Kutimang-timang bayi perempuan dalam gendongan. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menimang bayi. Terakhir sekitar tujuh belas tahun lalu saat Angga baru lahir.Karena baru lahir, bayi perempuanku masih lebih banyak tidur serta belum bisa di ajak bermain. Segera aku menaruhnya di atas tempat tidur di dalam kamarku."Aqila tidur, Bun?" tanya suamiku yang sedang bersiap untuk ke toko milik kami."Iya, dia masih bayi jadi lebih banyak tidur," jawabku."Kamu itu sangat perhatian dengan bayi itu jadi lupa sama aku," rajuk suamiku."Tentu saja tidak, Sayang. Kamu tetap nomor satu," ucapku mencium lembut pipi suamiku."Ya sudah, rawat Aqila baik-baik karena itu keinginanmu. Jangan mengeluh jika lelah," ucapnya.Aqila, kami menamai bayi mungil itu. Nama yang sangat cantik untuk anggota ba
Kecurigaanku sepertinya terjawab sekarang, Ami pingsan di sekolah dan aku akan pergi ke sana untuk menjemputnya. Dengan menyewa taksi online aku bergegas menuju ke SMA di mana Angga dan Ami bersekolah.Setibanya di sana aku langsung menuju ruang UKS. Terlihat Ami terbaring lemas di ranjang. Angga dan seorang siswi, mungkin temannya Ami berada di sini."Bunda, Ami kita bawa ke rumah sakit aja, kasihan," ucap Angga."Iya,"Aku segera menghampiri Ami yang begitu pucat. Aku akan membawa Ami ke kedokter untuk di periksa kesehatannya.Setelah pamit pada guru yang merawat Ami selagi pingsan tadi, aku segera mengajaknya ke dokter. Ada yang tidak beres dengan anak itu.*****Dokter sedang memeriksa kondisi Ami, aku sengaja membawanya ke dokter kandungan agar kecurigaanku terhadap Ami bisa t
Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menghampiri Ami yang masih menangis. Kupeluk erat gadis manis itu. Gadis yang kuanggap sebagai anakku sendiri."Bu, maaf," ucapnya.Aku bingung harus berbicara apa. Di otakku ingin bertanya banyak hal kepada Ami. Namun, aku takut malah membuatnya tertekan. Karena bisa saja dia korban dari laki-laki tidak bertanggung jawab.Air mata menetes dari kedua mataku. Ada rasa kecewa dalam diri ini. Aku merasa gagal melindungi Ami hingga dia menjadi seperti ini."Bu, Ami mohon maaf," ucapnya."Semua bukan salahmu, ini salahku karena tidak bisa menjagamu dengan baik.""Bu, tolong rahasiakan ini dari ambu. Ami tidak ingin beliau sedih," pinta Ami.Satu botol cairan infus sudah habis, Ami di izinkan pulang. Kami tengah menunggu obat. Angga ter
Kepalaku sakit memikirkan banyak hal. Lebih baik mandi air hangat untuk menyegarkan pikiran. Semua orang di rumah terlihat mencurigakan untukku.Aku segera keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kamar, terlihat Mas Abi, suamiku tengah menatap Aqila."Tumben sudah pulang?" tanyaku."Iya, Bun. Khawatir dengan kamu, merawat Aqila dan Ami. Tadi siang di toko kata Amran Ami sakit," jawab suamiku.Mas Abi dan Amran memang mengelola toko furniture milik kami. Penghasilan dari sana lumayan bisa menghidupi keluarga kami."Ami bagaimana? Kenapa dia?" tanya Mas Abi."Biasa, masalah perempuan," jawabku.Sebenarnya ingin sekali aku jujur pada Mas Abi, tapi takut. Sebab aku pun mencurigainya. Di sini ada tiga orang laki-laki yang aku curigai. Amran, Angga dan suamiku sendiri karena bagaimana
Sebaiknya kita tanya saja siapa pelakunya kepada Ami, dari pada Bunda terus mencurigai banyak orang.""Tidak sekarang, Yah. Aku takut Ami stress dan bisa mempengaruhi kesehatannya."Apakah aku bisa mempercayai suamiku sekarang? Dia terlihat tidak bersalah, tapi jujur saja aku masih mencurigainya. Siapapun bisa jadi tersangka yang menghamili Ami."Kasihan Ami. Dia pasti tertekan. Bagaimanapun aku menganggap gadis itu seperti anakku sendiri.""Jujur aku curiga padamu, Yah" ucapku.Mas Abi menatap mataku. Dia tersenyum kecil dan mulai meyakinkan aku bahwa dia tidak seperti yang aku tuduhkan."Atik, Sayang. Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun dari kamu. Jika ingin selingkuh kenapa harus dengan Ami yang sudah kita anggap anak sendiri.""Pernahkah ayah membaca kisah detektif? Pelaku
Semua orang kucurigai sekarang terlebih teman-teman Ami yang kemarin datang berkunjung. Aku mencari tahu lewat Angga seberapa dekat mereka. Cewek ataupun cowok sama-sama aku curigai karena tidak ada hal yang mustahil. Bisa saja Ami di ajak sahabat wanitanya nonton film tapi ternyata malah berbuat yang tidak-tidak.Teman laki-laki pun tidak luput dari perhatianku. Kemaren ada tiga orang yang datang. Gerak gerik ketiganya sangat mencurigakan bisa saja salah satu dari mereka pelakunya.****Hari ini hari Minggu. Rencananya aku akan mengintrogasi Angga untuk mencari tahu lebih dalam tentang teman-teman mereka kemarin. Adakah yang dekat dengan Ami atau sahabat, terutama yang laki-laki yang sering bersama dengan Ami.Aku masuk ke dalam kamar Angga. Seperti biasa Angga sibuk dengan ponselnya. Aku menghampiri dia."Sudah makan?" tanyaku.
BAYI SIAPA?Part 8Aku tengah berbelanja di tukang sayur. Sebenarnya aku lebih suka belanja di pasar dan sangat jarang berbelanja di tukang sayur keliling karena selain kurang lengkap, terkadang sering terjadi obrolan yang menurutku tidak penting. Kali ini terpaksa, sebab tidak ada yang menjaga Aqila jika aku ke pasar. Mbok Iin kasihan harus menjaga Aku dan Aqila."Tumben Bu Atik berbelanja di sini," ucap Bu Mirna salah seorang tetangga."Iya, Bu belum sempat ke pasar," jawabku."Sibuk sama cucu baru ya Bu?" tanya Bu RT.Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Bu RT tanpa bisa menjawabnya, mau kujawab apa? Aqila itu bukan anak Amran."Iya, dengar-dengar Amran sudah menikah, Bu Atik ini gimana sih, nikahin anaknya gak ngundang-ngundang," ucap Bu Rina.
BAYI SIAPA?Part 9"Bun, sarapan dulu yuk!" Ajak suamiku."Bunda gak lapar, Yah.""Temenin ayah sarapan aja."Aku langsung mengekor pada Mas Abi yang mengajakku untuk sarapan. Namun, aku sama sekali tidak merasa lapar. Masalah ini menguras pikiran dan membuatku tidak nafsu makan."Bun, jangan terlalu banyak pikiran," ucap suamiku."Tidak, hanya saja tatapan Amran terhadap Ami sulit di jelaskan.""Kamu mencurigai Amran?""Tentu saja. Semua laki-laki di rumah ini aku curigai.""Termasuk ayah?"Aku mengangguk. Mas Abi hanya tersenyum dan mulai menyodorkan sesendok nasi goreng hangat buatan Mbok Iin ke depan bibirku."Makan dulu. Setelah maki