"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela.
"Kita cerai saja, Mas!"
Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya.
"Maksud kamu apa, Sayang?"
"Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio.
"Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai.
"Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh.
"A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.
Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad
Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m
Sudah dua minggu Zulfa tinggal bersama sang Ibu. Dan sejak itu, Fikri sering datang berkunjung dengan membawa berbagai macam cemilan dan buah-buahan."Fik, tolong jangan begini. Meski aku sudah pisah sama Mas Rio, tapi kami belum benar-benar bercerai," ujar Zulfa saat Fikri menemuinya dengan membawa sekotak coklat berbentuk hati siang ini.Bu Umi keluar dengan membawa nampan yang di atasnya sudah ada teko berisi teh dan dua cangkir. Beliau menaruhnya di meja dan mengisi cangkir tersebut lalu memberikannya ke Fikri."Maafkan saya, Bu ... saya selalu merepotkan Ibu setiap kali ke sini," ucap Fikri sambil menunduk."Nggak papa, Le. Diminum dulu tehnya," kata Bu Umi ramah. Fikri mengangguk, lantas menyesap tehnya perlahan-lahan."Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Bu Umi."Saya kerja, Bu. Pulang kerja langsung ke sini. Maaf, ya jika kalian bosan karena katemu saya terus-terusan." Fikri terkekeh.Zulfa tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sen
Pak Setyo berniat untuk mengunjungi Zulfa untuk meminta maaf. Beliau sudah teramat menyayanginya seperti anak sendiri. Setiap kali beliau sakit, Zulfa lah yang selalu memperhatikan, mulai dari makanan hingga pakaian yang dikenakannya.Sedangkan Bu Salma, beliau lebih senang dengan dunianya sendiri. Sebenarnya, Bu Salma juga menyayangi Zulfa. Namun, kenyataan bahwa Zulfa tak kunjung hamil membuat beliau sedikit malas pada menantunya itu."Mau ke mana, Yah?" tanya Bu Salma. Beliau sedang memasak sop iga untuk Amara.Rio bilang, bahwa ia dan Amara akan datang malam ini."Mau menemui Zulfa. Kamu mau ikut?" tawar Pak Setyo sambil memakai jaket kulitnya."Ngapain, sih, Ayah mau ke sana? Dia kan udah bukan menantu kita lagi," ketus Bu Salma."Itu menurutmu! Tapi, aku tetap menganggapnya anakku," tegas Pak Setyo
Zulfa telah resmi menjadi janda sejak masa nifasnya usai. Dan sejak tiga bulan ini, Fikri tidak pernah mengunjunginya. Entah mengapa Zulfa merindukannya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan agar Fikri tidak datang ke rumahnya."Melamun lagi?" tegur Bu Umi yang baru saja selesai memetik daun salam untuk bumbu masakannya."Aku mau nyari kerja, Bu. Sudah saatnya aku nyari uang." Zulfa beranjak dari kursinya dan berdiri di ambang pintu. Matanya menerawang jauh ke depan. Ia berniat untuk bisa mencari nafkah."Mau kerja apa? Nyari kerja kalau nggak dibantu susah, Nak," tukas Bu Umi."Ya ... aku akan usaha, Bu. Yang penting Ibu doakan aku terus." Zulfa tersenyum menatap sang Ibu."Iya itu selalu ibu lakukan untukmu. Oh, ya. Lama sekali, ya, Fikri nggak datang," celetuk Bu Umi. Zulfa seketika terdiam."Apa dia marah sama kita, ya. Mungkin, waktu itu dia marah karena kita melarangnya agar nggak ke sini sama sekali," tukas Bu Umi. "Ibu jadi merasa n
HK15. Mertua Pembantu GratisPerut Amara mulai terlihat membuncit, sebab usia kehamilannya telah memasuki lima bulan. Fase-fase yang ia lalui tak serumit wanita hamil pada umumnya. Ia lebih enjoy dan tak pernah merasakan mual dan pening. Orang jawa bilang 'ngebo'.Di saat-saat itu pun Bu Salma memberikan perhatian lebih ekstra untuknya. Amara yang merasa disayang Bu Salma sering memanfaatkan keadaan agar ia bisa berleha-leha tanpa lelah mengurus rumah."Amara, ini ibu belikan kurma muda. Kamu makan ya. Ini bagus banget buat ibu hamil seperti kamu," tukas Bu Salma ketika berkunjung.Amara mengangguk senang. "Iya, Bu. Makasih, ya ... Ibu baik banget," pujinya."Iya ... soalnya ibu pengeeen sekali punya cucu, Ra. Sudah hampir berjalan empat tahun. Dan ini tahun pertama bersamamu. Dan ibu gak nunggu lama-lama lagi," ujar Bu Salma sambil mengelus perut Amara."Bu? Ibu nggak pernah marah gitu sama Zulfa?" Amara sengaja memancing Bu Salma a
Rio menyandarkan kepalanya pada kedua tangan yang ia tumpulan di atas meja. Kedua matanya terpejam karena berkas-berkas laporan yang ia kerjakan kembali tertumpuk di hadapannya."Kamu ini gimana?! Bisa kerja apa gak?! Masa buat laporan gini aja salah semua?!" bentak Pak Biran–atasannya di kantor."Apa, Pak? Laporan saya salah semua?" Rio membalas tanya tak percaya."LIHAT SENDIRI!" Pak Biran melempar berkas-berkas ke wajah Rio hingga jatuh berhamburan.Tangan Rio mengepal, kedua matanya terpejam. Ia menahan emosi yang semakin membuat darahnya mendidih. Namun, ia hanya bisa diam. Jika ia membalas, pemecatan akan terjadi padanya."Maafkan, saya, Pak," ujar Rio akhirnya. Ia memunguti kertas-kertas tersebut dan menjadikan satu dalam map."Akan saya teliti lagi. Tolong maafkan saya ...." Rio memohon, mengiba pada Pak Biran.Pak Biran dikenal sebagai orang yang keras dan tegas. Namun, tak jarang beliau juga bisa melunakkan
Maksudnya apa?" Zulfa melempar tanya, ia menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi."Satu hari sesudah pernikahanmu dengan Rio di rumah ini, Fikri datang. Dia membawa banyak hantaran untukmu. Dia telah memenuhi janjinya padamu, Nak," ungkap Bu Umi dengan mata yang menerawang jauh. Sorot mata Bu Umi terlihat begitu sedih.Zulfa menggeleng pelan. "Itu tidak mungkin ... lagi pula, Fikri sudah bertunangan, lalu ... untuk apa dia datang?" Zulfa menggeleng lagi. Ia masih sukar menerima."Aku tidak pernah bertunangan dengan siapa pun, Fa! Aku selalu berpegang teguh dengan janji yang kubuat! Lagi pula jika aku sudah bertunangan, untuk apa aku sekarang ada di sini dan membantumu membuka rahasia Rio ?! timpal Fikri dengan tegas dan penuh penekanan. Mata elangnya tidak berbohong bahwa ia tengah bersungguh-sungguh."Lalu kamu kemana? Aku menunggumu waktu itu! Aku menunggumu setiap hari, dengan harapan agar kamu benar-benar datang. Tapi ... malah Rio yang datang padak