“Astaga, tuh kan mati lagi,” keluh Rose sambil menarik nafas panjang. “Padahal hari ini benar-benar materi favorit gue. Gue jadi nggak bisa ikutan karena harus memperbaiki handphone gue dulu,” lanjutnya.
“Yang namanya hidup ya gitu Rose. Nggak ada yang benar-benar mudah. Selalu saja ada begitu banyak masalah yang entah datang dari benua mana.”
“Eh tapi bukannya orang dewasa bakalan ketawa kalau dengar anak belasan tahun ngomong kayak gitu,” Rose menanggapi perkataan Lisa sambil tertawa bahagia.
“Iya juga sih, kok bisa-bisanya anak sekolahan mengkhawatirkan banyak hal.” Lisa pun ikut tertawa, tepatnya menertawai ucapannya yang sok bijak itu. “Oh iya gimana kalau gue temenin lo ke tukang service aja. Setelah itu baru kita ngumpul bareng di tempat biasa.”
“Oke deh. Cuss lo hubungi Jenni biar ikutan sekalian, nanti suruh nunggu di tempat biasa aja.”
“Oke deh, wait.” Sambil mengirimkan pesan singkat ke Jenni. “Lo lapar nggak Rose? Gimana kalau kita singgah makan dulu.”
“Em lo mau makan apa Lis?”
“Gimana kalau Ramen aja.”
“Oke deh berangkat,” ucap Rose dengan girangnya.
Kedua sejoli itu pun melangkah beriringan menyusuri jalan setapak untuk bergegas ke salah satu tempat makan favoritnya yang berada di ujung jalan sekolahnya. Sesuai rencana awalnya, Lisa dan Rose akan mengisi perut dulu sebelum menuju ke tukang service dan terakhir berada di cafe internet. Tempatnya biasa berkumpul dengan sahabat-sahabatnya.
Hari ini benar-benar berakhir dengan gelak tawa yang membahagiakan. Seperti perkataan orang dewasa bahwa dalam hidup, setiap orang menghadapi masa sulitnya masing-masing. Entah setangguh apapun dia atau entah dia dari kalangan mana. Ibarat air hujan yang turun ke bumi. Jika sudah waktunya untuk tumpah bahkan orang terhebat di dunia sekalipun takkan mampu untuk menahannya. Namun sederas apapun hujan yang turun selalu saja ada reda setelahnya, meskipun setelah waktu yang cukup panjang. Segala hal akan tetap berjalan, mengikuti rotasi yang ada dan berbaur dalam ruang dan waktu. Tak ada yang betul-betul stagnan di semesta raya ini.
***
Sebelum mata pelajaran dimulai, Jimmy, Vie, dan Rey berkumpul di kelas XI IPA-3. Lebih tepatnya mereka menghampiri ketiga temannya yaitu Rose, Lisa dan Jenni. Dan ini bukan kali pertama mereka ke sana. Pasti kapanpan itu jika ada waktu luang mereka pasti nimbrung ke sana. Selain karena banyak hal kocak yang bisa mereka bahas bersama juga karena terkadang ada hal-hal penting seputar pelajaran yang ingin di tanyakan.
“Benarkan kata gue, lo itu mirip banget berdua. Gue itu udah dari dulu ngomong ini,” ucap Rey sambil memandangi Vie dan Lisa yang duduk bersebelahan. “Sumpah deh mirip banget, mirip anak anjing tapi. Sama-sama menggemaskan, hahahaha.” Tawa Rey dan yang lainnya pecah.
“Yang ada ma lo kali yang mirip anjing, kebanyakan ngomong. Gukgukguk,” balas Jenni sambil mencontohkan suara anjing. “Jimmy lo belum jawab pertanyaan gue tempo hari yang soal hubungan lo dengan Rose. Tapi lo nggak usah jawab, karena gue juga udah tahu jawabannya.”
“Emang jawabannya apa ? awas yah lo sotoy lagi.”
“Lo berdua pacaran kan !”
Mendengar ucapan Jenni sontak membuat Jimmy tertawa.
“Emang lo tahu dari mana ? Punya bukti nggak ? pake nyolot-nyolot lagi,” ucap Rey menengahi berdebatan antara Jimmy dan Jenni.
“Lo mau gue pukulin Rey, lo belum pernah yah rasain gimana sakitnya dipukulin wonder women kayak gue ini ?” jawab Jenni sambil memamerkan otot tangannya yang tidak terlalu berotot.
“Iya iya nggak kok, gue nggak berani,” jawab Rey kikuk.
“Emang benar yah lo pacaran sama Rose ?” tanya Lisa sambil menatap Jimmy yang kebetulan berada di sampingnya..
“Lo penasaran juga ?” jawab Jimmy sambil kembali membalas menatap Lisa dan tersenyum manis.
“Menyebalkan, setiap saat gue ngeliat tatapan dan senyuman yang diberikannya begitu tulus buat gue. Seyuman itu selalu saja membuatku suka dan tatapannya membuatku jatuh hati,” batin Lisa.
“Ah enggak kok. Hanya ingin tahu saja. Jenni kelihatannya sangat penasaran dan begitu terobsesi dengan hal itu makanya aku ingin memastikannya,” jawab Lisa setelah sempat terdiam beberapa menit.
Lagi-lagi Jimmy hanya melempar senyuman. Bukannya menjawab, ia semakin membuat teman-temannya penasaran.
“Wajahmu terlihat lucu jika penasaran seperti ini. Aku benar-benar suka.” Jimmy beralih mengacak rambut Lisa dengan sangat lembutnya.
Deggg...
“Perasaan apa ini. Mengapa jantungku malah berirama tidak pada rotasinya. Memuakkan. Aku harus bersikap biasa saja. jangan sampai yang lainnya curiga dengan perubahan sikapku,” batin Lisa sambil mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
“Apaan sih Jimmy, lo itu harus menentukan pilihan dong. Jangan membuat gue bingung seperti ini.”
“Maksud lo bingung gimana ?”
“Maksud gue kalau lo sukanya sama Rose ya Rose aja enggak usah pake acara goda-godain Lisa juga dong. Enggak berpendirian lo. Sebagai cowo lo itu harus gantle dong.”
“Jangan ngaco Jen, gue sama Jimmy enggak ada hubungan apa-apa kok. Kita real berteman aja.”
“Dari pada menyaksikan perdebatan unfaedah kayak gini mendingan gue cabut aja dah.” Rey segera berlalu pergi meninggalkan kelas mereka. Vie mengikuti dari belakang.
“Udah dulu yah Jen. Gue back kelas dulu. Pai pai miss kepo. Ingat lo enggak usah gosip mulu kalau lagi jam belajar.” Jimmy melesat pergi sebelum Jenni kembali mengomelinya lagi.
***
Hari ini Lisa datang ke sekolah cukup awal karena selain untuk membersihkan lokernya yang sudah amat sangat berantakan juga karena Papanya yang buru-buru berangkat ke kantor karena ada meeting dengan klien jadi terpaksa Lisa harus ikut jadwal pagi Papanya.
Setelah membersihkan lokernya, Lisa bergegas menuju toilet untuk mencuci tangannya yang kotor sehabis membersihkan lokernya tadi. Namun belum sempat ia membuka pintu toilet, Lisa mendengar beberapa teman kelasnya yang sedang bergosip tentang dirinya.
“Lo perhatiin deh Lisa dan Rose. Masa tuh yah si Lisa Lisa itu berusaha banget buat mirip gitu dengan Rose. Mulai dari lipstik, terus pulpen eh kemarin gue perhatiin gantungan handphonenya juga mirip punyanya Rose. Kayak maksa banget gitu buat sama dengan Rose padahalkan mau mirip-mirip bagaimanapun juga tetap aja otak nggak bisa disama-samain.” Kata salah satu teman kelasnya di XI IPA-3.
“Iya, gue juga rada sebbel tuh sama si Lisa. Udah gitu kemarin Rose jadi ikutan dimarahi pak Edo gara-gara ngeladenin Lisa cerita gitu pas lagi belajar. Kasian banget yah Lisa, mau niru-niru orang. Kalau gue jadi Rose nih gue bakal ngejauhin dia. Teman apaan tuh kayak gitu.” Sambung teman yang lainnya.
Mendengar dirinya sedang dibicarakan, Lisa pun segera membuka pintu toilet dan masuk menghampiri orang yang sedang membicarakannya itu. “Kalian lagi ngomongin gue yah?” melihat Lisa muncul kedua temannya sontak terkejut dan mendadak diam. Melihat reaksi temannya, Lisa kemudian mengeluarkan lipstiknya yang kebetulan ada di saku roknya. “Lo juga mau nyoba lipstik yang gue pake ? nih kalau mau, ini benar-benar lipstik bagus lo,” cetus Lisa lagi.
“Nggak nggak usah, nggak perlu. Makasih. Yuk cabut!” keduanya pun meninggalkan toilet karena merasa malu telah ketahuan membicarakan Lisa dari belakang.
Bel sekolah berbunyi berulang kali menggelegar di setiap sudut ruangan kelas. Pertanda bahwa waktu belajar telah usai dan saatnya untuk segera berkemas pulang ke rumah masing-masing. Di dalam kelasnya kini, Lisa, Jenni dan juga Rose sedang membereskan buku-buku dan alat-alat menulis lainnya yang nampak sangat berantarakan di meja mereka masing-masing. Guru yang mengajar dijam terakhir pun pamit dengan para siswa lalu bergegas keluar dari ruang kelas XI IPA-3. Melihat guru telah keluar, Lisa dan teman-temannya pun segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar dari sana. Situasi yang sudah sejak tadi ia impi-impikan. Hari ini ketiga sejoli itu memiliki agenda untuk nongkrong di salah satu cafe tempat yang biasa mereka singgahi sebelum kembali ke rumah masing-masing. Salah satu ritual yang kerap kali mereka lakukan sebelum akhirnya sibuk dengan ujian maupun tugas-tugas sekolah. Tentu saja di tempat tersebut mereka menghabiskan dengan canda dan tawa bahagia. Ketiganya
Suara riuh kantin menjelajahi setiap sudut-sudut ruangan. Segerombolan pemuda pemudi nampak sibuk berbincang sambil meneguk minumannya serta memakan makanan yang sudah tersedia di depan meja masing-masing. Jam istrahat memang sudah berlangsung sejak 10 menit yang lalu. Tidak kalah dengan kawanan yang anak lainnya, kini Lisa dan gengnya pun sudah duduk santai di tengah-tengah kursi makan yang ada di kantin itu. Makanan mereka sudah nampak habis tak bersisa. Hanya beberapa sampah saja serta piring kotor yang tergeletak sembarangan di sisi meja panjang itu. Setelah menikmati makan siangnya di kantin sekolah, Jimmy, Vie, Rey, Jenni, Rose beserta Lisa langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu. di tengah terik mentari yang membakar kulit, mereka akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk santai di sekitaran lapangan basket sekolah. Selain tempat di sana lumayan teduh, mereka pun masih enggan untuk kembali ke kelas masing-masing. Sebab jika berada di dalam kelas yang akan mereka rasakan ha
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Pagi ini Lisa lagi lagi harus berangkat lebih awal karena harus mengikuti jadwal ayahnya yang sedang ada meeting lebih awal dengan kliennya hari ini. Sesampainya di kelas ternyata Jenni dan juga Rose belum juga datang. Dan untuk menghilangkan rasa bosannya, Lisa akhirnya memutuskan untuk berdiri di depan kelasnya sambil melihat-lihat siswa yang lalu lalang di lapagan. Di ambilnya handphone miliknya yang di simpan di saku bajunya. Setelahnya, Lisa membuka laman instagramnya dan memeriksa pemberitahuan yang masuk. Ternyata ada begitu banyak like dari foto yang diunggahnya semalam. “Yaaa kita ketemu lagi,” ucap Jimmy sambil menghampiri Lisa yang sedang sibuk dengan handphonenya. Mendengar hal itu, Lisa pun menghentikan aktifitasnya di i*******m dan beralih melihat ke arah Jimmy. “Sudah gue bilang kan Lis kalau kita itu benar-benar jodoh,” ucapnya lagi sambil memamerkan deretan gigi putihnya. “Jodoh apaan coba Jim, maksud lo apaan sih ? bukannya emang tiap hari lo lewat kelas gue sebelum
“Nggak banyak sih. Hanya apa yang akan gue lakukan dan jurusan apa yang bakal gue ambil nanti di universitas. Hanya hal-hal biasa kayak gitu kok.” “Terus? Lo mau jadi apa kedepannya Lis?” “Ha ? Gue ? Lo kan tahu sendiri sebenarnya...” Belum sempat Lisa melanjutkan jawabannya tiba-tiba Rose berteriak memanggilnya. “Liss, Liss, Lisa. Sumpah gue capek banget lari buat ngejar lo.” Ucap Rose sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan karena kelelahan berlari. “Lihat nih si calon mahasiswa jurusan seni. Yang selalu menonjol seperti biasanya.” ucap Jimmy sambil melihat ke arah Rose yang sedang ngos-ngosan. “Hei, lo itu harus hati-hati yah dengan ucapan lo. Siswa yang lainnya nanti ada yang nggak suka atau bisa saja tersinggung,” jawab Rose masih dengan napas yang tidak beraturan. “Lo berdua mau kemana ?” tanya Lisa. “Seperti biasa gue mau ke tempat les, dan rencananya sih gue mau mampir ke tempat les seni sekalian lihat-lihat dulu kalau oke gue mau ambil kelas seni buat persiapan mas
Seperti linglung seolah berjalan tanpa arah. Orang-orang datang lalu pergi dengan mudahnya seperti permisi ke jamban saja. Menciptakan rasa cemas sekaligus takjub. Hidup dalam segala pengharapan benar-benar bagaikan menggali lubang kubur sendiri. Tak ada yang sungguh setia selain kesedihan. Meski dia menyakitkan namun tidak seperti kesenangan yang kerap kali datang lalu tiba-tiba hilang tanpa pamit. Hari yang cukup panjang untuk sebuah hubungan yang akhirnya berakhir di tengah jalan. Lagi dan lagi sungguh tak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Segalanya selalu saja berputar pada rotasinya, menunggu giliran untuk akhirnya di tinggalkan ataupun meninggalkan. Jenni yang baru saja diputuskan oleh kekasihnya atau lebih tepatnya diselingkuhi oleh kekasihnya hari ini masih saja merenungi nasibnya yang sedikit sial itu. Masih pagi-pagi sekali, tapi wajahnya sudah sangat tampak suram karena terlalu banyak menangis sehingga menjadikan matanya bengkak dan memerah. Melihat keadaan Jenni, t
“Tuh kan gue lagi, gue lagi.” Rey pun mulai mengatur posisi yang menurutnya bagus. Di ikuti teman-temannya yang lain serta Jenni yang sedang sibuk mengatur angel yang menurutnya cantik. “Satu, dua, Tiga cekret cekret cekret” “Lagi dong” pinta Jenni dengan wajah manjanya. “Satu dua tiga.” “Eh udah, kayaknya udah cukup deh. Capek juga yah padahal kan hanya berfose doang,” ucap Lisa. “Gue lihat hasilnya dong Rey.” “Tunggu Rose, ini juga gue mau lihat dulu.” “Wah yang ini lucu nih,” ucap Jenni. “Yang ini juga,” sambung Rose. “Gue yakin sih tanpa lihat fotonya pasti hasilnya bakalan lucu karena ada gue di situ” ucap Jimmy kepedean. “Idih najiss,” ejek Jenni. Jenni menzoom foto tersebut dan alhasil mendapati muka Lisa yang sedang bergaya lucu. Dengan mata yang membelalak lengkap dengan bibir yang disengaja dimonyongkan. Melihat hal itu, Jenni langsung tertawa terbahak-bahak. Ia sungguh tidak sanggup melihat wajah memalukan Lisa itu. “Liat deh ekspresinya Lisa di foto. Sumpah gue