Share

Badmi 6

“Kamu akan berangkat sendiri?” tanya Irwan menatap Naila yang sibuk dengan sarapannya “Apa kamu sarapan seperti itu setiap pagi?”

“Aku membutuhkan tenaga saat berhadapan dengan pasien jadinya butuh asupan banyak sebelum bertemu mereka, itu sangat melelahkan apalagi kalau sampai mereka tidak mengikuti aturan yang sudah aku buat. Aku berangkat sendiri nggak enak kalau tiba-tiba datang bersama dengan chef kebangaan mereka.”

Irwan mencibir perkataan Naila “Apa kamu peduli sama perkataan mereka?”

Naila mengangkat bahu “Semua serba mendadak buatku jadinya ya....” Naila tidak melanjutkan perkataannya “Aku berangkat dulu.” Naila beranjak dari tempatnya dengan membawa piring ke tempatnya untuk dicuci.

Pelukan dari belakang membuat tubuh Naila membeku, semalam mereka tidak melakukan apapun karena sama-sama terlalu lelah. Naila memang memutuskan berada dalam satu kamar dengan Irwan, pernikahan mereka bukan perjodohan atau paksaan sekalipun tapi setidaknya Naila yakin jika ini akan bertahan lama hanya saja masih banyak yang membuatnya berpikir mengenai masa lalu Irwan.

Tujuan Naila saat ini memang rumah sakit, sesuai dengan perjanjian bersama Wijaya yang tetap ke rumah sakit meskipun tidak terlalu sering. Tidak banyak yang tahu mengenai pernikahan dirinya membuat Naila sedikitnya bernafas lega, 

“Saya kira nggak akan kesini.” Lela menatap Naila yang masuk dalam ruangan “Ada yang perlu dilihat?”

Naila mengangguk “Ada janji sama pasiennya Dokter Evan.”

“Panjang umur datang juga.” Lela menatap Evan dengan tatapan menggoda.

Naila menatap Evan yang berjalan kearahnya, memberikan senyuman terbaik sebelum akhirnya Evan duduk dihadapannya. Memberikan kode pada Lela untuk keluar dari ruangan, langsung dilakukan membuat mereka hanya berdua saja. Naila menatap Evan yang baru disadarinya jika tatapan Evan adalah tatapan kecewa, Naila sudah tidak perlu banyak bicara pastinya kakak sepupunya sudah bicara dengan Evan.

“Bagaimana bisa kamu menikah? Kamu cinta dia? Aku nggak akan membahas mengenai apa yang kita lakukan termasuk ciuman itu. Aku hanya tahu kebenarannya semua dari kamu.” Evan menatap kecewa pada Naila.

“Semua terjadi begitu saja dan secara tiba-tiba aku menikah.” Naila mengatakan sebenarnya membuat Evan mengangkat alisnya “Cinta? Aku sendiri belum yakin cinta sama dia, tapi kami telah resmi menikah.”

“Apa aku bisa merebut kamu?” tanya Evan yang membuat Naila membelalakkan matanya “Tidak ada cinta kan?”

“Bukan berarti mas melakukan hal itu.”

“Banyak orang menikah yang bercerai meskipun mereka saling mencintai apalagi kamu yang tanpa cinta lebih mudah berpisah.”

“Aku nggak akan melakukan itu, Mas. Kami menikah secara sah dan bukankah lebih baik mencari wanita lain?” menatap Evan dengan penyesalan.

“Perasaan sama kamu terlalu dalam, jika dulu aku bisa mengalah pada atlet itu tapi kali ini...entahlah aku sendiri nggak tahu, Nay.”

Berdua sama-sama larut dalam pikiran masing-masing, Naila sendiri tidak menatap  mata Evan dengan terlihat menyibukkan diri dengan rekam medis yang ada di tangannya. Naila tidak tahu apa yang dilakukan Evan saat ini, bisa saja Naila seperti sebelumnya saat bersama dengan Rafa tapi sekarang kondisinya berbeda dimana dirinya telah resmi menikah. Naila hanya tidak mau menyakiti banyak pihak ataupun dirinya, keputusan dirinya menerima Irwan sepenuhnya sudah dipirkan dengan baik.

“Huh...berarti memang nggak ada kesempatan sama sekali.” Naila mengangkat kepalanya membuat mereka saling memandang satu sama lain “Kamu bisa datang kapanpun kalau dia membuat masalah atau sedih, aku siap menemani kamu dalam kondisi terburuk sekalipun.”

Tidak menanggapi perkataan Evan yang berjalan keluar dari ruangannya, pandangan Naila tidak lepas mengikuti langkah Evan sampai benar-benar pintunya tertutup. Menghembuskan nafas panjang setelah Evan benar-benar keluar dari ruangan, suara ketukan membuat Naila kembali dalam mode seriusnya.

“Pasiennya sudah datang, anak baru mau masuk bisa?” tanya Lela yang diangguki Naila.

Mereka keluar dari ruangan menuju poli tempat dimana Naila menerima pasien, melangkah bersama Lela dan juga anak-anak baru. Naila seharusnya tidak perlu datang karena anak-anak baru ini sudah bisa menghadapinya, hanya saja pasien Evan ini sudah dibuatkan janji jauh sebelum keputusan dirinya.

Lela langsung memanggil pasien yang artinya Naila sudah siap dalam memberikan penjelasan mengenai apa yang harus dimakan, boleh dilakukan sampai pantangannya. Sedikit bersyukur pasien Kali ini tidak seperti keluarga Benny, mereka tidak mengikuti aturan dengan menggunakan aturan sendiri dan ketika tidak sesuai mengatakan tim dokter melakukan malpraktek.

“Setelah ini kemana?” tanya Lela saat mereka berjalan ke ruangan meninggalkan anak-anak baru.

“Hotel.”

“Enak sekali pasti banyak lihat cowok cakep.” Lela memajukan bibirnya membuat Naila tersenyum “Boleh bertanya?” Naila mengerutkan keningnya lalu mengangguk pelan “Kapan kalian berdua menikah?”

“Aku dan Evan?” Lela mengangguk membuat Naila tersenyum tanpa berniat menjawab “Aku duluan, Mbak.” Naila menepuk bahu Lela sebelum benar-benar meninggalkan dirinya.

Perjalanan rumah sakit dengan hotel berjalan sedikit lambat, Naila menghubungi Irwan mengatakan jika dirinya mengalami keterlambatan dan tidak ada balasan sama sekali. Memastikan mobilnya parkir dengan benar Naila langsung berjalan masuk kedalam menggunakan pintu karyawan, tidak banyak karyawan yang berada di ruangan tapi mereka yang ada disana memandang Naila dengan tatapan menilai.

“Permisi ruangan Pak Irwan dimana?” tanya Naila sopan pada salah satu pria.

“Chef Irwan?” Naila mengangguk ragu “Mari ikut.”

Melangkah bersama pria itu menuju ruangan Irwan, mengetuk pintunya pelan tapi sayangnya tidak ada jawaban sama sekali. Mereka berdua saling memandang dan Naila semakin bingung dibuatnya.

“Chef Irwan bukannya rapat sama Pak Leo dan Bu Tina?” tanya salah satu pegawai yang lewat lalu tatapannya beralih pada Naila “Anda Bu Naila?” Naila mengangguk pelan “Anda tidak ikut rapat?”

“Tinggalkan kami berdua.” 

Bertiga memandang sumber suara dan secara otomatis kedua pegawai tadi meninggalkan Naila dengan Irwan berdua, tanpa banyak bicara Irwan langsung masuk kedalam ruangan membuat Naila melakukan hal yang sama dan tidak lupa menutup pintunya.

“Apa kamu lupa mengenai rapat ini? Bukan berarti kita melarang kamu ke rumah sakit, tapi kamu harus bisa membagi waktu dengan membuat skala prioritas.” Naila hanya diam “Kenapa diam? Bisu?”

“Saya belum tahu jadwalnya.” Naila mencoba mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat orang lain berkurang emosinya

“Kenapa tidak tanya dirumah? Kamu lupa kita menikah?” Naila menggelengkan kepalanya “Lalu?”

“Maaf.”

“Kali ini aku ampuni entah bagaimana.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status