Alice menutup kasar sampul tabloid miliknya. Kegiatan sederhana yang dia pikir akan mampu mengalihkan perhatiannya dari insiden dua hari lalu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berarti. Dia bahkan sudah mengurung diri di kamar sejak kemarin sore.
Setelah melihat kolom iklan dengan gambar cincin berlian dan gaun pengantin, dipenuhi renda ikal yang indah, suasana hati Alice langsung hancur berantakan. Belajar melepaskan sesuatu yang harus dilepaskan memang tidak mudah. Namun, dia toh sudah melakukannya."Dasar bajingan!" maki Alice sambil menyandarkan kepalanya di kosen jendela.Penelope Cove, adik tiri Alice yang mengaku sedang hamil, kini telah menyematkan 'Walcott' sebagai nama belakangnya. Dean yang tidak punya pilihan lain, kecuali menikahi Penelope pun lebih banyak diam di sepanjang sisa acara. Mereka lalu meninggalkan Alice di depan altar seorang diri selepas pembacaan sumpah perkawinan selesai dilaksanakan. Alice yang merasa dipermalukan langsung mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja hari itu juga. Kalimat simpati dari rekan-rekannya pun terus mengalir melalui surel dan pesan singkat di ponselnya. Dalam kondisi rapuh dan patah hati Alice kemudian pulang ke rumah, menyingkirkan seluruh barang-barang milik Dean ke tempat yang seharusnya, dan mengubur dalam-dalam mimpi konyolnya untuk menikah.Hari-hari sialku baru saja dimulai, pikir Alice muram. Dan pagi itu, langit yang mendung kembali meniupkan angin kencang ke seisi kota, mengundang hujan lebat turun sesudahnya. Cuaca yang Alice benci karena dia tidak suka temperatur dingin, tetapi London nyaris selalu dikelilingi oleh kelembapan sepanjang tahun. "Sempurna," erang Alice sambil memutar bola mata saat menyaksikan petir menyambar di kejauhan melalui jendela jungkit flatnya.Di tengah-tengah rasa frustrasi yang mengepungnya, Alice lantas memutuskan untuk pergi menenangkan diri ke dapur. Membuat secangkir teh panas dan duduk di salah satu kursi tanpa lengan di dekat sudut perapian kuno yang tidak lagi aktif. Menyeruputnya sedikit demi sedikit sambil mengasihani diri sendiri.Alice sudah merencanakan kepindahannya tadi malam. Setelah mempertimbangkan begitu banyak hal, dia yakin dia bisa melupakan sekaligus menyembuhkan luka-lukanya lebih cepat di kota lain. Jauh dari akses orang-orang yang pernah dikenalnya, menata hidup dari awal lagi, mungkin rasanya akan sama seperti membuka lembar baru di halaman pertama sebuah buku dan Aberdeen akan jadi tempat pelarian diri yang tepat bagi Alice.Seiring dengan hujan yang mulai reda dan cangkir tehnya yang sudah kosong, Alice lalu bergegas kembali ke dalam untuk mengepak koper. Saat akan melangkah melewati kulkas, selembar kartu pos dari sang bibi yang ditempelnya di sana mendadak menarik minat Alice lebih dari biasanya. Dia memutar tubuhnya, menarik pin magnet yang menahan benda itu, dan membaca ulang isi surat bibinya."Selamat atas pernikahanku... selai murbei... punya dua ekor kucing baru..." Alice menggumamkan beberapa poin penting di dalamnya.Mata Alice bergerak ke arah kanan dengan cepat, mengecek setiap kalimat yang dia pikir bisa jadi terlewatkan olehnya, hingga mata sembabnya kemudian menyipit dan menemukan yang dia cari di baris paling akhir. Alice baru saja membuat perubahan besar untuk seluruh rencananya. Aku akan tinggal di Birmingham, putusnya mantap."Teman bibi menawarkan pekerjaan sebagai copy editor di sana. Bukankah itu permulaan yang baik?" bisik Alice yang diam-diam merasa lega karena satu masalahnya sudah terselesaikan.Alice lalu melipat kartu pos dan menyisipkannya di kantong piamanya. Berniat membalas surat Bibi Clementine yang menolak segala bentuk alat komunikasi modern yang jauh lebih praktis seperti telepon seluler. Alice dengan sabar menulis setiap huruf, membubuhkan salam sayang, dan membungkusnya dengan amplop yang disegel menggunakan lilin."Kadang-kadang aku merasa aku hidup di abad delapan belas. Siapa yang masih mengirim surat melalui kantor pos zaman sekarang?" gerutunya sambil menghela napas dan meletakkan amplop itu ke dalam laci untuk dikirim esok pagi.Dan ketika Alice tiba di Birmingham lusa, hujan ringan turun mengguyur kota. Setelah keluar dari taksi yang membawanya pergi ke area Pershore Road, salah satu roda koper Alice rusak sebelum sampai di flat yang dia tuju, dan kesialannya tidak cukup berhenti hanya di situ. Tas totenya, yang dia gantung di dekat koper, dijambret oleh dua orang pria tidak dikenal."Apa yang kalian—tidak! Tidak! Copet!" teriak Alice yang syok.Para kriminal itu langsung berlari ke arah persimpangan jalan raya dan membaur bersama kerumunan pejalan kaki yang melintas di sepanjang trotoar. Alice berusaha mengejar mereka, tetapi dengan kondisi koper yang rodanya tidak lengkap usahanya jelas tidak sepadan. Alice yang panik spontan menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan lalu lintas yang padat sore itu.Suara klakson dari sebuah mobil sedan yang tengah melaju di atas kecepatan rata-rata lantas datang dari sisi kanan Alice. Sadar dengan kecerobohannya, kesiap Alice sontak mengudara, dan peristiwa tersebut mendadak membuat tubuhnya membeku di tempat. Alice memejamkan mata, mengira akan membuka matanya di atas ranjang crank rumah sakit atau bahkan tidak akan pernah bangun sama sekali, kemungkinan paling buruk yang bisa saja menimpanya."Kau! Apa kau sudah gila?" Pemilik kendaraan itu meneriaki Alice dari balik kaca kemudi yang diturunkan, kepalanya mendongak miring keluar, seorang pria dengan desibel suara yang sanggup menulikan kedua telinga Alice detik itu juga.Keributan di antara mereka mulai menarik perhatian orang-orang sekitar, tetapi tidak ada yang repot-repot melibatkan diri. Mulut Alice terasa kering sekarang. Kopernya lepas dari genggaman dan jatuh ke atas permukaan aspal yang basah. Aku masih hidup, pikirnya."Apa kau sadar bahwa kau tidak hanya membahayakan dirimu sendiri? Kau juga bisa membuat pengguna jalan yang lain celaka. Apa yang akan terjadi bila aku gagal menginjak rem tepat pada waktunya?" Pengendara itu masih mengomeli Alice, suaranya parau, sarat dengan emosi.Mata Alice terbuka perlahan. Mengamati pria yang baru saja berteriak padanya. Seseorang yang tidak asing. Seseorang yang pernah berbagi masa lalu bersamanya. Namun, sosok itu menghilang tanpa kabar dua tahun yang lalu.Rasa gugup merayap ke dada Alice. Kedua lututnya yang gemetar membuat tubuh Alice merosot ke bawah dan dia jatuh pingsan di tengah-tengah hujan yang kian lama kian lebat. Sebelum kesadaran Alice hilang sepenuhnya, dia sempat mendengar pria itu memaki dengan aksen Inggris-nya yang sempurna dan merasakan punggungnya terangkat ke atas oleh perubahan gravitasi.Ada sepasang lengan kokoh yang mendekap tubuh Alice dan bau samar yang anehnya juga familier baginya. Aromanya seperti musk dan rempah, sedikit tajam, perpaduan khas antara jejak maskulin dan testosteron. Alice yakin dia tidak akan salah mengenali sebab hormon dalam tubuhnya memberi reaksi yang mengejutkan bahkan untuk dirinya sendiri."Apa yang harus kukatakan padamu nanti, Alice Harper? Kaukah yang menemukanku atau justru akulah yang menemukanmu?" bisiknya lalu merebahkan tubuh Alice di belakang kursi kemudi.***"Aku minta dua helai handuk bersih dan obat untuk luka lecet. Bawa ke lantai atas." Dastan melirik pada Augusta, pengurus rumah tangganya, wanita paruh baya keturunan Nigeria itu mengangguk cepat dan menutup pintu depan dengan buru-buru.Augusta langsung bergegas pergi ke dapur dan mengambil kotak obat. Pelayan itu kemudian mengantarkan semua yang diperlukan Dastan ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar dengan sopan, menaruh barang-barang yang majikannya minta di atas nakas, dan keluar tanpa menanyakan identitas wanita yang dia pikir sedang tidur dalam gendongan Dastan.Setelah bunyi klik dari pintu kamar terdengar di belakangnya, Dastan lalu membaringkan Alice yang masih belum sadar di ranjang. Pakaian Alice basah dan Dastan tahu dia harus segera menggantinya. Alice benci suhu dingin, kenangnya."Sudah dua tahun dan itu waktu yang cukup lama, tetapi pesonamu masih sama seperti dahulu." Dastan berbisik di dekat bibir Alice, jemarinya menyentuh ujung rambut Alice yang lembut dan setenga
"Itu tidak akan terjadi." Alice sadar suaranya serak, tetapi dia tidak peduli."Kau salah. Jika aku ingin itu terjadi, maka pasti akan terjadi." Nada Dastan merendah berbahaya."Dastan—""Ya, Alice. Panggil aku. Panggil namaku." Dastan kembali menyeringai dan ekspresi pria itu membuat Alice takut.Bukan karena wajah Dastan yang menawan. Bukan juga karena senyumnya yang meremehkan. Namun, Alice tahu Dastan akan mendapatkan apa pun yang dia mau."Aku tidak sedang ingin bermain-main denganmu, Dastan Lancaster." Alice menyentak kedua tangannya dan menatap Dastan dengan sorot mata yang mengancam."Kau bahkan menyebutkan nama lengkapku. Haruskah aku merasa tersanjung karenanya?" goda Dastan yang lalu mendekatkan wajah mereka dan membuat Alice bisa merasakan napas Dastan yang menggelitik permukaan bibirnya. "Menjauhlah dariku," pinta Alice tegas, meskipun tubuhnya mulai gemetar di bawah kungkungan Dastan."Aku tidak bisa melakukannya, Alice. Aku tidak bisa menjauh darimu lagi. Setelah dua t
"Karena seperti yang kau tahu. Aku pria berengsek. Aku akan membuat duniamu tidak lagi sama. Menyisipkan sedikit kekacauan dan lebih banyak gairah. Bagaimana kedengarannya?" sambung Dastan menelengkan kepala lalu mendaratkan bibirnya di ibu jari kaki Alice."Kedengarannya seperti sedang mengundang masalah." Alice menggigit bibir."Masalah yang besar dan kita akan kesulitan membereskannya?"Alice mengawasi Dastan yang menjelajahi betisnya dengan jari telunjuk. Menciptakan sengat beruntun yang membuat punggungnya terangkat. "Hm. Mung-mungkin saja.""Berapa persentasenya?" gumam Dastan selepas penelusurannya mencapai paha Alice."E-entahlah. Lima puluh banding lima puluh?" jawabnya asal."Mengapa harus lima puluh banding lima puluh?" Dastan menggunakan semua jarinya untuk melabuhkan sentuhan di kulit Alice sekarang."Lima puluh pertama untuk penyesalan yang akan datang selepasnya." Suara Alice bergetar seiring dengan jauhnya jari-jari Dastan merayap ke bawah."Well, itu masuk akal. Bagai
Tubuh Alice gemetar. Dia mendongakkan kepala, membusungkan dada dengan gaya sensual, dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kedua tangannya terangkat ke atas, menggapai tiang ranjang, mencengkeramnya seperti sedang menarik tali pelana pada kuda.Celaka, pikir Alice. Mengira bahwa dia akan hancur berkeping-keping di bawah dominasi Dastan yang sudah lama tidak dirasakannya. Sensasinya bahkan jauh lebih hebat dan menggairahkan.Alice tidak pernah menggunakan morfin, tetapi Dastan akan jadi candu yang mematikan untuknya. Rasanya seperti menyuntikkan energi baru pada setiap pembuluh darah Alice. Kulit kontak kulit di antara mereka telah menciptakan badai besar yang berpusar pada dirinya, seolah-olah tubuh Dastan memiliki koneksi magnetis di setiap sentinya."Luar biasa, Alice. Kau cantik dan luar biasa dalam posisi ini," geram Dastan yang kembali bergerak melesakkan tubuhnya ke tubuh Alice.Daya tarik dan kepiawaian dalam bercinta merupakan kombinasi yang berbahaya. Dan Alice, yang sedang membu
"Gin dan tonik, please. Dengan sebanyak mungkin jeruk nipis yang bisa kau campur di dalamnya." Suara ceria Penelope membuat bartender wanita itu mengerling sesaat sebelum meracik koktail yang baru saja dipesan oleh pelanggannya."Alkohol untuk makhluk rakus dalam perutmu? Kau bahkan sudah mengajarinya untuk jadi bajingan kecil di usia yang begitu muda," komentar Mortimer yang kemudian duduk di samping Penelope, mata birunya yang seperti warna bunga hydrangea mengedip jahil, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh Penelope."Tidak ada bayi, Mortimer." Penelope memutar bola mata lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja bar."Demi darah anjing kudis. Tidak ada? Maksudmu, kau keguguran?"Penelope menggertakkan gigi. Satu tangannya meraih tas trendi miliknya dan memukul belakang kepala Mortimer dengan benda itu. "Kau dan mulut lancangmu akan menjerumuskanku dalam masalah besar.""Ma-maaf," bisik Mortimer sambil mengusap kepala, bibirnya yang dipolesi lipstik itu mengerucut, dan dua ja
"Jadi, apa yang membuatmu pergi kemari? Kabur dari pernikahan paksa? Dicampakkan kekasihmu?" Dastan menyorongkan cangkir panas itu ke depan Alice."Terima kasih," gumam Alice sambil memperhatikan asap yang menggeliat naik dari mulut cangkir kopi miliknya."Anggap saja seperti rumahmu sendiri.""Kau masih suka basa-basi.""Aku menyebutnya etika. Sopan santun pada tamu, kau tahu." Dastan mengangkat cangkirnya lalu menyeruput dengan suara kecap yang berlebihan."Espresso tanpa gula. Dua sendok krimer. Kau masih Dastan yang sama?" komentar Alice yang juga mengangkat cangkirnya dan mencicipi kopi itu.Tawa Dastan meledak. Dia meletakkan cangkirnya ke tempat semula, lantas mengawasi Alice yang baru saja menjilat bibirnya dari sisa kopi. "Kita bahkan punya selera yang sama.""Aku tidak akan lupa tentang itu.""Aku juga," sahut Dastan menyunggingkan senyumnya.Alice menghindari pandangan Dastan. Kepalanya menunduk menatap sendok yang lengket dari bekas krimer. Kewarasannya mulai kembali, teta
"Dia pindah?""Benar dan kami sudah melakukan semuanya sesuai perintah," sahut pria dengan hidung besar itu pada Penelope."Ha. Birmingham," dengusnya sinis lalu menaikkan pandangan dan menatap penuh selidik pada pria berambut gelap di depannya."Tidak ada barang berharga di dalam tas bututnya. Hanya album foto.""Album foto?" Mata Penelope menyipit mendengarnya.Pria itu mengangguk sebelum menyerahkan tas milik Alice yang berhasil mereka curi tiga hari lalu. Penelope membukanya dengan kasar. Mengeluarkan sebuah buku lama tanpa sampul yang ditempeli dua lembar foto keluarga, Ibu Alice, ibu tirinya, ada di sana.Wanita dengan gaun pendek itu sedang menggendong Alice yang masih kecil. Di sampingnya ada seorang pria berkumis tebal yang mendongak ke arah kamera dengan sorot mata angkuh. Mengenakan suspender dan rompi yang besarnya dua kali lipat dari ukuran tubuhnya."Aku tidak membutuhkan foto bodoh ini," desis Penelope yang menyingkirkannya dengan ekspresi jijik."Dia hanya membawa satu
"Apa kau akan menawanku lebih lama lagi, Tuan Presdir?" sindir Alice di tengah-tengah aktivitas makan siang mereka.Bunyi denting garpu Dastan mengenai piringnya. Pandangannya lalu terangkat ke wajah Alice. "Kau harus makan lebih banyak, Sayang.""Berhentilah memanggilku begitu.""Begitu bagaimana?" Dastan menyuapkan ikan panggangnya ke mulut. Alice menggertakkan gigi dan menyingkirkan mangkuk supnya ke samping. Sengaja mengembuskan napas keras-keras. "Aku muak, Dastan. Kau sudah mengurungku tiga hari di sini.""Kau berlebihan, Sayang. Aku tidak mengurungmu. Aku memanjakanmu." Dastan mengedipkan satu matanya sebelum menusuk ikan panggangnya lagi dan menyuapkannya ke mulut."Aku tidak tertarik dengan kemewahan.""Aku tahu.""Kau tahu, tetapi kau tetap melakukannya." Alice kembali menggertakkan gigi.Dastan memindai penampilan Alice yang menurutnya fantastis siang itu. Kedua alisnya naik, lantas mengangguk sambil memamerkan seringainya. "Kau selalu cantik, Alice.""Gaun pendek lace dan