Share

BAB 5

BAB 5

Danisa tak menyia-nyiakan kesempatan. Niat diri yang memang ingin mencari penerbangan malam ini menuju ke negaranya segera pun membuat langkahnya itu terburu karena ingin segera sampai ke unitnya.

"Bahkan aku lupa meminta izin pada Pak Daren untuk cuti dadakan. Besok saja sama Pak Leo, yang ada aku kena marah sama Pak Daren."

Danisa sadar, jika ia meminta izin langsung pada bosnya yang bertemu dengannya dalam keadaan tak bagus itu akan semakin memicu amarah. Berada dalam satu mobil dalam suasana mencekam saja sudah membuat diri Danisa begitu sesak. Apa lagi jika Daren tadi meluapkan kemarahan padanya. Danisa tak mampu membayangkannya.

Setiba di kamarnya, Ia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi kenalannya untuk mengurus penerbangan. Baik untuk dirinya ketika tugas kerja, maupun untuk Leo dan Daren jika ada pekerjaan ke luar negeri.

"Apa ada penerbangan malam ini juga ke Indonesia?" Tanya Danisa langsung yang tidak ingin membuang waktunya.

"Kamu telat, barusan berangkat satu jam lalu. Jika mau besok pagi sekali pukul lima ada," terang sang teman melalui panggilan teleponnya.

"Tak ada lagi kah, yang malam ini?" Lirih Danisa dengan kekecewaannya. Ia menghembuskan nafas berat, antara khawatir, cemas, dan frustasi.

"Tidak ada, Sayang. Kamu harus menunggu."

"Okey, sisakan 1 buatku," pasrah Danisa pada akhirnya. Setelah panggilan yang ia lakukan terputus. Danisa mendapati panggilan lagi dari sang adik.

Tidak ingin membuat menunggu, Danisa lekas menjawabnya.

"Nggak ada malam ini, Dek. Besok mbak baru akan terbang ke sana," beritahu Danisa yang telat mendapatkan tiket penerbangan malam ini juga.

"Mbak, jangan cemas ya. Ibu sudah stabil, sudah melewati masa kritis. Hanya dokter bilang jika ibu stabil, harus operasi secepatnya," beritahu adik Danisa.

"Syukurlah."

Danisa bernafas lega dengan kabar yang diterimanya.

"Mbak,"

"Tapi biayanya sangat besar. Apa mungkin kita bisa melakukan operasi itu,"

Danisa yang mendengar kabar dari adiknya itu kembali dibuat kalut. Mengingat, ia yang gagal melayani tamunya malam ini dan sangat marah padanya. Danisa pasti akan mengalami kemarahan dari temannya. Belum lagi Danisa besok harus menghadapi pemilik apartemen yang ia janjikan pagi untuk datang, karena Danisa yang akan melunasinya.

"Kamu jangan khawatir, Mbak akan usahakan," pesan Danisa. Setelah berbincang dengan adiknya. Danisa hanya mampu meraup wajahnya demi bisa menghela keresahan yang terjadi padanya.

Di saat seperti inilah, ia kembali menyesal. Ya, dia menyesal telah membuang banyak uang yang didapatkan ya untuk memenuhi gaya hidupnya yang glamor.

"Tidak, Danis. Kamu juga berhak bahagia. Kamu harus membuat hidupmu senang juga." Danisa berusaha menghibur dirinya, ketika penyesalan datang yang harus membuat dirinya terpuruk oleh masalah yang terjadi.

Ketika pagi menjelang, Danisa yang sadar jika harinya akan menemui banyak kesulitan memutuskan untuk bangun lebih awal.

Sejak semalam, ia memilih untuk mematikan ponselnya. Yakin jika Danisa akan mendapat panggilan bertubi atas masalah yang ia timbulkan semalam.

Danisa yang tidak ingin mendapati masalah pagi-pagi. Memutuskan untuk bersiap dan berangkat ke kantor sepagi mungkin.

Banyak orang yang harus ia hindari pagi ini. Selain pemilik apartemennya, ia juga harus menghindar pada sang teman yang ia tahu pasti kecewa pada dirinya.

"Aku harus keluar dari sini sepagi mungkin. Aku belum punya uang, dan aku juga nggak bisa menggunakan uang dari pria itu."

Danisa mendengus kesal, ketika tak bisa menggunakan uang yang tak bisa ia nikmati.

"Nggak masalah Danis. Uang itu sudah masuk, dan itu sudah menjadi hakmu."

Kembali Danisa tergoda untuk menikmati uang yang seratus juta yang sudah masuk ke rekeningnya itu. Toh, pria langganannya itu belum minta untuk di transfer lagi kan.

Dasar Danisa, bagaimana mungkin dia akan meminta untuk ditransfer. Bahkan dari semalam, ponselnya pun ia matikan. Dan tak akan mungkin ada orang yang bisa menghubunginya.

Setelah memastikan dirinya rapi, Danisa segera bersiap untuk meninggalkan unitnya sepagi mungkin. Bahkan keadaan di luar sana masih gelap. Terpaksa ia berangkat sepagi ini demi terhindar dari masalah yang akan menghadangnya.

Namun, masalah yang sudah berhasil ia hindari. Tak kunjung juga membuat Danisa bernafas lega. Danisa masih terbayang dengan banyaknya uang yang harus ia keluarkan untuk sang ibu yang membutuhkan kepastian darinya.

Di ruang yang masih begitu sepi itu, Danisa hanya mampu menelungkupkan tubuh ke atas meja kerjanya.

"Aku harus bagaimana, Tuhan!" Ucap Danisa dalam kebingungannya.

Seketika Danisa terdiam, ia teringat dengan tawaran bosnya.

"Apa aku harus menerima tawaran Pak Daren," gumamnya. Ia seketika ragu, mengingat peristiwa yang terjadi padanya semalam.

"Tapi apa masih berlaku," ujarnya lirih.

Lama bergelut dalam pikirannya, hingga tak sadar membuat hari semakin beranjak siang. Danisa tak sadar dengan kehadiran rekan kerjanya dan sang Bos yang sudah masuk ke dalam ruangannya.

"Woi! Pagi-pagi ngalamun saja. Kerja yang benar!" Tegur Leo yang melihat Danisa bengong sejak tadi.

"Eh, Bapak sudah datang. Pak Daren sudah datang?" Tanya Danisa.

Leo menggeleng akan tingkah Danisa, bagaimana bisa ia tak menyadari kehadirannya dengan sang bos yang sudah duduk manis di ruang kerjanya.

"Sudah. Cepat buatkan kopi," jawab Leo, tersenyum penuh arti.

"Ish, itu tugas OB, Pak."

Danisa memilih mengambil berkas yang sudah ia persiapan sebelumnya. Ia bersiap untuk masuk dan menyampaikan skedule sang atasan segera.

Bisa-bisa jika Danisa telat, ia akan kena marah yang akan berakibat fatal dengannya.

Danisa mengabaikan kejadian yang menimpa dirinya semalam. Biar bagaimanapun, ia harus bersikap profesional ketika sedang di ruang kerja.

Biasa, tentu itu hanya niat saja bersikap biasa. Nyatanya Danisa gugup dan cemas, ketika harus berhadapan langsung dengan atasannya yang super dingin dan cuek itu.

Keraguan menatap diri Danisa, ketika berada dalam keadaan terhimpit oleh situasi yang terjadi. Ia akhirnya bisa bersikap profesional ketika menyampaikan jadwal pekerjaan sang atasan. Tak ada masalah yang harus membuat diri Danisa harus berada dalam kecemasan. Karena sikap Daren yang terkesan biasa saja, seolah tak ada masalah yang terjadi pada diri Danisa dan dia semalam.

Danisa yang tidak melihat kemarahan pada diri sang atasan semakin yakin untuk mengungkapkan niatnya. Ia memberanikan diri dengan masih berdiri di hadapan sang atasan.

"Apa lagi?" Tanya Daren dengan suara datarnya.

"Ehm, itu Pak."

Danisa terlihat ragu untuk berkata, sedang Daren dengan sabar menunggunya.

“Jika sudah tak ada yang akan kamu sampaikan. Keluarlah!” usir Daren yang tak ingin melihat Danisa berlama-lama di ruang kerjanya.

Sebenarnya ia cukup muak dengan kejadian yang ia lihat semalam. Tapi, Daren harus memperhatikan profesionalitas dalam bekerja.

“Pak,” panggil Danisa.

“Saya terima tawaran Bapak untuk menikah dan mengandung anak Bapak,” ucap Danisa tiba-tiba.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Monochrome
Bukannya dia udah booking tiket flight ke Indonesia ?
goodnovel comment avatar
Hatna Resta
wajarlah bagi denisa jual mahal sedikit agar tak terkesan murahan bangat
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
kaaaan. pada akhirnya Danisa terima tawaran Darren juga. meskipun karena terpaksa.. andai dari kemaren pasti Danisa udah pegang uang buat operasi ibunya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status