Lusiana kembali memijat kepalanya yang baru saja selesai dipijat oleh ART-nya. Sejak mendengar kabar Yudha memboyong Tari berbulan madu ke Bali, entah kenapa ia jadi kesal. Ia masih setengah hati mengharapkan cucu dari rahim gadis miskin itu.
“Mama kenapa?” tanya Rudi yang baru saja pulang bersama putra sulungnya. Tadinya ia pikir, istrinya tidur karena salam mereka tidak dibalas.
Lusiana yang bersantai di sofa depan tv mendongak. Setelah melihat kedatangan suami dan anaknya, wanita itu tak juga beranjak. Tetap rebahan santai dengan kaki tersilang. Bahkan wajahnya tetap cemberut.
“Ma, perusahaan sedikit tidak stabil. Kalau dalam tiga bulan masalah di internal perusahaan belum berhasil diatasi, mungkin kita akan bangkrut,” ucap Arbian mengedipkan sebelah mata pada papanya.
“APA??!!!” Lusiana sontak turun dari sofa lalu berbalik menatap suaminya.
Rudi memilih diam mengikuti sandiwara putranya. Rasanya ia ingin tert
“Kalau minta sumbangan itu, jangan sampai memeras donaturnya!” sindir seorang wanita paruh baya yang melemparkan segopok uang ke pangkuan seorang gadis berambut sebahu.Mata gadis itu berembun. Dengan tangan gemetar ia menyentuh dua bundel uang pecahan seratus ribu rupiah itu. Uang dengan nominal yang telah dijanjikan pemilik perusahaan tempat Tari bekerja sebagai cleaning service. Tanpa mampu ia bendung, tetesan bening itu jatuh satu persatu membasahi uang di pangkuannya.Tari sama sekali tidak berniat memeras. Ia hanya sedang berusaha mengumpulkan uang sumbangan untuk biaya operasi jantung salah satu adik pantinya. Ia juga tidak meminta, tapi Tuan Giriandra, suami dari wanita di hadapannya itulah yang memintanya datang ke rumah mewah ini. Pria itu mendadak harus ke luar kota sehingga tidak sempat mampir ke panti.Dengan bibir bergetar dan menelan getir, Tari berucap, “Te-terima kasih banyak, Nyonya.”“Hem!” gumamnya duduk menyilang kaki.Tari menelan saliva untuk kesekian kalinya s
“Besok sore setelah shalat Ashar, temui saya di Kafe Biru. Jangan sampai Anda menyesal,” ucapnya berlalu masuk ke dalam rumahnya.Tari masih terpaku di tempat mencoba mencerna ucapan pria tadi. Tari ingat, dia adalah putra kedua Tuan Giriandra yang merupakan seorang perwira TNI AD. Terakhir kali ia melihat pria itu saat ulang tahun perusahaan beberapa tahun lalu.“Apa benar dia mau menyiapkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” gumam Tari mengernyit bingung. “Pasti ada maunya.”Tari berjalan tergesa. Dengan lincah jemarinya mengutak-atik ponsel memesan ojek online. Pria paruh baya satpam rumah ini tampak meninggalkan kursinya dan hendak membuka pintu gerbang.Ponsel yang diutak-atik itu tiba-tiba berdering. Pikirnya, itu mungkin driver yang mengkonfirmasi penjemputan. Namun, kening Tari berkerut menyadari jika panggilan telpon itu bukan dari aplikasi ojek online. Senyum Tari mengembang, menduga itu mungkin saja salah seorang calon donator.“Halo? Selamat siang, ini dengan Tari. Ma
Yudha merebahkan tubuhnya di ranjang sembari membayangkan wajah kesal Tari. Gadis itu dengan berani mengarahkan telunjuk ke wajahnya. Sikapnya berbanding terbalik saat gadis itu dicecar oleh mamanya.Siang tadi Yudha menyaksikan apa yang mamanya lakukan pada gadis itu. Sejujurnya ia sendiri heran mengapa wanita yang telah mengandung dan melahirkannya itu seperti manusia yang kehilangan hati nurani. Padahal, dulu kehidupan keluarga mereka juga jauh dari kata layak.Masih teringat saat papanya kena PHK. Papanya memutuskan untuk membuka jasa jahit pakaian. Mamanya seringkali mengeluh karena mereka terkadang harus berhutang pada saudaranya. Kakaknya sendiri harus menunda kuliah dan bekerja untuk menabung uang kuliahnya sendiri. Sementara ia dan adiknya akan bertugas membersihkan rumah atau membantu mengemas pakaian pesanan.Setelah papanya berhasil membuka usaha konveksi hingga membuka pabrik garmen, mamanya justru berubah sombong. Segala sesuatu selalu saja diukur dengan materi.“Yudha …
Perlahan Fortuner putih itu melaju menembus keramaian jalan. Menit demi menit berlalu, Tari maupun Yudha masih membisu.Walau tahu kemungkinan penyebab gadis di sampingnya menangis, Yudha tetap bertanya, “Ada apa? Kenapa masih menangis?”“Saya putus asa …,” lirih gadis itu menahan isak tangisnya. Namun, tidak dengan air matanya yang masih berderai.“Apa dokter mengatakan kondisi anak itu semakin parah?” tanya Yudha yang tetap fokus mengemudi.Tari tak berucap, bibirnya tetap terkatup. Namun, isakannya semakin menjadi seakan menjawab benar dugaan Yudha. Bayang-bayang bocah kecil yang terbaring ringkih dengan peralatan medis yang menopang hidupnya kembali membuat gadis itu meremas kerah kemejanya. Sesak di ulu hatinya kian bertambah.Yudha meletakkan sapu tangannya di pangkuan Tari. Kemudian, perlahan pria itu menepikan mobil. Setelah menyetel musik dengan volume cukup keras, Yudha keluar dan bersandar di pintu mobilnya. Memilih memperhatikan keramaian jalan yang didominasi dengan penge
Yudha tersenyum puas mendengar penuturan Dokter Ayana. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Tari dinyatakan sehat untuk mengandung.“Selamat Yud, akhirnya kamu bisa merealisasikan harapanmu selama ini,” ucap dokter cantik itu mengulurkan tangan bergantian pada Yudha dan Tari.“Thanks,” balas Yudha singkat lalu menoleh pada Tari.“Tari, kamu mengerti apa saja yang saya jelaskan tadi, bukan?” tanyanya dengan seulas senyum. “Selama prosesnya bayi tabungnya berlangsung sampai kamu melahirkan, saya yang akan memantau kondisi kamu.”Tari mengangguk seraya berkata, “Iya, Dok. Saya mengerti dengan penjelasan Anda tentang proses inseminasi tadi.”“Syukurlah. Sudah lama teman saya ini menunggu calon yang tepat. Mulai sekarang, jaga kondisi kesehatan kamu,” sarannya ramah.“Kami pulang duluan,” pamit Yudha. Dokter kandungan itu hanya mengangguk kecil.Sementara Yudha dan Tari berjalan dengan tergesa menuju ke parkiran. “Buru-buru mau ke mana?” tanya Yudha yang merasa masih harus bicara denga
Deru napas wanita paruh baya itu semakin nyaring terdengar. Tangannya terkepal kuat sampai urat-urat di punggung tangannya mulai mencuat. Binar bahagia di matanya seketika berubah menjadi tatapan tajam yang menikam. Ruang keluarga yang biasanya dihiasi tawa, kini terasa mencekam. Tak ada suara, mereka memilih bungkam. Mereka baru saja mendengar penuturan Yudha yang ingin menikah pada akhir pekan. Tuturnya tenang, lugas dan tegas mengambil keputusan. Awalnya mereka senang dan tampak antusias saat Yudha menyinggung perihal pernikahan. Namun, saat Yudha menyebutkan nama gadis yang hendak dinikahinya, raut wajah mereka perlahan berubah. Papa dan adiknya tampak terkejut. Kakaknya tampak santai, sementara sang mama marah besar. “Mama tidak akan pernah sudi punya menantu seperti wanita itu, Yudha! Tidak akan pernah!” bentak Lusiana melotot. “Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Rudi pada putra keduanya. Yudha mengangguk dengan tenang seperti biasanya. “Aku akan tetap menikah dengan Tari
“Kalau Yudha tetap nekat menikah tanpa resepsi, banyak yang akan membuat praduga. Saat ini kondisi perusahaan baru perlahan stabil pasca pandemi. Jika orang-orang mengira Yudha menikah karena skandal, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak berita dan gosip yang beredar. Hal itu akan berpengaruh pada kestabilan saham perusahaan. Kalau Mama sama Papa tidak merestui Yudha menikah dengan Tari, maka kita harus siap menjawab pertanyaan orang-orang, minimal awak media. Sementara anak ini, dia tidak akan peduli,” jelas Arbian menunjuk adik laki-lakinya.Yudha kembali mengedikkan bahu karena ucapan kakaknya benar adanya. Setidaknya ia sudah berbagi kabar dan tidak menikah diam-diam. “Kalau saham perusahaan anjlok, Mama sama Kayla siap-siap aja kembali miskin,” lanjut Yudha santai.“Yudha!!” jerit Lusiana yang rasanya ingin mencakar-cakar wajah putranya itu.“Memangnya Tari setuju menikah sama kamu?” tanya Rudi mencoba m
Setelah Kayla juga beranjak, tinggallah Rudi bersama Arbian. “Arbian, papa boleh tanya sesuatu?”Arbian meletakkan tabletnya dan fokus menatap papanya. Ia pun mengangguk hingga Rudi menghela napas panjang. “Papa ingin tahu tentang apa? Tentang pemecatan salah satu manajernya Papa atau penggantian salah satu founder?”Rudi menggeleng seraya berujar, “Papa ingin tanya soal Yudha. Apa kamu sengaja setuju dengan keinginan adikmu karena hasil pemeriksaan kesehatanmu?”Kini giliran Arbian yang menggeleng. “Bukan, Pa. Kemarin aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka berdua keluar dari Kafe Biru. Yudha yang tarik duluan tangannya Tari. Dia bahkan membukakan pintu mobil dan memasangkan seat belt. Apa pernah Papa melihat Yudha seperti itu? Untuk mama saja, yang jelas-jelas wanita yang sudah melahirkannya, Yudha tidak pernah seperti itu. Sama Kayla? Nggak juga, karena Yudha selalu berupaya agar Kayla mandiri