Share

BAB 2

Assalamu'alaikum

Dear Dave, how are you doing?

Thank you for sending me letter. I'm glad to have you as my friend. My name is Hanna Kirana, you may call me Hanna. I'm 21 years old and I'm single. I'm a teacher at the kindergarten school. I love writing stories and reading some books.

I'm the oldest child in my family. I have a young brother, his name is Rayyan. I live with Rayyan and our mother. My father passed away last year.

Dave, would you mind to tell me your reason embraced Islam? It must be a wonderful story. And why did you choose Islam? Please, answer my questions.

By the way, do you have an email? should we send letter each other? I think sending email is not a bad thing. But if you feel better by sending me letter, it's not a big deal.

This is enough from me. Forgive me if my english is very bad. I'll be waiting for your reply.

With love

Hanna

Senyum terukir di bibir tipis Dean ketika dia membaca surat yang ditulis Hanna. Dia mengambil selembar foto yang terselip di dalam amplop. Ras melayu yang dimiliki Hanna membuat Dean sangat menyukai wanita itu. Iris mata segelap malam, hidung mungil dan kulit putih yang bisa Dean lihat meski hanya dari wajah dan punggung tangannya, karena Hanna menutup tubuhnya dengan gamis dan jilbab panjang.

Dean kembali melipat surat dan memasukannya ke dalam amplop setelah membacanya. Dia mengambil pigura berbahan akrilik lalu menyelipkan foto Hanna di dalamnya, lantas meletakkan pigura itu di atas meja kerja. Tangannya merogoh saku celana hendak mengambil ponsel untuk menghubungi asistennya.

"Hallo Kevin, aku akan datang terlambat hari ini," ucap Dean seraya memainkan amplop yang masih dipegangnya.

"Apakah hari ini jadwal salat Jum'at?" Kevin menebak, dia sangat hafal dengan rutinitas bosnya.

"Ya, aku akan salat di masjid yang agak jauh dari kantor. Sebuah masjid kecil."

Kevin meraih ipad dan memeriksa kembali jadwal bosnya. Di sana tertulis jadwal salat Jum'at dan meeting dengan klien pukul dua siang.

"Ingin kuantar, Dean? Ada meeting siang ini di hotel." Kevin menawarkan diri, meski sebenarnya dia khawatir jika paparazi memergoki bosnya.

"Tidak, terimakasih. Aku akan pergi sendiri." Dean mengambil brangkas yang menyerupai buku tebal lalu meletakkan surat Hanna di dalamnya.

"Jangan lupa gunakan topi dan maskermu," Kevin mengingatkan Dean sebelum dia benar-benar menutup teleponnya.

"Oke, terimakasih Kevin."

Dean menutup panggilan telepon lalu beranjak ke dapur. Dia membuat sarapan lezat untuk dirinya sendiri. Sirloin steak dan masshed pottato terhidang di atas meja. Sesekali Dean tersenyum jika teringat gadis asal Indonesia itu. Dia belum tahu bagaimana kelanjutan dari hubungan korespondensi itu, yang terpenting bagi Dean sekarang dia memiliki teman seiman untuk diskusi agama dan berbagi cerita.

Setelah menghabiskan sarapan, Dean membersihkan diri lalu mengenakan kemeja dan celana panjangnya. Kali ini dia mengendarai mobil tanpa supir ataupun pengawal yang biasa bersamanya. Ya, Dean memang akan menunaikan salat Jum'at seperti biasanya.

Mobil Dean berhenti tidak jauh dari sebuah bangunan bekas kafe yang berdinding bata ekspos. Ada plang dengan tulisan Masjid At Taqwa di depan bangunan itu. Meski bangunan itu tampak sudah tua tapi bagian dalam masjid sangat bersih dan tertata dengan baik. Dean segera masuk ke dalam bangunan dan menyempurnakan wudunya.

Bukan tak ada yang mengenalnya, namun orang-orang yang ada di sana menganggap apapun statusnya bahwa setiap manusia adalah sama kedudukannya. Hanya ketakwaannya lah yang membedakannya. Jadi, bertemu orang besar seperti Dean adalah hal biasa. Ini yang sangat disukai oleh Dean, menjadi orang biasa yang tidak diikuti paparazi kemanapun dia pergi.

Dari dalam sebuah mobil sedan hitam, sepasang mata mengamati Dean dari kejauhan. Masker yang dikenakan Dean tak menghalanginya untuk mengenali pria berdarah campuran itu. Seperti mendapat angin segar, atau mungkin kesempatan langka yang belum tentu dilihatnya lagi.

"Laura, aku punya kejutan untukmu."

Zack menyeringai dari balik kacamata hitamnya. Dia menghubungi Laura setelah mengambil sejumlah gambar dan video dengan ponselnya.

"Kejutan apa, Zack?" Laura sangat penasaran dengan yang dikatakan Zack.

"Lihat saja nanti," kata Zack acuh.

Laura merutuki Zack yang semakin membuat dirinya penasaran. Dia lalu mematikan ponselnya dengan kesal. Sial, apa-apaan pria itu, berani-beraninya membuat Laura penasaran. Bukankah dia hanya sebatas kacung Laura?

Zack memanggil seseorang yang berjalan melintas di samping mobilnya. Dia memiliki sejumlah rencana licik di dalam otaknya. Kali ini Zack yakin akan membuat Laura semakin kagum padanya, terlepas dia hanya sebagai pemuas nafsu Laura.

"Hey Dude, kamu mau ke masjid itu juga?" Zack memberi isyarat dengan matanya. Seorang pria muda berkulit hitam menghampiri pintu mobil Zack.

"Ya, kenapa?" tanya pria itu sambil merunduk dan menyandarkan lengannya di pintu mobil yang kaca jendelanya terbuka.

"Kamu butuh uang? Aku punya sedikit tugas untukmu," bisik Zack pada pria itu.

"Tugas apa? Jika bukan tugas sulit, aku akan mempertimbangkannya." Pria itu nampaknya tertarik dengan tawaran Zack. Dia mengamati lalu lalang orang-orang yang mulai ramai memasuki masjid. Samar-samar terdengar suara azan berkumandang di dalam bangunan itu. Di sana memang tak sebebas negara-negara muslim yang boleh mengumandangkan azan dengan pengeras suara.

Zack masih menunggu di dalam mobil sampai pria dengan kepala plontos itu menyelesaikan salat Jum'at. Dia tersenyum puas setelah pria itu mengirimkan sejumlah gambar ke ponselnya. Zack mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus dolar lalu memberikannya kepada pria yang tidak dia ketahui namanya.

Keesokan paginya ponsel Dean tak henti bergetar hingga membangunkan tidur lelapnya. Dia secara naluriah mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas.

"Hallo," sapa Dean dengan suara parau. Dia menatap jam beker, bahkan alarm subuh yang sudah disetting pun belum berdering.

"Dean, aku mengirimkan tautan di pesanmu. Seseorang hendak membuka identitasmu," Kevin berkata dengan penuh kecemasan.

"Shit!" geram Dean sambil memijat pangkal hidungnya.

Seketika ekspresi Dean menjadi gelap setelah membuka tautan itu. Dia mendapati beberapa foto dan video ketika dirinya sedang menunaikan salat Jum'at di Masjid At Taqwa kemarin siang. Dean menggulir beranda dan membaca sekilas judul berita di dalamnya.

Pada headline berita tertulis dengan sangat jelas, "PEWARIS KERAJAAN BISNIS JOOS CORP MURTAD?!" Diberita lain tertulis, "TERBONGKARNYA IDENTITAS MUSLIM CEO JOOS CORP."

Dengan geram Dean meremas ponselnya. Dia menghubungi anak buahnya untuk segera melenyapkan berita itu. Berita yang memuat kabar tentang identitas muslim Dean menjadi trending topik di Amerika. Bahkan berita itu sampai ke telinga ibunya-Anna Joos yang menetap di Washington DC.

Puluhan kali ponsel milik Dean berdering. Tampak tulisan 'Lovely Mother' mengisi daftar panggilan tak terjawab. Dean duduk di tepi tempat tidur sambil memijat pelipisnya lalu membaca pesan ibunya.

[Angkat teleponku atau aku akan mencoret namamu dari daftar keluarga!] ancam Anna pada putra semata wayangnya.

Dean menarik napas untuk menenangkan diri. Apa lagi ini? Ah, mungkin ibunya akan segera murka.

"Hallo, Mom." Dean berkata dengan malas, dia memastikan kali ini akan mendapat ceramah panjang dari ibunya.

"Aku baru saja membaca berita pagi ini. Apakah itu benar?" Lama Dean tak menjawab ibunya, "Aku tunggu kamu di rumah siang ini," titah Anna pada Dean yang masih bergeming di kamar tidurnya.

Dean mendengus kesal lalu bangkit untuk menunaikan salat Subuh. Tak disangka ternyata Anna tidak menguliahi anaknya seperti yang diduga Dean. Jika itu terjadi, tentu akan membuat mood Dean semakin berantakan.

*****

Anna Joos turun dari lantai dua mansion peninggalan suaminya, dia mendapati putranya sedang duduk di ruang tamu. Anna menatap Dean dengan tatapan lembut. Tak dapat dipungkiri jika wajah dan perawakan Dean sangat mirip dengan mendiang suaminya. Ayah dan anak itu memang seperti pinang dibelah dua.

"Aku harap berita itu hanya hoax," kata Anna sambil mendaratkan bokongnya di atas sofa. Dia masih berusaha menjaga emosinya agar tetap tenang menghadapi putranya.

"Bagaimana jika benar? Aku berhak memilih keyakinanku, Mom." Dean bersandar di sofa seraya menatap ibunya. Wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa gusarnya.

"Aku tidak keberatan asal kau mau memenuhi permintaanku." Anna menyesap teh chamomile yang sudah disediakan oleh pelayannya. Setidaknya itu bisa meredakan rasa frustasi atas skandal putranya yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.

"Apa itu?" Dean mencondongkan tubuhnya. Dia berharap syarat yang diajukan ibunya tidak akan menyulitkan dirinya di masa depan.

"Menikahlah dengan Laura," kata Anna dengan tenang. "Berita tentangmu berhasil membuat saham perusahaan kita anjlok dan kau harus memperbaikinya."

Dean menggeleng lalu bangkit dari sofa. Sungguh itu permintaan yang mengada-ngada.

"Duduklah, Dean! Aku belum selesai," ucap Anna dengan nada yang sedikit meninggi. Anna meletakkan cangkirnya di atas meja kemudian melipat kedua tangannya di depan dada.

"Bagaimana jika aku menolak?" tanya Dean sambil mempelajari raut wajah ibunya.

"Kalau begitu jangan pernah panggil aku Mommy," kata Anna dengan senyuman yang diikuti tatapan tajam dan menusuk. Meski nada bicaranya setenang air di danau tapi jelas itu mengandung ancaman. Dean tahu ibunya tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Dean mengatupkan rahangnya dengan gigi gerahamnya yang saling beradu. Entah dia harus menjawab apa. Pastinya Dean tidak akan melepas begitu saja orang yang telah membuat kekacauan ini.

Merasa tak ada balasan lagi dari mulut putranya, Anna menganggap bahwa Dean menyetujui rencananya.

"Kalian akan menikah di Washington. Aku yang akan menyiapkan semuanya."

Dean menggeram lalu menangkup wajah dengan kedua tangannya, dia tidak menyangka hidupnya akan berakhir se-tragis ini, menikah dengan perempuan yang sangat dibencinya.

*****

Lagu Ave Maria menggema di dalam sebuah gereja Katedral. Seorang wanita dengan suara merdu menyanyikannya penuh syahdu. Alunan musik dan lagu mengiringi setiap langkah wanita yang berbalut ballgown bersama ayahnya.

Di atas altar, Dean sudah berdiri bersama wanita yang belum lama dipergokinya sekamar dengan pria lain. Sorot matanya sangat tajam, sedang rahangnya mengeras. Seolah dia ingin menelan wanita itu hidup-hidup.

Kedua mempelai saling mengucap ikrar, lalu pemuka agama yang hampir lanjut usia menyatakan mereka sebagai pasangan suami istri. Dia mempersilakan Dean untuk membuka veil istrinya agar bisa menciumnya, tapi Dean urung melakukannya. Dean bahkan meninggalkan Laura sendirian di atas altar.

Laura menatap punggung Dean yang semakin menjauh. Dia tersenyum puas karena mendapat kemenangannya atas Dean. Bahkan dia bertekad akan membuat pria itu bertekuk lutut di hadapannya.

Pernikahan Dean dan Laura menjadi berita utama, dan berhasil membuat saham Joos Corp menempati puncaknya. Orang-orang yang membaca berita itu merasa puas dengan keputusan Dean. Tak bisa dipungkiri jika pesona Dean sebagai pebisnis muda menjadi atensi sebagian warga Amerika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status