

Dadaku tersengal menahan gejolak jiwa yang tiada menentu. Ada apa denganku ini. Aku menjadi sangat terpesona dengan kakak iparku.

Aku sadar, pikiranku ini kotor dan tidak selayaknya. Tapi sumpah, aku tidak bisa menolak rasa yang datang dengan sendirinya ini. Aku menjambak rambutku kuat-kuat agar kepalaku terasa sakit dan tidak bisa membayangkan mas Bara lagi. Berulang kali kutarik rambutku sekuat tenaga, yang ada hanya rasa sakit. Dan bayangan mas Bara semakin menggodaku.

Hari ini semua kesiangan, tidak ada yang sempat memasak untuk sarapan. Akhirnya kami berlima hanya sarapan roti dan minuman hangat pilihan masing-masing. Mbak Alya sibuk melayani mas Bara dan ibu sibuk melayaniku dan ayah. Aku ingin sekali bertanya apa hari ini aku akan diantar mas Bara ke sekolah, tetapi belum sempat pertanyaan itu keluar dari mulutku, mbak Alya sudah mendahuluiku.

"Kami tidak bisa mengantarmu ke sekolah, Aruna. Hari ini aku dan Mas Bara mau melihat rumah yang rencananya mau kami beli. Aku belum bersiap-siap, kamu bisa terlambat kalau menungguku."

Apa? Mbak Alya dan mas Bara mau membeli rumah, berarti sebentar lagi mereka sudah tidak tinggal di sini lagi.

"Tidak mengapa Mbak, aku naik angkot saja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status