“Di mana, mana hatiku senang.”“Jangan bercanda deh, kamu!” Inggit membentak. “Iya udah aktifin kamera kalau kamu tidak percaya.”Inggit mengernyit. Seketika pikirannya curiga karena Agam orangnya sering nyeleneh. “Tapi jangan nunjukin yang macem-macem ya! Nanti kamu kayak oknum yang gak bertanggungjawab itu? Tiba-tiba VC, langsung nunjukin kemaluan.”Agam tertawa lepas. “Iya enggak lah, emang aku lelaki apaan. Aku jomblo gini masih punya harga diri kali. Tapi kalau kamu mau liat ya gak apa?” guraunya. “Iihh, kamu ....”“Mau liat enggak?” “Liat apa?”“Gimana sih kamu! Hah, dari dulu kamu itu memang rada bego.” Agam mengaktifkan kamera untuk beralih panggilan video. Terlihat di layar ponsel Inggit, lelaki yang ia sayang menggandeng wanita lain. Sangat wajar apabila Inggit kesulitan melihat sisi terang atau sisi positif dalam kepelikan atau persoalan yang sedang ia hadapi. Apalagi jika permasalahan yang ia hadapi tersebut sampai membuat hatinya ‘hancur’ berkeping-keping, menjadi par
“Ets, jangan gegabah dong! Santai!” cegah Agam. Mereka mengatur siasat, untuk tetap di belakang kerumunan mematai Arya. Pelaku tak akan memperhatikan orang di sekitar karena ia lebih fokus dengan wanita yang sedari tadi ia gandeng dengan mesra. Ia sedang dimabuk cinta. Seakan dunia miliknya sendiri orang lain hanya mengontrak. “Babi!” Mata Inggit berapi-api. Menyaksikan pertunjukan panas ini. “Guling!” celetuk Agam asal. “Apaan sih, kamu gam!” Inggit mencubit kesal Agam. Sementara Arya semakin asyik bercengkerama akrab, saling melempar senyum bahkan tak segan wanita itu mengusap wajah lelaki yang masih berstatus suami orang lain. Jelas saja ini tontonan yang membuat semakin panas rasa hati Inggit. Semakin kuat pulalah cubitan yang diterima Agam.“Lebih baik kita pulang, bukan hati kamu aja yang bakalan hancur lama-lama menonton pertunjukan ini. Tapi, kulitku juga!”“Aku masih ingin melihat pertunjukan ini,” jelas Inggit mencubit kembali Agam. “Awww! Sakit tauk.”Inggit tidak mem
“Oh, makasih udah support Mas, ya sayang.” Pip. Sambungan langsung ditutup. Arya tersenyum bangga karena istrinya bisa dikibuli dengan mudah. Ia masuk ke dalam kamar hotel setelah mengunci pintu rapat. Hotel mewah yang dipesan hanya untuk menyalurkan hasrat liarnya yang berlimpah ruah. Mungkin kalau uang membayar hotel untuk beli sabun, bisa penuh sabun satu kamar. (Bisa stok untuk setahun) Tak butuh waktu lama Arya langsung menyerbu Anya, berawal dari pergerakan kecil, seperti pagutan yang di penuhi decapan-decapan.waktu yang bergulir keduanya terlihat semakin panas begitu pun Arya yang terlihat sangat perkasa tiada henti membubuhkan bercak hangat di leher jenjang milik lawannya. Ketika Arya menyesap sedikit kulit mulus leher jenjang Anya, wanita itu menggelinjang bag cacing kermi. Jemari Arya juga tidak lupa bergerak menekan Anya, terasa tubuh Arya yang semakin berkeringat, membuat Anya tak kuasa. Arya masih menikmati Anya dengan liar. Lalu, perlahan bangun penuh dengan kebin
Seminggu berlalu, gelagat Arya semakin berubah. Inggit pun tetap seolah baik-baik saja, tidak mempertanyakan tentang kenakalan suaminya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23:00 malam. Sekarang Arya sibuk dengan ponselnya yang beralasan pekerjaan.Anehnya kalau pekerjaan, masa sih, malah senyum-senyum sendiri. Ketahuan bohongnya. Inggit geleng-geleng kepala melihat Arya yang semakin gamblang belangnya. Apakah rumah tangga ini sudah tidak bisa dipertahankan? ‘Kalau gak inget pesen Agam, sudah aku rebut Mas hape kamu,’ batin Inggit. Dadanya bergejolak, amarah seakan memuncak.“Tidur aja duluan sayang, Mas masih sibuk,” ujar Arya tanpa menoleh sibuk dengan layar ponselnya yang menyala.“Aku nunggu di peyuk kamu Mas, baru bisa tidur. Kerjaan besok lagi Mas, bukannya kamu besok harus interview karyawan baru?”“Tanggung ini dikit lagi, lagian ada kopi. Jadi, gak terlalu ngantuk,” kilah Arya. ‘Kopi? Kopi atau selingkuhan Mas. Jelas aja betah, orang kamu itu bukan mengerjakan lapora
Menjelang sore, Inggit mendapatkan telepon dari Agam. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mereka mulai melakukan penyelidikan layaknya detektif. Memata-matai sebuah kafe yang didatangi oleh Arya. Sedikit info, Inggit mengetahui semua pergerakan Arya yang akan bertemu dengan Anya di kafe ini lewat penyadapan wh***app. Setelah menunggu beberapa lama dari kejauhan. Terlihat mobil Arya yang memasuki kawasan kafe. Inggit seperti waktu lalu, ia melakukan penyamaran dengan menggunakan kaca mata hitam, syal dan berjilbab. Karena Inggit tidak pernah berhijab. Sedangkan Agam mengenakan topi dan kaca mata hitam. Mereka mengambil posisi duduk berdekatan dengan target. Agam memesan kopi latte art untuk kami nikmati. Dengan posisi tepat membelakangi suaminya. Maka dengan jelas ia bisa menangkap apa saja pembicaraan target dengan jelas. “Mas sudah baikan itunya?” tanya Anya. “Sudah dong! Sudah bisa kok meluluhlantakkan dek Anya.”“Huh, Mas bisa aja ... Mas adek mau beli hape baru lagi. Masa kemarin
Mobil meluncur menuju tujuan yang sudah Inggit share lokasi. Dalam perjalanan ia terngiang-ngiang dengan ucapan Agam. Membuatnya geleng-geleng kepala. Kalau dipikir-pikir Agam adalah lelaki yang tergolong unik! Walaupun ia sering ngaco tapi cerdas, baik, dan juga dewasa. Seketika senyumnya luntur saat kedua bola mata cantiknya, melihat wanita panu itu sudah duduk di kursi. Wajahnya bahagia seperti mendapatkan giveaway novel satu truk. Padahal siksaan akan segera dimulai.“Hallo, Mbak Anya? Maaf kalau menunggu lama.”“Ini Mbak yang nelepon saya itu?”Inggit menjabat tangan Anya. “Benar sekali! Perkenalkan ... saya ... Rohaya ... ia itu nama saya, Rohaya.”Anya mengernyitkan dahi, sedikit ada kecurigaan.‘Dih, sial! Kenapa aku gak brifing dulu tadi sama Agam tentang nama siapa yang pas untuk penyamaran ini. Untung saja aku ingat nama tetangga.’Setelah puas berbasa-basi dan berbincang ria. Inggit seharusnya segera to the point. Namun, ia masih ingin bermain-main dahulu. Mengulur waktu.
Air mata berduyun-duyun hampir jatuh membasahi pipi. Ada rasa nyeri di hati, andai waktu bisa diputar kembali, Inggit ingin Arya masih seperti dulu. Tak pernah marah, dan sekasar ini. Semenjak perselingkuhan itu, Arya terlihat sudah berubah. Inggit memojokkan suaminya itu, suatu tanda kode keras. Tak lebih. “Aku tahu Mas, aku bukan istri yang baik ... aku ... aku—“ Inggit tak bisa lagi melanjutkan kata-kata. “Maaf, sayang,” ujar Arya memeluk istrinya. Inggit mendorong tubuh Arya. Ia berusaha menutup semua sesak di dada. Sungguh Inggit tak berniat untuk melawan kepala rumah tangga. Sekali lagi Inggit terpaksa. “Iya sudahlah Mas, lupakan itu.”“Maaf ya sayang, Mas beneran capek kerja, untuk memenuhi kebutuhan kita.”Inggit sesak dalam hati. Bagaimana tidak! Percuma kebutuhan terpenuhi tapi hati suami tak dimiliki lagi. Lagi pula, bukankah separuh uangnya untuk menyenangkan selingkuhannya. Inggit tidak sepolos, bodoh, dan mudah tertipu seperti dulu. “Ya Mas. Mas sudah makan?” tawa
“Sarapan dulu mas?” tawar Inggit berusaha biasa saja. Seolah tak perlu mengingat-ingat kejadian kemarin. ‘Jika nanti semua harus menjadi kenangan, jangan sampai merindukan semua ini, atau aku yang hanya seorang istri yang berharap lebih, hingga mengenal kata kecewa. Tertampar habis-habisan oleh pengihanatan,’ batin Inggit lirih, karena kenyataan tak seperti yang ia bayangkan. Sementara Arya memandangi penampilan istrinya, pagi ini Inggit sudah bersiap diri tampil sempurna dengan bous putih berenda dan rok slim skirt merah, blazzer hitam ia sampirkan di sofa.Setelah Arya sudah bersiap pergi kerja ia baru menyadari penampilan istrinya. “Eh, sayang mau ke mana sudah rapi gitu? Tumben.”“Aku mau kerja, bosan di rumah terus, Mas! Cuma berharap gaji suami.”Arya tak berhenti memandang Inggit tak percaya. Sapuan make up di wajah istrinya. Terlihat menggoda. “Kerja apa? Jangan aneh-aneh, sayang.”“Siapa yang aneh Mas?”“Kamu itu, sekarang benar-benar kelewatan ya!” bentak Arya. Mulai terp