Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi.
“Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala.
“Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata.
Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.”
Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya.
“Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab.
Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu saja sekarang berbeda. Mereka berhadapan Binar, sahabat baiknya. Maka Ramon memberikan isyarat dengan sedikit mencubit punggungnya dan mengedikkan kepalanya untuk memperkenalkan diri. Kalandara yang tidak terima melotot kesal sebelum bersuara.
“Gue udah tahu dia siapa.”
Suara Kalandara yang berat seolah menggema di basement sepi apartemen. Binar mendongak dengan mata yang mengandung banyak kesakitan. Menatap Kalandara dan Ramon bergantian.
“Dia orang yang udah buat mobil gue hancur.” Kini Ramon yang menganga dibuatnya. Ini benar-benar sebuah kejutan yang luar biasa.
“Jadi, mobil yang lo tabrak mobil Kalandara, Bi? Lo harus keluarin duit ratusan juta untuk memperbaiki mobil Kalandara?” Ramon meyakinkan lagi.
Binar mengangguk pelan. “Iya Ram. Itu memang udah kewajiban gue. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf, Pak Kala.”
“Astaga!” Ramon menggeleng miris dengan kejadian yang menyangkut dua temannya ini.
Merasa kasihan kepada Binar, tapi dia juga tak akan pernah bisa membujuk Kalandara untuk meringankan beban Binar. Kala bukan orang yang akan membiarkan seseorang menghancurkan barangnya. Tidak membahas lagi masalah kejadian mobil, mereka bertiga pergi ke unit milik Ramon.
Bahkan di dalam lift pun obrolan itu hanya didominasi oleh Binar dan Ramon. Kalandara tak ubahnya seperti patung hidup yang bernapas. Dia hanya berdiri di sudut lift dengan ekspresi datar tanpa minat.
“Ini dia unit gue, Bi.” Setelah memasukkan password pintu lalu membukanya, Ramon segera memperkenalkan unitnya kepada Binar. “Rumah baru buat lo.” Lelaki itu tersenyum kecil sambil menatap Binar. “Gue harap lo betah di sini.”
“Thanks banget, Ram. Gue udah banyak nyusahin lo.”
“No … no. Lo nggak perlu bilang itu. Yang penting lo sekarang bisa tinggal dengan nyaman. Gue janji sama lo, rumah dan semua barang lo akan kembali lagi.”
Ramon berjalan ke salah satu pintu yang berhadapan dengan sofa. Unit itu memiliki dua kamar yang berjejer. Satu kamar utama dan satu lagi kamar tamu. Ramon membuka kamar tamu yang ukurannya lumayan besar.
“Di kamar sebelah masih ada barang-barang gue. Lo bisa gunakan kamar yang ini. Nggak papa, kan? Bersih ‘kok.”
“Nggak papa. Ini juga lebih dari cukup.” Bagi Binar, diberikan bantuan luar biasa seperti ini di saat dia sedang kesusahan adalah sebuah berkah. “Tapi, Ram. Mending lo kunci aja kamar utama. Gue takut kalau ada yang penting ….”
“Heh, ngomong apa. Itu cuma baju-baju aja. Nggak ada yang lain. Gue udah bilang ‘kan. Udah lama nggak datang ke sini.”
Ramon tanpa diperintah pun segera memasukkan koper Binar di kamar yang akan ditempati. Semua itu tak luput dari perhatian Kalandara yang tengah duduk di sofa dengan santai. Tatapan itu begitu dingin dan datar. Tak sengaja, tatapannya beralih pada Binar yang masih berdiri dengan tatapan kosong. Perempuan itu seolah tidak memiliki semangat hidup sama sekali.
Entah masalah apa yang dialami oleh Binar, tapi kesedihan itu tampak nyata di wajahnya.
“Bi!” Barulah Binar memfokuskan lagi matanya ke arah Ramon ketika lelaki itu memanggilnya.
“Ya?”
“Lo udah makan belum? Kita makan dulu. Ini udah malam.”
“Bagaimana kalau gue yang masak?” tawar Binar. “Sebagai tanda terima kasih gue.”
Ramon tersenyum. “Oke. Gue antar lo buat belanja di supermarket bawah.”
Binar tidak menolak dan mengangguk setuju. Hanya ini yang dia bisa dilakukan untuk Ramon. Jika dia diminta untuk membayar segala kebaikan lelaki itu sekarang, dia mungkin tidak akan bisa membayarnya. Semua uangnya habis untuk perbaikan mobil Kalandara.
Ngomong-ngomong tentang Kalandara, Binar sedikit melirik lelaki itu yang tengah duduk di sofa sambil menatap datar pada televisi di depannya. Binar tidak berani berbicara dengan lelaki itu, jadi dia juga tidak mungkin menawarkan untuk ikut belanja dengannya. Namun Ramon yang melakukannya.
“Lo mau di sini apa ikut kami ke supermarket, Bos?”
Mendengar suara Ramon, lelaki itu menoleh. Tampak berpikir sebelum beranjak tanda dia tak ingin sendirian di sana. Binar tidak bereaksi. Sebisa mungkin dia berdiri jauh dari lelaki itu. Mereka bertiga hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di supermarket. Sekali lagi, obrolan itu hanya didominasi Binar dan Ramon. Namun, Ramon sama sekali tidak membahas tentang Rasya. Itu hanya akan membuat Binar merasa tertekan.
Acara belanja itu dilakukan dengan cepat. Setelah itu, Binar benar-benar memasak dengan sepenuh hati. Melupakan sejenak rasa sakit hati yang masih menggulung perasaannya. Satu setengah jam, makanan siap dihidangkan dan Binar memanggil dua lelaki yang tengah mengobrol itu untuk makan.
“Waw, lo emang keren, Bi. Lo serius buatin gue rica-rica?” Mata Ramon tampak berbinar cerah melihat makanan kesukaannya. Ya, Binar sempat bertanya kepada Ramon untuk dimasakkan apa. Dan jawabannya adalah rica-rica. Maka Binar membuatkannya.
“Iya, tapi nggak pedes banget sesuai permintaan lo.”
Mereka makan malam bersama untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya, pertama kalinya untuk Kala dan Binar. Mereka makan dengan tenang. Sedikit melirik Kala, Binar merasa lega karena lelaki itu tampak menikmati makannya. Tidak ada komplain sama sekali. Acara makan pun tampak khidmat. Hanya saja, Binar sama sekali tak berselera. Perutnya tidak benar-benar lapar, dan lidahnya terasa hambar.
“Gue yang akan cuci piringnya. Lo mending istirahat dulu.” Ramon mencegah Binar membersihkan bekas makan mereka.
“Nggak papa. Gue bisa,” tolak Binar.
“No. Lo butuh istirahat, atau setidaknya mandi biar lebih seger.”
Binar memang membutuhkan itu. Jadi dia hanya mengangguk dan berlalu dari sana. Masuk ke dalam kamarnya, membawa perkakas mandinya, tak lupa baju gantinya. Lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di samping dapur. Yang membuat Binar sedikit geli ketika melewati Kala, lelaki itu tengah dengan santainya makan ayam goreng buatannya.
Binar mandi dengan cepat dan segera keluar setelah selesai. Membawa aroma mawar yang lembut dari tubuhnya. Dia merasa lebih baik setelah mandi. Bergabung dengan Kala dan Ramon, di sofa membawa serta ponselnya di genggamannya. Baru dia duduk, deringan teleponnya terdengar. Nama ‘Suami’ tertulis di sana. Binar hanya menatap itu dengan tatapan kesakitan.
Ternyata ada tiga puluh panggilan tidak terjawab yang terlihat di layar ponsel tersebut. Segera, nomor itu Binar masukkan ke daftar hitam sehingga Rasya tidak lagi bisa menghubunginya.
“Apa yang perlu gue persiapkan untuk pengajuan perceraian itu, Ram?” Mata sayunya menatap Rama. “Gue mau segera lepas dari dia.”
***
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s
Binar keluar dari rumah itu membawa kepingan hatinya yang telah hancur. Dia bersumpah di dalam hati, dia akan menemukan pengganti Rasya yang jauh lebih baik dari lelaki itu. Dia akan menikah lagi dan memiliki anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau kandungannya baik-baik saja? Semua ini hanyalah perkara waktu. Tapi keyakinannya begitu tinggi jika dia tidak mandul. “Bi!” Ramon menyusulnya dari belakang kemudian mendekatinya. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal, lo harus kuat. Gue akan bantu lo dan lo akan mendapatkan keadilan.” Binar menatap Ramon dan memaksakan senyumnya. “Hanya lo yang bisa ngebantu gue, Ram. Gue percaya lo bisa menyelesaikan semua ini.” Ramon mengangguk dengan yakin. “Gue akan segera memprosesnya. Besok, gue akan minta temen gue yang anggota kepolisian untuk ngebantu mengusir mereka. Gue yakin lusa lo bisa menempati rumah ini lagi.” “Kalau gue tetep di unit lo untuk satu bulan ini gimana, Ram?” Binar menarik napas panjang. “Jujur saja, gue masih sed
“Bi, lo yakin akan ikut pergi ke rumah dan menyaksikan mereka keluar dari rumah lo?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada Binar sebelum mereka pergi untuk mengusir Rasya dan keluarganya. “Gue yakin, Ram. Gue harus lihat mereka keluar dari rumah gue dengan kepala mata gue sendiri.” Bukankah dia sudah meminta kepada Ramon untuk mengurus permasalahannya? Lalu kenapa dia sekarang harus ikut sibuk menyaksikan kepergian Rasya dengan mata kepalanya sendiri? Tentu saja untuk memuaskan harga dirinya. Dengan melihat Rasya dan keluarganya keluar dari rumahnya, dia akan merasakan jika itu sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan. Binar sampai di depan rumahnya dengan Ramon di sampingnya. Dia tak membawa mobilnya karena sengaja tidak ingin langsung muncul di depan mantan keluarganya tersebut. “Lo akan tetap di sini?” Ramon sekali lagi bertanya ketika dia akan keluar dari mobil. “Iya, gue akan tetap di sini.” Mobil milik Ramon terparkir di luar pagar rumah dengan dua mobil lainnya. Satu mo
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Hei, kembali kamu. Kemari, aku akan mengacak-acak wajahmu. Nindi bukan perempuan seperti itu.” Jeritan dari ibu mertuanya tidak dihiraukan Binar sama sekali, memilih menutup telinganya rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Jadi dia memilih terus berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kerumunan. Binar bisa mendengar jeritan ibu Rasya yang tidak mau didorong oleh orang-orang Ramon. Apa pun yang terjadi kepada mereka, masa bodoh dengan itu. “Ibu.” Bibi mendekati Binar yang baru saja duduk di sofa. Perempuan paruh baya itu tampak sedikit lega dan juga penuh kebingungan. “Ibu sudah kembali?” tanya Bibi untuk memastikan. Binar yang tadinya memejamkan matanya itu kini membuka matanya. Dia menoleh menatap asisten rumah tangganya. Menatap raut wajah perempuan yang tampak kusut. “Apa yang terjadi setelah saya tidak ada di sini, Bik?” Hampir satu minggu Binar meninggalkan rumah. Tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini. Atau barangkali pembicar