Ancaman itu sangat menakutkan bagi Shopia. Dia tidak mau tercekik oleh suasana menakutkan sekolah asrama. Selain itu, jika dia dipindahkan ke sekolah asrama, Shopia akan semakin kesulitan menggapai kasih sayang sosok orang tua satu-satunya yang dimiliki. Sebab, Shopia sudah kehilangan sosok ibu kandung sejak terlahir ke dunia.
“Aku tidak mau, Daddy.” Shopia menggelengkan kepala sembari berlutut memohon. “Aku berjanji tidak akan mengganggu dan menyusahkan siapapun.”
Mulut kejam Elvis sudah bersiap melepaskan ultimatum tegas yang kembali menyayat perasaan Shopia. Beruntungnya situasi itu teralihkan oleh handphone-nya yang berbunyi.
Elvis memalingkan pandangan dari Shopia yang mengiba-iba di kakinya. Dia lebih mementingkan untuk menjawab panggilan telepon masuk dibandingkan perasaan darah dagingnya.
Sosok ayah buruk itu terlihat serius mendengarkan seseorang yang berbicara dari sambungan telepon. Dan tak lama setelahnya, handphone yang menempel di sisi telinga kiri telah Elvis turunkan.
“Bawa Shopia ke kamarnya dan kunci sampai besok pagi.” Elvis memberikan perintah tak terbantahkan kepada pengasuh.
“Daddy mau pergi lagi?” Shopia berusaha menarik perhatian, menatap iba ayahnya.
“Aku tidak akan pulang. Jadi jangan coba-coba untuk mengeluarkan Shopia dari kamarnya sampai besok pagi,” ucap Elvis kepada pengasuh—yang secara nyata mengacuhkan Shopia. Tampak air mata gadis itu tak henti berlinang mendengar kalimat yang terucap di bibir Elvis.
***
Mobil yang Elvis kemudikan sendirian telah tiba di sebuah hunian mewah bergaya klasik. Pria yang mengenakan kemeja putih itu keluar dengan terburu-buru dari dalam mobil.
Di wajah tampannya yang maskulin terlihat jelas ketegangan nyata. Kaki panjang yang tergesa-gesa melangkah semakin tegas mempercepat ritme pergerakannya. Sampai-sampai, Elvis mengacuhkan seorang pelayan yang menyambutnya di hunian mewah—yang merupakan rumah orangtuanya.
Namun, situasi yang didapatkan sungguh jauh berbeda dari ekpesktasi di pikiran Elvis. Pria itu berdiri mematung ketika kaki menginjak di ruang tamu, sementara pikiran telah kebingungan menafsirkan situasi di depan mata.
Elvis datang karena mendapatkan kabar Eva Dalton—ibu kandungnya tidak sadarkan diri. Rasa cemas yang mengencangkan urat-urat saraf di kepala memaksa Elvis untuk segera tiba di hunian mewah itu.
Kedatangannya disambut oleh kebohongan. Eva yang dicemaskan sedang terduduk di sebuah sofa dalam keadaan sadar dan sehat. Peter yang duduk tidak jauh dari Eva pun tak luput dari lirikan mata Elvis. Hingga akhirnya Elvis menyimpulkan dirinya telah dijebak.
“Apa yang ingin kalian bicarakan sampai berniat sekali membohongiku?” Elvis bersuara tenang sembari duduk di salah satu sofa.
“Kau masih bertanya? Masih berpura-pura tidak tahu?” Peter setengah marah.
Ketegangan di wajah Elvis meredup—bersamaan dengan matanya yang samar-samar menyorot kesal. Dia sangat tahu arah pembicaraan ayahnya. Namun, di dalam hati Elvis sangat enggan menanggapi apalagi menggali lebih dalam.
“Kenapa kalian berbohong? Aku sampai tancap gas mendengar Mommy pingsan,” seru Elvis mengabaikan.
“Kalau aku tidak akan mengatakan itu, kau tidak akan datang. Kau selalu saja menghindar jika kami memintamu datang ke sini,” Peter menginterupsi sikap acuh Elvis. “Di mana akalmu? Sampai kau bisa melakukan itu pada Sarah!”
Mata Elvis menusuk dingin Peter yang memerah marah menatapanya. “Memangnya apa yang dikatakan Tuan Putri manja itu? Sampai kau semarah ini padaku?”
“Ibunya Sarah baru saja datang.” Eva mengambil alih pembicaraan. “Dia mengatakan Sarah mengurung diri di kamar setelah kemarin habis bertemu denganmu.”
Pria itu menghela napas. Suaranya sedikit terdengar karena begitu kasar dilepaskan. Pria itu semakin diselimuti rasa kesal setelah diintrogasi oleh orangtuanya. Rasanya, sesak kesal pasca dibohongi belum memudar. Dan sejujurnya juga, Elvis begitu enggan menanggapi pembahasan yang berkaitan dengan Sarah. Sebab, Sarah merupakan wanita yang dijodohkan dengan Elvis. Pun Sarah juga adalah wanita yang kemarin malam Elvis tolak kedatangannya di hotel.
“Ibunya Sarah mengatakan kemarin malam kau dan Sarah memiliki janji bertemu. Lalu dia pulang dengan keadaan menangis. Apa yang kau lakukan sampai Sarah menangis?” lanjut Eva menekan, menginterogasi putranya.
“Dia memaksa ingin bertemu denganku. Tapi aku menolaknya karena ingin tenang beristirahat! Dia memaksa sekretarisku untuk memberi tahu keberadaanku.”
“Lalu kenapa Sarah sampai menangis?” Peter menyambar cepat setelah Elvis membela diri.
“Aku mengusirnya keluar sampai dia terjatuh.” Elvis menjawab tenang, tanpa sama sekali beban.
“Kau gila, Elvis?” bentakan Peter memekik sakit. “Sarah itu calon tunanganmu! Dia juga bukan wanita sembarangan yang bisa kau perlakukan kurang ajar seperti itu!”
“Sejak awal aku sudah menolak perjodohan ini. Aku tidak pernah menganggap dia sebagai apa pun di hidupku.” Elvis menolak tenang, namun suaranya yang mengalun sinis sangat tegas menyatakan rasa tidak suka. “Dan lagi ... kurang ajar? Menurutku dia lebih kurang ajar karena sudah memaksa masuk lalu dengan murahannya ingin melepaskan pakaiannya di depanku. Harusnya dia bisa bersikap baik karena dia bukan wanita sembarangan,” lanjutnya menyindir.
“Elvis!” Peter membentak marah.
“Dad, aku tidak suka dijodoh-jodohkan seperti ini.” Elvis masih dengan keras kepalanya.
“Tapi kau tidak punya pilihan untuk menolak.” Suara tegas Eva menginterupsi ketegangan yang menguasai. “Sudah lima tahun berlalu dan kau masih belum berkeinginan untuk menikah lagi? Dan kau masih bertahan dengan keputusanmu sendirian membesarkan anakmu?”
Elvis mengerang kesal. “Karena keputusan siapa sampai aku mau membesarkan anak itu?”
Keheningan membentang setelah Elvis sangat emosional mengeluarkan isi pikirannya. Bahkan, seluruh ruangan telah terkontaminasi oleh luapan emosi yang berjolak kencang. Elvis sampai tidak lagi merasa nyaman untuk berlama-lama di ruangan itu.
“Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti dulu. Aku tidak mau diatur apalagi dipaksa oleh kalian. Selain itu, aku sangat kecewa orang tuaku lebih percaya perkataan orang lain dibandingkan anaknya,” Elvis meluapkan kekesalannya tanpa ragu-ragu. “Jangan sampai kalian membuat kesalahan dua kali yang membuat aku bisa memberontak pada kalian.”
Elvis beranjak pergi setelah meluncurkan ultimatum tegas pada ayahnya. Bahkan, dia tidak menyesal telah bersikap tidak sopan pada orangtuanya. Baginya, perasaan dirinya sendiri adalah yang terpenting.
Demi apa pun, Elvis tidak mau melakukan kesalahan dua kali yang menghancurkan hidupnya. Pria itu pernah melakukan kesalahan ketika menuruti permintaan orangtuanya. Dia mau menikah dengan wanita yang dipilih orangtuanya.
Dalam situasi terdesak dan menyesakkan itu, Elvis menikahi wanita yang tidak dicintai. Seujung rambut, bahkan seujung kuku pun tidak ada senyar cinta tersemat di hati Elvis. Hati pria berparas tampan itu hanya diselimuti kebencian yang nyata sampai wanita itu merenggang nyawa. Dan dari hasil pernikahan itu, Elvis memiliki seorang putri yang mewarisi kecantikan mantan istrinya.
Elvis tersiksa. Hatinya semakin mati pada kehangatan. Setiap hari matanya menyorot tajam penuh kebencian kepada sosok gadis kecil itu. Segala bentuk kebencian yang tidak tersalurkan Elvis lampiaskan kepada Shopia.
“Kenapa aku sial sekali?!” Elvis mengeluh, pun tangannya memukul kesal setir kemudi di depan mata.
Di dalam mobilnya itu pikiran Elvis berkecamuk kacau. Pria itu sama sekali tidak berniat pulang ke rumah di mana Shopia berada. Dia juga tidak mau menginap di hotel, karena takut kejadian menyebalkan kemarin akan terulang.
“Lebih baik aku tidur di rumah sakit saja,” putusnya kemudian menjalankan mobil yang sudah dinaiki.
Perjalanannya menuju rumah sakit tidak begitu lama. Pria itu cukup tancap gas menuju rumah sakit akibat pikirannya yang kusut. Ekspresi muram di wajah tampannya belum memudar ketika Elvis memasuki rumah sakit.
Pegawai rumah sakit yang dilalui hanya menyapa Elvis sewajarnya. Mereka sedikit tidak bernyali untuk berlebihan menyapa dikarenakan wajah muram Elvis yang menakutkan. Keputusan mereka sangat tepat, karena ketika tiba di ruangannya pria itu cukup keras membanting pintu.
Elvis mengeluh kesal lewat napas yang dihempas kasar. Pria itu dengan sengaja melepaskan tiga kancing teratas dari kemeja putih yang dipakai—guna memberikan ruang lebih pada dada yang sesak akan kesal.
Tetapi, pikiran Elvis sedikit teralihkan ketika ingin membanting tubuhnya ke sofa. Di pinggiran—bawah sofa itu Elvis melihat sesuatu yang menarik untuk dicari tahu. Tangannya terulur, lalu dengan mudah menggapai benda tipis yang agak keras di bawah sana.
Itu adalah id card milik Edeline—yang tidak sengaja terjatuh tanpa disadari oleh pemiliknya. Yang di mana terdapat foto Edeline sedang tersenyum ramah dan menawan.
Ujung bibir Elvis tertarik dan membentuk seringai licik. “Bagaimana kalau aku buang saja? Gadis bodoh itu pasti menderita besok.”
Taksi yang Edeline tumpangi telah berhenti sempurna di teras depan Omega Hospital. Gadis cantik yang mengenakan outfit casual—sporty itu menyegerakan diri keluar dari taksi itu setelah membayar tarif taksi.Edeline menghela napas kasar. “Tarif taksi dari rumah itu ke rumah sakit cukup mahal! Halte bus juga sedikit jauh! Aku harus cepat-cepat cari tempat tinggal di dekat rumah sakit. Tabunganku bisa habis kalau aku tidak hidup hemat,” keluhnya.Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan tujuan ruangan dokter magang berada. Dokter cantik itu berniat mengganti pakaiannya dengan pakaian medis sebelum tenggelam di IGD.Senyum cantiknya mengembang kaku ketika berpapasan jalan dengan dokter-dokter senior. Sosok mereka begitu menyeramkan direkam benak Edeline. Ekspresi mereka begitu dingin, tidak ada kesan ramah yang membuatnya berani untuk lebih lanjut menyapa.Mungkinkah itu bentuk intimidasi senioritas?Edeline menyadari diri yang belum menyapa secara baik rekan-rekan senior di ru
Mata tajam Elvis mengekori Edeline yang beranjak pergi dari ruangannya. Seolah-olah dia tidak ingin melepas momen kepergian Edeline. Hal itu dikarenakan Edeline membisu setelah diberi syarat paling menyulitkan. Ada ketertarikan tersendiri melihat Edeline tidak keras kepala seperti sebelumnya. Elvis merasa menemukan kelemahan Edeline yang kemarin-kemarin bersikap menyebalkan terhadap dirinya.“Sepertinya akan jadi menyenangkan untuk membalas perbuatannya kemarin,” Elvis bergumam senang seperti anak kecil mendapatkan mainan baru.Pria itu terkekeh lemah setelah Edeline keluar—menutup rapat-rapat pintu ruangan. Suatu hal langkah yang Elvis tunjukkan di wajah tampannya. Sebab, wajah maskulinnya terbiasa dingin tak berperasaan.Namun, Elvis tidak menyadari hal tersebut. Dia mengacuhkan momen langka itu dan memilih untuk mencermati hal-hal penting di iPad—di sisi lain, Elvis menilai pagi itu tidak terlalu buruk—setelah kemarin malam hal-hal menjengkelkan telah merangsek ke jiwanya.Tok ...
Pikiran Edeline sudah seperti benang kusut yang menumpuk dan tidak memiliki celah untuk kembali lurus. Gadis cantik itu masih terus memikirkan hal-hal mengenai Elvis yang mengejutkan. Bahkan, Edeline memutuskan pulang menggunakan bus dan berjalan kaki menuju rumah.Edeline melakukan itu bukan karena tertarik atau ingin mengetahui lebih dalam mengenai Elvis. Melainkan, gadis cantik itu merasa hidupnya tidak akan tenang selama berada di Manchester.Bagaimana tidak? Pada hari pertama menginjakkan kaki di Manchester, Edeline terlibat pertikaian dengan Elvis dikarenakan salah membela seseorang. Yang kini Edeline ketahui adalah tunangan Elvis. Ditambah lagi, pria itu memintanya bertemu di tempat yang sama untuk mengambil id card milik Edeline yang terjatuh di ruangan pria itu.Bagaimana jika nanti ada seseorang yang melihat dan menyalahpahami pertemuan mereka di hotel? Bagaimana jika gadis waktu itu mengetahui pertemuan pribadi Elvis dan Edeline di kamar hotel yang sama?Image Edeline pasti
Keheningan membentang ketika wanita pengasuh itu menimbang-nimbang keputusannya. Dia tampak gelisah, antara ingin menyetujui atau memutuskan yang sebaliknya.“Anda boleh tinggal sedikit lebih lama.” Wanita pengasuh itu bersuara penuh keraguan. “Mungkin ... sekitar satu atau dua jam ke depan akan aman bagi Anda membujuk Nona Shopia.”Bibir Edeline tertarik lembut saat menyimpulkan senyuman cantik—tanda terima kasih. “Aku tidak akan berlama-lama.”Tanpa mengatakan sepatah kata, wanita pengasuh itu berpaling dari kamar itu. Pintu yang dibuka olehnya telah ditutup serapat mungkin tanpa celah guna memberikan ruang pribadi pada Edeline dan Shopia.Sementara itu, Edeline telah memalingkan tatapannya pada Shopia tanpa penundaan. Caranya menatap sama seperti sebelumnya. Ada kehangatan yang turut campur ketika tangan jemari Edeline begitu penuh perhatian merapikan rambut Shopia yang agak berantakan.“Kau mau minum obat sekarang?” suara Edeline mengalun lembut.“Apa Daddy benar-benar akan pulang
Langkah yakin Edeline tiba-tiba saja terhenti di teras depan hotel mewah itu. Senyar keraguan masih betah hinggap di jiwa Edeline, padahal sejak tadi dia sudah berusaha keras menepis dengan tekad bulatnya.Sejujurnya, Edeline memiliki banyak pertimbangan hingga akhirnya memutuskan datang ke sana. Dia sedikit goyah untuk pindah ke asrama rumah sakit dikarenakan terlanjur berjanji akan selalu bertemu Shopia—dengan teman kecil yang baru didapatkan beberapa jam lalu.Selain itu, jiwa Edeline masih terus dihantui trauma masa lalu mengerikan yang luar biasa—yang membuatnya takut untuk bertemu secara intim dengan Elvis. Hati kecilnya membujuk Edeline untuk meminta bantuan Abraham demi mendapatkan kembali id card-nya yang hilang. Tetapi, rasa sungkan pun ikut campur menghasut Edeline untuk tahu diri—tidak lagi menyusahkan Abraham.Itu hanya masalah kecil! Edeline bisa melakukan itu—bertemu dengan Elvis demi mendapatkan id card-nya kembali. Gadis itu menghela napas kasar ketika hati memutuskan
Bantingan pintu menjadi jawaban atas pertanyaan Sarah. Wanita itu benar-benar diabaikan oleh Elvis yang fokus memperhatikan gadis di dalam president suit room itu. Bahkan ketika cengkaraman Sarah semakin mengencang di lengan Elvis—guna menahan, permintaannya itu dibalas menyakitkan.Elvis menepis tangan Sarah tanpa mau menoleh. Pria itu tidak peduli pada Sarah yang mengemis-ngemis dan menangis putus asa saat membujuknya. Perlakuan Elvis itu membuat Sarah terhina. Jiwanya langsung membenci sosok gadis yang menarik perhatian Elvis. Di tengah tubuh yang gemetaran akibat emosi yang meledak itu Sarah menerka-nerka sosok gadis itu.Sarah mengingat dengan jelas jika gadis itu adalah gadis yang menolongnya beberapa malam lalu. Lalu, kenapa dia ada di dalam kamar yang sama dengan Elvis? Apakah dia bekerja sama dengan Elvis untuk mempermalukan dirinya malam itu?“Siapa pelacur itu?” suara Sarah gemetaran kesal bertanya pada Alex yang masih berdiri di sebelahnya.Alex tidak bersuara sebab dia bi
Lirikan mata Edeline tertarik pada Elvis yang meletakkan kompres ke wadah di aras meja. Jiwa gadis cantik itu dibuat penasaran melihat Elvis yang beranjak lalu mengambil dua buku beserta empat pena di atas meja.“A-apa ini?” tanya Edeline bingung ketika Elvis menyerahkan buku dan pena ke hadapannya.“Kau buta? Atau kau memang bodoh? Sehingga kau tidak tau kedua benda ini.” Elvis membalas dengan nada sarkas.Mulut sialan Elvis itu ... argh! Edeline sudah pasti tahu kedua benda itu. Hanya saja, di tengah emosi yang meledak kesal itu Edeline tidak mengerti kenapa Elvis menyodorkan kedua benda itu.“Kau pasti sedang mengumpatku di dalam hati.” Elvis menyindir Edeline yang menatap penuh dendam. “Aku peringatkan padamu, aku bisa menendangmu dari rumah sakitku dan mematikan karir doktermu jika sikapmu tidak menunjukkan bawahan yang tunduk kepada senior ataupun atasannya,” lanjutnya mengancam sembari menjatuhkan kedua benda itu ke pangkuan Edeline.Edeline terkesiap, sementara matanya tak ber
Elvis terbangun seperti biasa, seolah tidak perlu sebuah alarm memanggil jiwanya dari dunia mimpi. Pria tampan itu bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan sekujur tubuh, lalu membalut tubuh gagahnya dengan celana kain beserta kemeja biru langit yang telah disiapkan oleh Alex kemarin malam.Elvis sudah terlihat rapi dan tampan. Handphone yang kemarin diletakkan di meja nakas telah diraih, sementara kaki sudah kembali berjalan menuju pintu. Langkah Elvis terhenti mendadak. Dia teringat pada Edeline yang kemarin malam dihukum.Gadis itu pasti belum menyelesaikan tugasnya! Elvis sangat menyakini pemikiran itu sehingga dengan percaya diri beranjak keluar dari kamar itu. Namun, pemikirannya itu salah. Edeline tidak ada di setiap sudut president suite room itu. Bathrobe yang Edeline gunakan telah berada di dalam keranjang pakaian kotor. Bahkan ketika Elvis memeriksa ke kamar mandi, lantainya masih kering—seperti tidak dipergunakan sama sekali. Hal yang Elvis temukan hanya dua buku—