"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Zulfa memandang suaminya–Rio, dengan pelbagai pertanyaan yang berputar dalam benaknya. Semenjak kepulangan Rio dari luar Kota, tingkahnya banyak berubah. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama handphone dari pada dengannya.Padahal, dulu Rio lebih senang bermanja dengannya dari pada bermain ponsel. Bahkan, sekarang saat masakan Zulfa telah terhidang, Rio sama sekali tak meliriknya. Dia masih asyik tersenyum bersama benda pipih pintar miliknya. Ia merasa tak dihargai."Mas, makan lah makananmu! Akan tidak enak jika kamu membiarkannya terlalu lama," ujar Zulfa. Rio tersadar. Ia mengangguk dan tersenyum."Iya, Sayang. Makasih, ya." Rio menyendok mie ayam buatan istrinya."Masakanmu memang tiada tanding, Yang," puji Rio dengan mulut penuh makanan. Sesekali tersenyum memandang Zulfa.Zulfa tersipu, kedua pipinya memerah. Bukan pertama kalinya ia dipuji seperti itu. Namun, mendengar be
"Aku berangkat dulu. Kamu hari ini sarapan sendiri, ya. Aku buru-buru soalnya." Rio turun dari tangga dengan tergesa-gesa dengan tangan kanannya yang terus menyisir rambut.Zulfa bingung dengan sikap Rio. Padahal waktu masih terlalu pagi untuk bekerja. Ayam tetangga pun masih bergulung di peraduan mengerami telurnya. Bahkan, matahari belum nampak bangun dari peraduan."Kenapa pagi sekali, Mas?" tanya Zulfa dengan tatapan tak suka. Kedua matanya menatap Rio tajam."Iya. Habis gimana, ya... Klienku dari Kalimantan baru sampai hari ini. Dia ngajak ketemu sekarang juga," jelas Rio."Tapi ... kenapa kamu dandan gitu?""Maksudmu aku harus pakai kaos dan celana bokser?"Zulfa mendesah. "Maksudku kenapa rambutmu klemis dan wangi parfummu semerbak kayak gini? Kamu gak lagi bohongin aku kan, Mas?" Zulfa memberikan tatapan menyelidik.Rio terkekeh. "Ingat perkataanku
Memiliki seorang suami, namun hidup bagaikan seorang janda. Itulah yang Zulfa rasakan kini. Ia merasa bahwa ada jarak yang terbentang lebar di antara ia dan Rio."Sebenarnya kamu kenapa, Mas?" lirih Zulfa berucap. Ditatapnya wajah Rio yang terlihat tenang dalam dengkuran halusnya. Dadanya naik turun secara teratur, pertanda ia benar-benar terlelap. Mungkin, ia memang kelelahan.Sesekali, senyum di bibir Rio terukir seolah ia tengah memimpikan hal yang bahagia. Wajahnya begitu tampan. Hal yang membuat Zulfa takut jika ketampanan yang dimiliki suaminya itu akan menjadi bumerang untuknya.Mungkin, sekarang.'Apa kamu sedang memimpikanku, Mas?' batin Zulfa bertanya sendiri. Pikiran negatif selalu melintas dalam kepalanya. Apakah sekarang ia tengah terbuai mimpi sedang bersama wanita lain?Entahlah, ia hanya bisa menebak-nebak.Ia teringat tentang pesan-pesan sang Ibu. Agar tak
"Dia ... selingkuhanmu, kan?" tuduh Zulfa dengan tatapan tajam dan mata merah usai menangis.Rio membuang muka. Ia merasa malas berdebat tengah malam, khawatir jika ada tetangga yang lewat lalu mendengarnya. Orang yang tidak menyukainya akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak jika perdebatannya dengan Zulfa didengar."Jangan menuduhku selingkuh. Aku tak akan pernah melakukan itu padamu!" jawab Rio dengan tegas dan penuh penekanan."Jangan bohong, Mas! Aku merasa selama beberapa hari ini sikapmu berubah! Kamu berangkat sebelum aku bangun, terus aku sudah lelah memasak malah kamu nggak makan sedikit pun! Menoleh pun tidak! Apa kamu tau gimana rasanya, Maaass?" Zulfa meraung sambil menepuk-nepuk dadanya. Mengungkapkan amarah dan sesak dalam dadanya.Rio bergeming. Ia hanya menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya ia iba, namun ia tak bisa apa-apa."Lalu, sekarang ... kenapa rambutmu basah? Kamu nggak pernah loh mandi tengah
"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?"Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh.Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya."Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai.Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.