Tidak ada yang bisa mengukur rasa bahagia di antara mereka saat berjalan berdampingan; menghabiskan waktu berdua.
Ayse membiarkan Can merangkul mesra pinggangnya saat memasuki kawasan Mal dan membiarkan Ayse sibuk dengan mangkuk kecil berisi es krim di tangannya. Mereka berdua pergi cukup jauh dari daerah perusahaan dan memakai mantel serta kacamata. Termasuk Ayse yang memakai syal.
Keduanya berusaha menutupi identitas dari orang yang mengenali.
“Bagaimana rasanya?”
Ayse memasukkan sejenak suapan kelima dalam mulutnya. “Sangat manis,” balasnya menatap pria dengan kacamata hitamnya.
Ia memerhatikan sejenak hidung mancung dan bibir tipis merah muda milik Can. Sangat tampan dan ia selalu bisa menghipnotis perempuan manapun dengan tatapan teduhnya. Sayangnya manik coklat itu tertutup oleh kacamata yang membingkai paras tampannya.
Pria itu mengulum senyumnya dan berkata, “Tapi tidak sema
“Kau ingin pergi ke mana, Nak?”Can tersenyum mendapati Nyonya Sener masuk ke dalam kamarnya saat pria itu sudah memakai jaket kulit berwarna coklat. Ia melapisi kaus putih polos di dalamnya dan memadukan bersama jeans panjang juga sepatu olahraganya.“Aku ingin merilekskan pikiranku, Ma,” balasnya membiarkan Nyonya Sener sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan teduh.Wanita itu menangkup sisi wajah Can dan menatap putra semata wayang yang sangat didominasi oleh paras tampan suaminya.Ia mengulas senyum hangat. “Kau ada janji bersama Akira?”Can menggeleng pelan. “Tidak. Aku keluar sendirian saja. Hanya beberapa jam, aku janji, Mama,” balasnya memaparkan.“Aku juga berjanji tidak akan mabuk,” sambungnya membuat Nyonya Sener tertawa kecil.Ia menepuk pelan sisi wajah Can. “Anak yang penurut,” balasnya menerbitkan senyum manis pada Can.Pria itu me
Emosi Dariga tersulut. Perempuan yang selalu berusaha menjadi sahabat terbaik Ayse itu tidak ingin membiarkan Ayse mendeklarasikan jika dirinya sangat bahagia mendapatkan pengkhianatan di antara dirinya dan Akman.Ayse harus lebih terluka dan bisa menunjukkan rasa sakit hatinya teramat dalam. Ia tersenyum miring memerhatikan Ayse yang berubah tampak lebih angkuh. Rahangnya mengetat dengan sorot penuh kebencian.Perempuan di hadapannya baru saja menghina dan mencaci maki dirinya.Dariga tersenyum miring dan berucap sinis, “Kau ingin melihat sesuatu, Ayse?” tanyanya dengan sorot penuh arti.Akman menatap perempuan itu khawatir. Ia memang mengakui kesalahan terbesarnya adalah mengkhianati Ayse. Tapi itu sudah berlalu dengan segala kekhilafan yang Akman pikir akan selesai tepat di masa lalu.Ia hanya ingin menata kehidupan bersama calon istrinya; Ayse. Perempuan yang pernah tumbuh besar di yayasan yang
Ayse mencoba mengabaikan segala hal yang terjadi kemarin. Meskipun ia masih menyimpan luka, dikhianati sahabat dan mendengar duka tentang bagaimana mantan sahabatnya tega membunuh satu nyawa.“Aku harus menjalani kehidupan ini tanpa harus melihat ke belakang,” gumam Ayse menguatkan dirinya dan menatap diri dari pantulan cermin.Ia berusaha mengulas senyum kecil, memberikan kesempatan untuk terlihat bahagia.“Kau bisa bertahan, Ayse,” ucapnya membenarkan letak helaian rambutnya di kedua bahu.Perempuan yang mengenakan kaus lengan panjang dan celana pendeknya itu baru saja selesai membersihkan diri.Ia bangun terlalu pagi dan memutuskan untuk menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya sendiri. Ayse sudah cukup terbiasa hidup di rumah mewah Akman dengan banyaknya asisten rumah tangga yang memenuhi kebutuhan Ayse.Sekarang, ia pun harus bisa lebih mandiri dan mengandalkan tabungannya. Tidak
“Ya Tuhan ... Kau tampak cantik, Sayang,” ucap Nyonya Erdem berbinar menatap kecantikan Keponakannya yang mematut dirinya di depan cermin.Akira bersemu seraya merapikan dress di atas lututnya berwarna merah. Kedua lengan dress itu panjang dan memperlihatkan bahu putihnya dengan sempurna. Terutama saat Akira memilih menguncir kuda rambut panjangnya. Leher jenjang itu akan dengan mudah menarik perhatian pria lain.“Apa aku cantik sungguhan, Bi? Apa Can akan menyukainya?” tanyanya dengan senyum ragu.Wanita yang belum memasuki usia awal lima puluh tahun itu tertawa. Manik coklatnya tampak mengerjap dan ia sedikit menyibak helaian rambut hitam sebatas bahu.Pakaiannya tetap mengikuti trend yang ada dengan memadukan kemeja putih dan celana hitamnya dengan ikat pinggang Gucci.“Untuk apa kau meragukan kecantikanmu, Sayang?” tanyanya meraih kedua bahu Akira, menangkup sisi wajahnya.
“Kenapa kau tidak menceritakan semuanya padaku dan Jemima, Ayse? Kami sudah melihat ada hal aneh ketika bertanya tentangmu pada Dariga.”Ayse tersenyum getir dan menatap kedua sahabatnya yang datang tanpa Ayse ketahui. Apakah hanya dirinya yang menganggap apartemennya akan aman dan berusaha bersikap baik pada kedua sahabatnya setiap melalui panggilan telepon.Nyatanya Ayse salah besar.“Bahkan, kau tidak memberitahu kedatanganmu ke mari,” sahut Jemima dengan pandangan sedih meskipun tertutup oleh raut datarnya.Ayse mengembuskan napas panjang, lalu menggeleng lemah menatap lekat kedua sahabatnya yang duduk di ruang tengah, di sofa panjang dan Ayse di single sofa.“Maafkan aku ... Semua terlalu membuatku terlalu sakit untuk mengambil langkah yang tepat dan memberitahukan semuanya.”“Tapi apa yang terjadi di antara kau dan Dariga, Ayse?” desak Nur dengan pandangan penuh harap.
‘Hai ... namaku Yavuz Can Sener, kau bisa memanggilku Can. Sekarang, aku ingin mengenal siapa namamu, Nona cantik.’Can tergolong masih kecil, tapi pesona dan senyum manisnya terlalu mampu melumpuhkan pandangan anak perempuan dengan rambut hitam dan manik coklat yang sama.Nyonya Sener menggeleng pelan dengan sikap putranya.‘Ayo, Sayang. Perkenalkan siapa namamu,’ ucap wanita yang duduk di samping anak perempuan itu, membantu mengulurkan tangan berkenalan dengan Can.‘Akira ...’ ucapnya nyaris lirih dan tidak berani menatap Can.‘Namaku ... Akira Muammer,’ lanjutnya membuat Can terlihat sangat senang mendapat responsnya.‘Nama yang cantik,’ pujinya yang kali ini sukses membuat para orang dewasa, termasuk orangtuanya sendiri tertawa. Apalagi melihat Akira yang bersemu.‘Can ... jangan menggoda Akira,” sahut Tuan Sener mengusap puncak kepala putranya yang meman
“Akira ... Can datang menemuimu, Sayang ...”Akira terkesiap. Bahunya menegak, menatap pantulan dirinya di cermin rias hadapannya dan menghentikan gerakannya merius wajahnya mendengar teriakan dari Nyonya Erdem.Suara itu masuk karena Akira tidak menutup pintu kamarnya.“Can?!” pekiknya dengan binaran bahagia.Tanpa memedulikan dirinya yang masih memakai bathrobe berwarna putih, Akira beranjak dari tempat duduknya dan nyaris berlari menuruni anak tangga.Can sudah berdiri dengan sangat tampan, berbalut jaket kulitnya, bersama Nyonya Erdem yang menggeleng lemah dengan penampilan Akira. Helaian rambutnya sedikit terayun dengan gerakan cepat.“Can!”Pria itu tertawa kecil dan membalas pelukan Akira yang melingkarkan kedua tangannya di leher Can. Ia memeluk pinggang ramping itu dengan sedikit usapan lembut di punggungnya.Nyonya Erdem menepuk keningnya
Setelah menikmati suasana yang ada dari atas kastil dan mengambil banyak potret. Can dan Akira memutuskan beristirahat sejenak di kedai sambil menikmati teh hangat dan beberapa camilan untuk mereka.“Kau menikmati minumanmu?” tanya pria tampan itu duduk berhadapan dengan Akira.Perempuan itu menatapnya dengan senyum manis. “Aku lebih menikmati di saat kau bisa tersenyum untukku,” balasnya membuat Can terkekeh pelan.Akira menatapnya lekat. “Aku berkata sungguhan. Cobalah kau tersenyum di saat aku sedang menikmati teh hangat ini. Aku sudah menyimpulkan semakin menikmatinya,” sambungnya menghadirkan senyum manis Can.“Ah, kau ini, Can! Seharusnya tunggu aku meminumnya lagi,” ucapnya setengah kesal yang langsung membuat Can tidak bisa menahan tawanya.Perempuan itu dan dirinya sibuk menikmati minuman dan camilan yang mereka beli. Sesekali tatapan Can beralih ke arah pengunjung kedai yang datang.