Edeline tidak bisa menyembunyikan rasa curiga ketika sudah jauh tenggelam di unit IGD. Hal itu bukan karena peralatan canggih ataupun situasi menegangkan di sana.
IGD merupakan trauma center utama dari setiap rumah sakit. Situasi sibuk dari setiap tenaga medis yang memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang memenuhi ruangan itu tidak menjadi keluhan bagi Edeline.
Edeline malah menyambut hangat. Dokter cantik itu bertindak sigap kepada setiap pasien yang datang. Hanya saja, ke mana semua perginya dokter yang bertugas di unit IGD?
Sejak tadi, hanya Edeline sendiri yang menyambut dan memberikan pengobatan kepada setiap pasien yang datang. Dia hanya dibantu oleh perawat-perawat yang bertugas di sana.
Dan benar yang Elvis katakan. Unit IGD begitu sibuk sehingga untuk bernapas tenang pun Edeline tidak bisa. Bahkan dokter cantik itu telah melewatkan jam makan siang dan tidak bisa sekadar beristirahat sejenak.
Edeline tidak akan mengeluh. Sudah menjadi tugasnya menolong dan memberikan pengobatan kepada setiap pasien yang datang. Tetapi, situasi yang dihadapi sangat mustahil untuk diserap oleh akalnya. Tidak mungkin unit IGD sesibuk itu hanya menempatkan satu orang dokter saja.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Edeline menggumam lemah ketika selesai memberikan penanganan pada satu pasien.
“Aku juga bertanya-tanya, Dokter.”
Edeline terkejut oleh suara seseorang yang muncul dari arah belakang. Dokter cantik menoleh ke belakang secara refleks dan mendapati Lina—perawat yang sejak tadi membantunya. Lina merupakan perawat IGD yang sudah lama mengabdikan diri di sana.
“Lina! Kau mengagetkanku!” seru Edeline dengan eskpresi setengah kaku.
“Aku juga penasaran, Dokter. Sebenarnya apa yang Dokter lakukan sampai hal ini terjadi?”
Edeline memicing tajam pada Lina. “Memangnya apa yang aku lakukan? Sejak tadi kau lihat jika aku sibuk menangani pasien,” ucapnya dengan nada tersinggung.
“Dokter tidak merasa aneh? Atau Dokter memang sudah tahu?”
“Tenagaku sudah terkuras habis sejak tadi. Jadi, jangan mengurasnya lagi untuk emosiku.” Edeline mendesak Lina untuk berbelit-belit.
Perawat yang berusia 28 tahun itu tidak langsung menurut pada Edeline. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, mencermati keadaan sekitar lalu kemudian menarik Edeline ke sudut—di mana tidak ada seorang pun di sana.
“Semua dokter di sini dipindah tugas ke unit lain,” Lina berbisik dengan hati-hati.
“Apa? Kau bercanda?” Mata dan bibir Edeline terbuka lebar, akibat keterkejutannya.
“Aku tidak mungkin bercanda, Dokter. Kakiku rasanya mau copot karena sejak tadi berlari ke sana ke sini membantu Dokter. Sebelum Dokter datang ke sini, telah keluar surat perintah mendadak dari Dokter Elvis kepada dokter-dokter yang bertugas. IGD hanya akan diisi oleh Dokter Edeline saja,” jelas Lina terperinci.
Batin Edeline terkejut mendengar pengakuan itu. Wajah cantiknya pun turut menunjukkan perasaan batin yang sudah ingin meledak marah. Matanya berkilat memancarkan jelas amarah nyata.
Di tengah-tengah itu, Edeline memahami ucapan Elvis sebelum berpisah di ruangannya. Bahwa pria itu mengejek Edeline untuk berjuang di unit IGD. Ternyata ... ah, si pecundang itu sengaja menekan Edeline untuk mengibarkan bendera kekalahan.
“Brengsek,” Edeline mengumpat lemah.
“Apa? Dokter mengatakan apa?” Lina terpancing karena samar-samar mendengar Edeline seperti tengah mengumpat. Akan tetapi dia memastikan, karena takut apa yang dia dengar salah.
“Aku mengatakan burger karena perutku merasa lapar.” Edeline terpaksa berbohong. Tak mungkin dia bercerita pada Lina tentang apa yang terjadi antaranya dan Elvis. Benar-benar pria kurang ajar itu menyebalkan!
“Perutku juga lapar, Dokter. Kita belum makan sejak tadi.” Lina menambahkan, karena dia juga sangatlah lapar.
“Kalau begitu aku akan mentraktirmu saat pulang nanti.” Senyuman cantik akhirnya terhias di wajah Edeline yang terhibur oleh naifnya Lina.
“Hm, tapi, Dokter tidak melakukan kesalahan apapun, kan?” Lina menatap tajam kepada Edeline yang terintimidasi. “Sebagai pegawai yang sudah lama bekerja di sini, aku menyarankan untuk tidak melakukan kesalahan apa pun pada Dokter Elvis. Dokter tahu kan siapa beliau?” Lanjutnya lagi mengingatkan agar Edeline tidak bertindak aneh-aneh yang membuat Elvis murka.
Edeline tersenyum masam sambil mengumpat dalam hati. “Aku ... aku tidak melakukan kesalahan apa pun—”
“Apa boleh bergosip di jam kerja?” suara ketus yang familiar telah membungkam kejam mulut Edeline.
Tanpa dilihat langsung oleh mata pun Edeline mengetahui sosok yang di belakangnya—yang datang tiba-tiba. Dan benar saja, tebakan di dalam hati Edeline menjurus pada kebenaran ketika berbalik badan telah mendapati sosok angkuh yang bermusuhan menatapnya.
“Semua orang sedang sibuk, tetapi kalian malah santai-santai dan bergosip di sini!” lanjut Elvis menuduh kejam.
Lina hanya merunduk takut, sementara Edeline menanggapi diam karena tidak memiliki energi lebih untuk berdebat. Tampak jelas mata Edeline memancarkan nyata kemarahannya pada Elvis.
“Laporkan padaku mengenai pasien yang kau alihkan ke unit bedah dan jantung.”
Elvis langsung berpaling dari hadapan Edeline tanpa menanti jawaban apa pun dari gadis itu. Sikapnya itu memaksa Edeline untuk mengikuti langkah kaki tanpa bisa menolak.
Hingga akhirnya, emosi Edeline kembali dipermainkan ketika berada di ruangan pria itu. Elvis yang duduk santai dengan wajah tenang—tanpa berdosa benar-benar menjengkelkan di mata Edeline.
“Bagaimana hari pertama di IGD? Kau bisa bernapas tenang?”
Sialan! Ucapannya tadi hanya sebuah alibi menggiring Edeline demi menyerukan sebuah ejekan.
Ekspresi Edeline terlihat tenang, walau wajah lelahnya tidak bisa disembunyikan. “Pasien yang aku alihkan ke unit bedah dan jantung merupakan korban kecelakaan. Hasil rontgen menunjukkan terdapat cedera serius di tulang rusuk yang membuat pasien mengeluh kesakitan.”
“Kau masih bersikeras bertahan? Kau sanggup sendirian di IGD?” Elvis mengejek, pun seringai sinisnya begitu menjengkelkan.
Edeline masih pada pendiriannya. Dia memilih mengabaikan demi tetap waras berhadapan dengan pria penguasa dan penyiksa itu. “Aku sudah melakukan komunikasi lebih dahulu ke unit bedah dan jantung sebelum mengantar pasien ke sana. Mereka mengatakan jika kau sedang berada di ruang operasi. Jadi persetujuan atas pasien itu telah disetujui oleh dokter yang lainnya. Kondisinya sangat urgent.”
“Kau memang keras kepala. Keberanianmu tidak boleh diremehkan.” Elvis masih saja memancing emosi Edeline.
“Dokter Elvis.”
“Ya, Dokter Edeline.”
“Kau sengaja mengosongkan dokter di IGD? Lalu menindasku di sana sendirian agar aku menyerah.” Edeline tanpa ragu menuduh.
“Kau sendiri yang mengatakan tidak takut untuk menjadi sukses. So, aku hanya membantumu menciptakan peluang itu. Aku juga butuh melihat loyalitasmu sebagai dokter magang di sini.”
Elvis benar-benar brengsek! Dia benar-benar sengaja melakukan itu demi mengusik tekad Edeline. Pun secara bersamaan dia meremehkan Edeline yang bersungguh-sungguh.
Mulut Edeline sudah bersiap mengeluarkan kalimat-kalimat pembelaan yang tajam dan pedas. Tetapi, niatnya itu terhalangi oleh pandangan mata yang tiba-tiba kabur. Di saat yang sama, Edeline juga merasakan sesuatu keluar dari lubang hidung sebelah kanan. Dan di momen yang sama pula, Edeline mendengar suara teriakan anak kecil—masuk ke dalam ruangan itu.
Wujudnya tidak begitu jelas, tapi samar-samar Edeline melihat sosok anak kecil yang memiliki rambut panjang cantik. Dia berlari ke arah Elvis. Edeline berusaha menjaga kedua matanya yang semakin ingin tertutup. Karena dari pandangan yang kabur itu, samar-samar Edeline melihat sosok anak kecil itu ditolak oleh Elvis sampai terjatuh.
Hah! Pria brengsek! Pada anak kecil saja dia sangat kasar.
“Hey, jangan kasar pada anak kecil!” suara Edeline tak lagi terdengar karena dia tidak sadarkan diri.
Sekujur tubuh Edeline telah berpeluh keringat yang mengucur. Sementara mata cantiknya telah melebar karena menghadapi situasi mengerikan yang menyiksa sepasang iris matanya.Wajah Edeline memucat. Tubuh rampingnya gemetaran sangat akibat ketakutan yang berlebihan. Bibir mungilnya ikut pula gemetaran—sampai dia kesulitan untuk berbicara.Tepat di depan mata, Edeline begitu tersiksa oleh hal menakutkan sekaligus menjijikkan. Kulit dari jemari-jemari kotor begitu bernafsu ingin menyentuhnya. Edeline berusaha menepis agar tidak tersentuh oleh jemari-jemari menjijikkan itu.“J-jangan ... jangan sentuh aku ...” jerit Edeline yang terbata-bata.“Your body looks stunning, Edeline. Aku ... ah, aku tidak tahan melihatnya.”“Biadab! Jangan ... jangan sentuh aku—”Delusi itu hilang ketika mata Edeline terbuka paksa. Sentuhan yang menjijikkan, ancaman yang menakutkan, serta sosok yang tidak ingin dikenang pun telah menghilang tanpa jejak di depan mata.Hanya saja, senyar-senyar yang mengerikan itu
Ancaman itu sangat menakutkan bagi Shopia. Dia tidak mau tercekik oleh suasana menakutkan sekolah asrama. Selain itu, jika dia dipindahkan ke sekolah asrama, Shopia akan semakin kesulitan menggapai kasih sayang sosok orang tua satu-satunya yang dimiliki. Sebab, Shopia sudah kehilangan sosok ibu kandung sejak terlahir ke dunia.“Aku tidak mau, Daddy.” Shopia menggelengkan kepala sembari berlutut memohon. “Aku berjanji tidak akan mengganggu dan menyusahkan siapapun.”Mulut kejam Elvis sudah bersiap melepaskan ultimatum tegas yang kembali menyayat perasaan Shopia. Beruntungnya situasi itu teralihkan oleh handphone-nya yang berbunyi.Elvis memalingkan pandangan dari Shopia yang mengiba-iba di kakinya. Dia lebih mementingkan untuk menjawab panggilan telepon masuk dibandingkan perasaan darah dagingnya.Sosok ayah buruk itu terlihat serius mendengarkan seseorang yang berbicara dari sambungan telepon. Dan tak lama setelahnya, handphone yang menempel di sisi telinga kiri telah Elvis turunkan.
Taksi yang Edeline tumpangi telah berhenti sempurna di teras depan Omega Hospital. Gadis cantik yang mengenakan outfit casual—sporty itu menyegerakan diri keluar dari taksi itu setelah membayar tarif taksi.Edeline menghela napas kasar. “Tarif taksi dari rumah itu ke rumah sakit cukup mahal! Halte bus juga sedikit jauh! Aku harus cepat-cepat cari tempat tinggal di dekat rumah sakit. Tabunganku bisa habis kalau aku tidak hidup hemat,” keluhnya.Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan tujuan ruangan dokter magang berada. Dokter cantik itu berniat mengganti pakaiannya dengan pakaian medis sebelum tenggelam di IGD.Senyum cantiknya mengembang kaku ketika berpapasan jalan dengan dokter-dokter senior. Sosok mereka begitu menyeramkan direkam benak Edeline. Ekspresi mereka begitu dingin, tidak ada kesan ramah yang membuatnya berani untuk lebih lanjut menyapa.Mungkinkah itu bentuk intimidasi senioritas?Edeline menyadari diri yang belum menyapa secara baik rekan-rekan senior di ru
Mata tajam Elvis mengekori Edeline yang beranjak pergi dari ruangannya. Seolah-olah dia tidak ingin melepas momen kepergian Edeline. Hal itu dikarenakan Edeline membisu setelah diberi syarat paling menyulitkan. Ada ketertarikan tersendiri melihat Edeline tidak keras kepala seperti sebelumnya. Elvis merasa menemukan kelemahan Edeline yang kemarin-kemarin bersikap menyebalkan terhadap dirinya.“Sepertinya akan jadi menyenangkan untuk membalas perbuatannya kemarin,” Elvis bergumam senang seperti anak kecil mendapatkan mainan baru.Pria itu terkekeh lemah setelah Edeline keluar—menutup rapat-rapat pintu ruangan. Suatu hal langkah yang Elvis tunjukkan di wajah tampannya. Sebab, wajah maskulinnya terbiasa dingin tak berperasaan.Namun, Elvis tidak menyadari hal tersebut. Dia mengacuhkan momen langka itu dan memilih untuk mencermati hal-hal penting di iPad—di sisi lain, Elvis menilai pagi itu tidak terlalu buruk—setelah kemarin malam hal-hal menjengkelkan telah merangsek ke jiwanya.Tok ...
Pikiran Edeline sudah seperti benang kusut yang menumpuk dan tidak memiliki celah untuk kembali lurus. Gadis cantik itu masih terus memikirkan hal-hal mengenai Elvis yang mengejutkan. Bahkan, Edeline memutuskan pulang menggunakan bus dan berjalan kaki menuju rumah.Edeline melakukan itu bukan karena tertarik atau ingin mengetahui lebih dalam mengenai Elvis. Melainkan, gadis cantik itu merasa hidupnya tidak akan tenang selama berada di Manchester.Bagaimana tidak? Pada hari pertama menginjakkan kaki di Manchester, Edeline terlibat pertikaian dengan Elvis dikarenakan salah membela seseorang. Yang kini Edeline ketahui adalah tunangan Elvis. Ditambah lagi, pria itu memintanya bertemu di tempat yang sama untuk mengambil id card milik Edeline yang terjatuh di ruangan pria itu.Bagaimana jika nanti ada seseorang yang melihat dan menyalahpahami pertemuan mereka di hotel? Bagaimana jika gadis waktu itu mengetahui pertemuan pribadi Elvis dan Edeline di kamar hotel yang sama?Image Edeline pasti
Keheningan membentang ketika wanita pengasuh itu menimbang-nimbang keputusannya. Dia tampak gelisah, antara ingin menyetujui atau memutuskan yang sebaliknya.“Anda boleh tinggal sedikit lebih lama.” Wanita pengasuh itu bersuara penuh keraguan. “Mungkin ... sekitar satu atau dua jam ke depan akan aman bagi Anda membujuk Nona Shopia.”Bibir Edeline tertarik lembut saat menyimpulkan senyuman cantik—tanda terima kasih. “Aku tidak akan berlama-lama.”Tanpa mengatakan sepatah kata, wanita pengasuh itu berpaling dari kamar itu. Pintu yang dibuka olehnya telah ditutup serapat mungkin tanpa celah guna memberikan ruang pribadi pada Edeline dan Shopia.Sementara itu, Edeline telah memalingkan tatapannya pada Shopia tanpa penundaan. Caranya menatap sama seperti sebelumnya. Ada kehangatan yang turut campur ketika tangan jemari Edeline begitu penuh perhatian merapikan rambut Shopia yang agak berantakan.“Kau mau minum obat sekarang?” suara Edeline mengalun lembut.“Apa Daddy benar-benar akan pulang
Langkah yakin Edeline tiba-tiba saja terhenti di teras depan hotel mewah itu. Senyar keraguan masih betah hinggap di jiwa Edeline, padahal sejak tadi dia sudah berusaha keras menepis dengan tekad bulatnya.Sejujurnya, Edeline memiliki banyak pertimbangan hingga akhirnya memutuskan datang ke sana. Dia sedikit goyah untuk pindah ke asrama rumah sakit dikarenakan terlanjur berjanji akan selalu bertemu Shopia—dengan teman kecil yang baru didapatkan beberapa jam lalu.Selain itu, jiwa Edeline masih terus dihantui trauma masa lalu mengerikan yang luar biasa—yang membuatnya takut untuk bertemu secara intim dengan Elvis. Hati kecilnya membujuk Edeline untuk meminta bantuan Abraham demi mendapatkan kembali id card-nya yang hilang. Tetapi, rasa sungkan pun ikut campur menghasut Edeline untuk tahu diri—tidak lagi menyusahkan Abraham.Itu hanya masalah kecil! Edeline bisa melakukan itu—bertemu dengan Elvis demi mendapatkan id card-nya kembali. Gadis itu menghela napas kasar ketika hati memutuskan
Bantingan pintu menjadi jawaban atas pertanyaan Sarah. Wanita itu benar-benar diabaikan oleh Elvis yang fokus memperhatikan gadis di dalam president suit room itu. Bahkan ketika cengkaraman Sarah semakin mengencang di lengan Elvis—guna menahan, permintaannya itu dibalas menyakitkan.Elvis menepis tangan Sarah tanpa mau menoleh. Pria itu tidak peduli pada Sarah yang mengemis-ngemis dan menangis putus asa saat membujuknya. Perlakuan Elvis itu membuat Sarah terhina. Jiwanya langsung membenci sosok gadis yang menarik perhatian Elvis. Di tengah tubuh yang gemetaran akibat emosi yang meledak itu Sarah menerka-nerka sosok gadis itu.Sarah mengingat dengan jelas jika gadis itu adalah gadis yang menolongnya beberapa malam lalu. Lalu, kenapa dia ada di dalam kamar yang sama dengan Elvis? Apakah dia bekerja sama dengan Elvis untuk mempermalukan dirinya malam itu?“Siapa pelacur itu?” suara Sarah gemetaran kesal bertanya pada Alex yang masih berdiri di sebelahnya.Alex tidak bersuara sebab dia bi