BAB 10 "Ngapain Oma bawa pembantu ini," ucap Kean sinis. Lelaki itu menatap sinis lewat kaca, saat kendaraan tengah melaju. Amara langsung menunduk sambil meremas pakaian. Ia kesal bercampur tahu diri, akhirnya memilih untuk diam tak bersuara. "Husss ... jangan ngomong gitu, terserah Oma dong. Mau ngajakin siapa," tegur Oma Ica. Mendengar teguran wanita kesayangannya membuat lelaki itu langsung memutarkan bola mata malas. "Oh iya, pokoknya habis masa iddah, Amara. Kalian akan segera menikah," lontar wanita tersebut. Karena ucapan sang Oma yang mendadak dan membuat kaget, Kean sampai menghentikan kendaraan membuat terdengar decitan. "Kamu gimana sih bawa mobil! kaya lagi belajar aja," omel Ica. Kean tidak mengindahkan omelan sang Oma, ia langsung memandang wanita tersebut begitupun Amara. "Kenapa kalian ngeliatin Oma sampe segitunya, Oma tau kok kalau Oma cantik," ucapnya genit seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kean mendelik ia bahkan mengembuskan napas kasa
"Pasti nanti juga Tuan bertemu perempuan yang baik, Oma."Amara berkata demikian sambil mendekati Oma Ica yang duduk di kursi. Terlihat wanita paruh baya itu menunduk dan menghela napas. "Oma tak percaya pilihan dia, Amara. Banyak wanita yang mendekat karena menginginkan kekuasaan, pasti jika cucuku dalam masalah mereka langsung pergi," balas Ica. "Oma hanya ingin kamu yang jadi cucu menantu, Oma."Setelah berkata demikian, ia langsung mendongak menatap manik mata perempuan yang berada di hadapannya. Amara berjongkok agar wanita yang menolongnya tidak pegal melenggak."Aku cuma seorang janda, Oma. Wanita yang diceraikan suaminya. Sedangkan Tuan ... dia masih lajang. A-aku gak pantas berdampingan dengannya," tutur wanita tersebut. Ibu Selena, ia bangkit dari duduknya lalu memegang bahu Amara agar perempuan itu bangkit. "Kamu pantas, Mara. Oma yakin sama pilihan Oma, kamu memang yang terbaik untuk cucu es, Oma itu," lontar Ica.Mendengar lontaran sang majikan, Amara menghela napas le
"Akhhh ... sakit," ringis Amara. Suaranya tercekat oleh rasa sakit yang menyerang. Wanita itu segera membalikan badan untuk melihat siapa yang tiba-tiba mencengkram tangannya sangat kuat, lalu dia terdiam. Kala melihat tatapan Kean bagai sambaran petir yang dahsyat, penuh amarah dan kebencian. Mata lelaki tersebut menyala-nyala seakan ingin membakar Amara dengan pandangannya. "Kamu pasti bahagia bukan!" sentak pria tersebut.Amara mengerutkan kening, bingung dan terkejut oleh ledakan emosi pria tersebut. Sebelum ia sempat merespon, suara panggilan lembut Oma Ica pada sang cucu memecahkan ketegangan itu. Kean lekas berbalik tetapi tatapannya masih tertuju pada Amara, seperti elang yang mengawasi mangsa. Dia sama sekali tidak melepaskan pandangan dari wanita yang beberapa hari lalu menolong sang Oma. "Astagfirullah, Tuan Kean seperti mau melemparku dari jurang. Membuat tubuhku hancur, belum menikah saja udah seperti ini, apalagi kalau jadi istrinya," keluh Amara. ***Beberapa bulan
Amara memandang kediaman Kean tatapan tak percaya, netranya berkeliling melihat setiap detail bangunan yang sangat indah. Perlahan kaki wanita itu melangkah, ia mendekati pintu utama dan segera menekan bel. Tak lama, benda itu terbuka, memperlihatkan penghuni yang tampak berantakan. Tebakan perempuan tersebut Kean baru saja terbangun dari tidur. Tatapan awal terlihat sayu kini berubah tajam kala mata menangkap Amara berdiri di ambang pintu."Ngapain kamu ke sini, dan ... kenapa kamu tau rumahku! Jangan-jangan kamu sejak dulu memata-matai keluargaku kan," tuduh pria tersebut. Wanita itu memutarkan bola mata malas mendengar tuduhan Kean. Bahkan lelaki tersebut sama sekali tidak menyuruhnya masuk. "Apa Tuan, lupa? Anda yang meminta ke Oma untuk membantu membereskan rumah." Jawaban perempuan itu terdengar kesal karena selalu saja tuduhan yang dilayangkam pria tersebut. "Oh ... masuklah!" seru Kean. Dia menyingkir dari hadapan Amara menyuruh wanita itu untuk masuk. Karena telah dipersi
"Akh ... sakit banget, Tuan ini apa gak bisa pelan dikit apa!" keluh Amara. Ia merasakan sakit dipunggung akibat terbentur pintu. Mendengar keluhan Amara lelaki itu tidak menampilkan riak peduli. Tatapannya sangat dingin, karena akibat wanita tersebut. Kini jantungnya terasa bekerja lebih cepat. "Cuaca lagi gak mendukung, kamu nginep aja di sini. Tau kan letak kamar tamu, gak perlu di antar," kata Kean dingin. Setelah berkata demikian, lelaki itu memilih pergi meninggalkan Amara menuju soda, ia hendak melakukan hal yang tadi tertunda. Calon istri pria tersebut menatap sekitar lalu merinding takut, segera mengejar Kean dan duduk di samping anak Selena. Kean sempat melirik wanita tersebut sambil menaikan alis lalu memilih mengabaikan tingkah Amara dan fokus mengerjakan pekerjaan. "Apa mati lampu, Tuan? Atau Tuan lupa membayar tagihan listrik?" tanya Amara. Ia ikut memandang layar laptop milik pria tersebut. Kean langsung melirik sinis Amara lalu memilih fokus ke laptop kembali. "A
Lelaki itu menyeruput kopi buatannya secara perlahan, lalu pandangaan tertuju pada Amara yang masih berdiri dengan kepala menunduk. Melihat hal tersebut, Kean mengembuskan napas."Kenapa diam aja? Apa kamu bakal terus diam sampai aku memasak sendiri. Kalau gitu apa gunanya kamu disini, ayo cepat buatkan aku sarapan!" seru Kean. Setelah berkata demikian ia segera menyeruput kopi lagi lalu menaruhnya kembali. Sehabis itu tangannya merogoh handphone dan segera memainkan benda pipih tersebut.Amara menghentakan kakinya pelan karena sakit hati dengan perkataan Kean. Lalu wanita itu segera melaksanakan tugas yang diberikan cucu kesayangan Oma Ica ini.Kean tersenyum geli seraya memandangi tingkah Amara, lalu segera mengusir pikiran yang memikirkan wanita tersebut. Aroma makanan tercium oleh hidung, membuat konsentrasi lelaki itu yang mulai memainkan ponsel buyar. Ia meletakkan handphone-nya dan melangkah mendekati Amara untuk melihat apa yang sedang dimasak."Lamban banget kamu masaknya, ka
16 - Tidak jadi menikah?Selena menggerakan tangan di depan wajah Amara kala dia bertanya tetapi tak ada jawaban. Dengan gerakan pelan, wanita itu mengguncang tubuh perempuan tersebut sampai tersadar. "Kamu kenapa, Mara? Kenapa ngelamun, Tante tanya dari tadi malah diem aja," tegur perempuan tersebut. Mendengar teguran Selena, wanita itu segera menggeleng dengan senyuman kecil terulas. "Tadi Tante tanya apa?"Dia berusaha mengalihkan topik, Selena yang mengetahui hal itu membuat ia menghela napas. "Itu, kamu mau makan apa? Biar nanti Tante pesen, tapi jangan terlalu banyak makannya ya. Bukan Tante takut kebuang-buang disini, cuma ... kan besok kamu nikah takut berat badan kamu naik dan gaun jadi gak muat gitu, hehehe ...."Amara menganggukan kepala lalu menggeleng membuat Selena mengerutkan kening memandang heran calon menantunya. "Bisa minta di bungkus aja gak, Tan? Jangan makan di sini, mendingan kita makan bareng-bareng di rumah," jelas Amara.Selena hanya menggelengkan kepala
"Kamu tenang aja, Oma percaya sama Kean. Dia gak mungkin ngecewain kita, apalagi dia udah mengiyakan permintaan Oma itu," lontar perempuan paruh baya itu. Dia mengusap punggung Amara berusaha menenangkan. Sedangkan perempuan tersebut hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun sambil menundukan kepala. Terlihat ia banyak pemikiran yang berkecambuk di otak. Rasa sakit tak berdarah, bagai tertusuk seribu jarum kala mendengar calon suaminya belum datang. "Apa begitu gak sudinya kamu menikah denganku, Tuan? Sampai kamu tidak datang, kenapa kamu malah mengiyakan permintaan Oma, harusnya kamu terus berusaha menolak, sampai Oma muak dan mengiyakannya. Bukan malah ikut mengiyakan sepertiku," batin Amara berteriak. Ia sangat sedih karena merasa dipermainkan, tak terasa jarum jam terus bergerak. Penghulu bahkan selalu menanyakan keberadaan calon mempelai pria, karena dia juga harus menikahkan pengantin yang lain sesuai jadwal. Alex memohon agar orang tersebut tidak pergi, membuat lelaki itu