Nakula tengah duduk di balkon kamarnya. Ia menatap nanar langit di malam hari itu. Anaya masuk ke dalam kamar Nakula tanpa disadari oleh pria itu.
"Minum dulu teh-nya," ucap Anaya sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Nakula. Nakula menoleh lalu menerimanya. Ia langsung meneguk teh tersebut.
"Terima kasih, Kak."
Anaya mengangguk. Ia mengambil duduk di sebelah Nakula. Ikut menatap langit di malam hari itu.
"Beberapa hari lagi status kamu akan berubah menjadi seorang suami."
Nakula tersenyum kecut jika harus mengingatnya. Pernikahan yang Ia mimpikan memang terlaksana namun tak akan sama dengan impiannya yang sesungguhnya berharap menikah dengan wanita yang Ia cintai.
"Kakak harap dengan berubahnya status kamu nanti kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuk istri kamu kelak."
"Aku tak menyangka kalau akhirnya aku akan menikah juga. Heh. Tapi sayang aku akan menikah bukan dengan orang yang aku harapkan. Bukan dengan ora
Ijab kabul sudah terlaksana dengan begitu khikmad. Sakya kini telah resmi menjadi istri dari Nakula. Pelafazan ijab kabul yang hanya sekali diucapkan Nakula membuat suasana menjadi haru. Seperangkat alat sholat dan perhiasan emas menjadi mahar yang diberikan Nakula kepada Sakya. Malam harinya pesta digelar secara sederhana di rumah kediaman Farhan dan Andini yang hanya di hadiri keluarga besar dan kerabat terdekat saja. Alin terlihat di acara tersebut sebagai satu-satunya anggota keluarga dari Sakya. Raka berjalan mendekat pada Nakula dan istrinya. Ia menyalami kedua mempelai. "Selamat ya. Akhirnya kau menikah lebih dulu dariku," ucap Raka. "Terima kasih baby boy. Tentu saja aku menikah lebih dulu darimu. Usia ku sudah pantas menikah dibandingkan kau." "Heh. Dasar sombong. Jadi kau anggap aku belum pantas begitu?" "Entahlah. Tapi dilihat dari usia ku yang 5 tahun lebih tua darimu tentu saja aku layak lebih dulu menikah." Raka menggelen
Seorang pria tengah berjalan sembari membawa sebuah tas yang tidak terlalu besar di tangan kirinya. Kacamata hitam yang melekat tak mampu menutupi wajah tampannya. Ketika melangkah, ia terlihat gagah dengan balutan pakaian kebesarannya yang terdiri dari kemeja putih dengan jas berwarna hitam navy dan dasi berwarna senada dengan jasnya. Di sisi kiri, terlihat seorang pria lain yang berjalan beriringan dengannya dengan berpakaian serupa. Beberapa wanita dengan berpakaian seragam yang berjalan di belakangnya menatap kagum pada sosok pria tersebut. Bahkan salah satu dari mereka dengan terang-terangan memuji ketampanan yang dimilikinya. "Kapan sih Kapten Nala bisa aku ajak makan malam bersama? Dia selalu saja menolak jika aku mengajaknya," ucap salah satu dari pramugari tersebut dengan wajah ditekuk. "Kau masih berharap padanya?" Wanita itu mengangguk. "Tidak ada yang salah kan dengan harapan?" "Sudahlah, menyerah saja. Ia sudah memiliki kekasih. Jadi perc
Mobil yang membawa Nakula sampai di depan rumah orang tuanya. Ia langsung masuk ke rumah itu setelah membayar beberapa lembar uang untuk argo taksi. Ia melihat bundanya sudah berdiri menanti di depan pintu rumah dengan tersenyum bahagia. "Bunda," sapa Nakula yang langsung masuk ke dalam pelukan ibunya. "Kamu akhirnya pulang. Bunda kangen sekali padamu," ucap sang ibunda Andini yang langsung membalas pelukan putra bungsunya. "Nala juga kangen sama Bunda." Andini membalasnya dengan tersenyum senang. "Ayo masuk. Ayah sudah menunggu kedatangan kamu." Nakula mengangguk pelan. Saat sudah berada di ruang tamu ia mendapati sang ayah, Farhan tengah duduk bersama seorang bocah kecil laki-laki berusia 9 tahun. Keduanya tampak tengah bercengkerama. "Ayah." Farhan mengalihkan tatapan untuk menatap putranya. "Sayang, kau pulang," ucap Farhan yang langsung mendapat anggukan kepala dari Nakula. Ia memeluk putranya tersebut deng
Seorang wanita tengah duduk di sebuah restoran. Matanya menatap ke arah jalanan yang banyak dilalui oleh para pejalan kaki. Sesekali matanya menatap ke arah pintu yang terlihat sedang menanti kedatangan seseorang.Secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah hampir separuh ia habiskan. Sesekali ia menatap ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Ia mengembuskan napas kesal saat menantikan orang yang ia tunggu belum kunjung datang. Selang beberapa menit seorang pria tampan berjalan memasuki restoran tersebut. Wanita yang sejak tadi menanti kedatangannya hanya menatap lekat pada pria tersebut."Sayang. Maaf ya aku terlambat," ucap pria itu sembari memberikan kecupan singkat di pipi kiri sang wanita.Wanita itu membalasnya dengan tersenyum tipis."Iya enggak apa-apa kok.""Kamu udah pesan makanan?""Belum, aku sengaja nunggu kamu," ucap wanita tersebut.Sementara pria itu tersenyum penuh arti pada sang wanita."Ya udah
Nakula menatap lekat gelas di hadapannya. Entah sudah gelas ke berapa yang sudah ia tenggak. Rasa perih di hati yang menghinggapinya tak mampu untuk ia bendung. Bayangan tentang masa depan yang sudah ia rancang melamar sang kekasih pupus sudah. Nesya memutuskan secara sepihak hubungan mereka. Hubungan yang sudah berjalan begitu lama. Namun, kini harus kandas karena keinginan Nesya yang mementingkan karir dan adanya orang ketiga di dalam hubungan mereka.Ia kembali meneguk gelas berisi alkohol itu. Dengan perasaan hancur, ia harus menelan pil pahit bahwa Nesya memilih orang lain dibandingkan dirinya. Ia kembali menatap gelas kosong di hadapannya.Tatapan Nakula kosong. Cincin emas permata putih yang ia pegang membuatnya semakin membenci wanita yang sudah menghancurkan hatinya tersebut.Dengan kesadaran yang hanya setengahnya saja, Nakula bangkit dari duduknya, berusaha berjalan seperti biasa. Rasa pusing yang menghinggapinya masih bisa ia kendalikan. Nakula berja
Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat. "Sakya. Sakya apa kamu di dalam?" Namun, tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu. "Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara." Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana. "Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada diriny
"Kamu kenapa enggak bilang kalau ada di kota ini? Bukankah aku sudah memberikan nomor ponsel dan alamatku padamu?" tanya Alin saat ia dan Sakya kini sudah berada di kontrakannya. Ia memberikan segelas teh pada Sakya yang tampak sangat kacau sekali. Sakya hanya diam duduk di tempatnya menerima gelas yang diberikan Alin padanya. "Lalu bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Kak Sandi?" Sakya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Alin yang melihat sikap Sakya mengerutkan dahinya. Biasanya Sakya akan sangat bersemangat sekali jika membicarakan mengenai satu-satunya kakak lelaki yang dimiliki Sakya. "Lalu?" Sakya kembali menangis saat Alin terus bertanya. Melihat Sakya yang menangis membuat Alin jadi bingung. Ia mencoba menerka apa yang terjadi pada Sakya dan Sandi, kakaknya. "Kamu kenapa, Kya? Kalau kamu sudah bertemu dengannya harusnya kamu senang dan tidak berada di tempat tadi dengan duduk sendirian seperti ... maaf. Gembel," ucap Alin
Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya. Nakula menarik napasnya dengan dalam. "Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi. "Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara. "Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula. Nakula keluar dari ruangan tersebut dan se