Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi.
Cepat, cepat, cepat.
"Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...."
Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal.
Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun.
"Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva dengan suara putus asa.
Kepanikannya semakin nyata ketika telepon di meja resepsionis berdering.
Dewi, sang resepsionis, dengan gagang telepon berbaring kaku di antara telinga dan bahunya, melirik pada Eva sambil berbicara, "Iya pak, ini orangnya lagi mau naik. Iya, Iya ...."
Matanya tak lepas dari sosok Eva yang semakin panik, sambil menunjuk telepon, ia bergestur bibir pada perempuan itu, 'Pak Adi'.
Air muka Eva semakin kecut. Ah, lift sial.
Sambil melepas wedges yang membalut kakinya, Eva mengambil ancang-ancang, menerjang ke sisi lain meja resepsionis, menuju tangga darurat.
Eva berlari, bertelanjang kaki.
"Mbak, Mbak Ev—" suara Dewi hilang seiring tangga-tangga mulai ditapaki dengan kilat oleh Eva, dua anak tangga sekaligus.
"—a ... lift-nya nyampe ...." Dewi berkata pasrah, menelan potongan terakhir kalimatnya sambil merelakan kepergian Eva.
**
11.58, angka merah menyala penunjuk waktu itu berkedip seakan menyindir Eva saat pintu studio terbuka.
Eva mengatur napas, berjalan dengan cepat menuju stage siaran sambil menenteng sepatunya, menghampiri satu set meja dengan sepasang kursi dan latar backdrop buatan, lengkap dengan layar raksasa di sampingnya, dihadapi kamera canggih dan disinari cahaya lampu studio. Seorang pria sudah stand by menduduki salah satu kursi.
"Yak! Akhirnya superstar kita tiba juga. Siap-siap live, semuanya!"
Satu potong kata itu keluar dari mulut Pak Adi, atasan Eva, sang ketua divisi Broadcast sekaligus Supervisor yang melipat tangan di depan dadanya seraya berdiri disamping meja operator.
Sementara di samping Pak Adi, tengah berdiri Saras, News Director yang sedang menggenggam gulungan naskah berita sambil menggelengkan kepala, tanda kecewa karena Eva pasti tidak sempat membaca ringkas bahan berita yang akan disiarkan siang ini.
Eva memasang muka tebal dan mendudukkan diri di kursi stage, menandakan seluruh tim di ruangan ini bersiap untuk mengudara.
"Hai, Va," bisik pria berjas yang duduk rapi di kursi sampingnya.
"Hai juga, No," balas Eva sambil berbisik ke arah Reno, seorang co-anchor sekaligus partnernya untuk siang ini.
Sementara Eva sibuk menyematkan mikrofon kecil di kerah blazer-nya, layar lain di depan mereka menunjukkan angka yang berkedip, berhitung mundur.
… 8 ... 7 ... 6 ... 5 ... 4 ....
Eva menarik napas.
3 ... 2 ... 1 ….
"Selamat siang, selamat datang di Flash Headline bersama saya, Eva Sania …."
"Dan saya, Reno Sebastian, yang akan menemani siang anda selama 30 menit kedepan dengan kabar berita terkini."
Eva mengangguk ke arah kamera sebelum melanjutkan, "Yak, langsung saja untuk berita pertama siang ini, berasal dari kota ...."
Berkedip memandangi layar monitor dengan tulisan berjalan, Eva membacakan teks dengan lancar, suaranya berbekal aturan nafas diafragma dan artikulasi yang bulat, membuat kalimat yang keluar dari mulut Eva menjadi padu dan terhantar jelas ke dalam mikrofon.
30 menit terlewati dengan cepat bagi Eva, sama seperti potongan 30 menit di siang-siang lainnya selama 3 tahun terakhir.
Setelah salam penutupan dan kamera yang beringsut menjauh, potongan gambar di layar kaca mulai beralih menampilkan iklan. Eva mengembuskan napas lega.
PLOK—
Setumpuk naskah yang digulung panjang mendarat dengan mantap di puncak kepala Eva. Pak Adi rupanya baru saja merebut naskah tersebut dari tangan Saras. Dua penguasa divisi Broadcast itu memandang Eva dengan tatapan berkilat, khususnya Pak Adi yang tak berkedip di balik kacamatanya, membuat Eva kicep seketika.
"Ampun Pak …," bisik Eva sambil menyuguhkan senyuman lemah, sementara Reno--partner siarannya--menahan tawa melihat kejadian ini.
"Macet? Ditilang?" Suara Pak Adi bernada tajam, setajam lirikan matanya.
"Ehm ... mobil saya keserempet pak—"
—PLOK.
Naskah itu mendarat dengan lebih sadis, kali ini sukses membuat Eva meringis.
"Aduh, Pak, nanti saya migraine nih," keluh Eva sambil mengusap pucuk kepalanya.
"Ojol? Becak?" Pak Adi masih bertanya singkat.
Eva sempat bingung dengan pertanyaan itu, namun segera ngeh kalau yang ia maksud adalah insiden serempet-merepet mobilnya itu.
"Trotoar pak, di u-turn deket halte Cempaka."
Eva refleks segera melindungi kepalanya dengan dua tangan ketika melihat gulungan naskah itu kembali terangkat, namun Pak Adi ternyata mengembalikan naskah itu pada Saras.
“Nggak papa tapi kan kamu, Mbak Eva?” Saras sedikit berempati akan kejadian apes yang menimpa Head Anchor mereka itu--Eva, penyiar nomor satu di divisi mereka.
“Aman kok, Ras,” jawab Eva dengan pandangan berterima kasih. Setidaknya, di kantor ini ada satu manusia yang simpati padanya.
"Ya sudah. Sebagai hukuman, kamu ikut meeting sebagai delegasi divisi news-broadcast, jam satu nanti." Pak Adi mengumandangkan satu keputusan yang membuat Eva tergagap.
Dialihkannya pandangan Eva pada Saras, berharap wakil ketua divisinya itu akan membelanya (lagi). Namun kali ini, Saras tampak mengangguki kalimat Pak Adi.
Tampaknya, Duo maut ketua dan waketu divisi Broadcast itu setuju untuk menghukum Eva.
"Yah pak, kan chief-nya bapak ...." Eva Sania berusaha mengelak.
"Alah, kamu wakili saya saja, saya mau makan siang,” ucap Pak Adi.
“Ras ...?” Lagi-lagi, Eva memandang Saras.
“Aduh, maaf Mbak, saya nggak bisa. Saya juga ada janji lunch sama Benjamin.” Saras menyebut nama kekasihnya.
Eva kembali mengalihkan pandangan ke Pak Adi.
"Tapi pak ...." Kalimat Eva menguap sebab Pak Adi keburu balik badan dan melenggang santai, meninggalkan perempuan pesakitan yang berdiri kaku sambil memanyunkan bibir.
Eva pasrah, lalu berbalik dan mendapati Reno yang nyengir kuda.
"No ...." Eva memanggil namanya partnernya itu dengan nada putus asa.
"Kaga." Jawaban mentah itu Reno muntahkan dengan pedas. Eva mendesis geram.
"Dih, kan gue belom bilang apa-apa,” decak Eva kesal.
"Lo mau minta gue yang dateng meeting, ‘kan?" Bingo. Reno seperti bisa membaca pikiran Eva.
"Hehe ...." Eva menyuguhkan tawa bertabur senyum semanis gula.
"Nope." Reno menggeleng.
Sial. Ditolak dua kali dalam satu percakapan.
"Ih plis lah, No, lu kan lebih teladan dari gue ...." Nada putus asa kembali Eva layangkan.
"Still no, gue mau lunch date ama Dewi." Dan jawaban kekeh Reno masih tak terpatahkan.
Eva memutar mata lalu mengerang, "Gue sumpahin lu keselek, ya!"
Reno terkekeh sambil berbalik badan, siap jalan menuju kencan-makan-siang impiannya itu, diiringi tatapan Eva yang membara.
Dengan hengkangnya Reno, tinggallah Eva sendiri. Sebagian besar kru di studio Broadcast ini telah membubarkan diri. Tepat beberapa detik setelah mematung, suara 'kruyuk~' yang renyah terdengar, berasal dari perut Eva, menggema di ruangan ini.
‘Ah, meeting sial. Makan siang sial!’ maki perempuan itu dalam hati.
‘Kenapa semua orang berhak untuk makan siang kecuali gue? Makan ‘kan hak asasi manusia, esensial untuk bertahan hidup.’ Kembali Eva menggerutu sambil mengenakan sepatu wedges yang sedari tadi tergeletak di bawah meja siaran.
Perempuan itu perlahan memutar otak, mencari taktik untuk tidak mati kelaparan di belantara ibu kota ini.
Eva melirik pergelangan tangannya yang dibalut arloji mungil, menunjukkan pukul 12.46.
Kalau ke kantin untuk makan siang, sepertinya tidak sempat. Dan kalau aku nekat buru-buru, bisa-bisa doa keselek Reno yang ia rapal tadi akan berbalik menyerangnya.
Buat kopi di pantry kantor? Ah, kalau minum kopi pas perut kosong begini, bisa-bisa asam lambungnya melunjak-lunjak.
Pesan makanan online? Impossible lah, masa nerima pesanan pas lagi meeting.
Hm ... apa nanti pas meeting ada konsumsi, yah? Atau setelahnya? Eh, tapi gimana kalo nggak?! Terus perutnya keruyukan di tengah meeting? No!
Tangan Eva memutar gagang pintu keluar ruangan studio ketika mendadak Eva ingat kalau dirinya tidak membawa tas.
‘Pasti tas gue ada di mobil! Dan kalo nggak salah, di dalam tas itu, gue ada sisa stok snack kedelai padat Joysoy, cokelat Silver King, sama camilan random lain!’ pikir Eva dengan sumringah. Tak salah dia hobi hoarding makanan ringan.
‘Masih sempat,’ batin Eva dengan senyum berkembang. Perempuan itu pun berjalan mantap meninggalkan ruangan studio.
**
Lahan parkir disirami sengatan cahaya tengah hari Jakata sepanas padang sahara.
Eva buru-buru merogoh kunci di dalam saku blazernya ketika pandangan perempuan itu menangkap mobil yang sangat familiar, si putih mungil Juke, yang dengan sabar menunggu di tengah parkiran.
‘Aha! Tas tangan gemas gue!’ pekik Eva girang mendapati keberadaan Hermes Crossbody berwarna kecoklatan disemati logo H emas yang manis, dengan badan kotak praktis dan tali tipis menggelayut manja, sangat lucu dan sangat mahal walaupun dulu Eva membelinya dalam keadaan preloved alias bekas, masih duduk manis di kursi depan mobil seakan menunggu aku menjemputnya.
Setelah membuka pintu mobil, Eva meraih tas kesayangannya itu.
Benar saja. Di dalam tas mungil itu, terdapat ponsel, dompet lipat, dan tujuan utama Eva: snack bar Joysoy rasa raisin almond, sebatang kecil cokelat Silver King yang sudah meleleh, dua batang lolipop, dan sebuah ... kondom, yang buru-buru Eva jejalkan dalam-dalam ke dasar tas.
Sambil membuka bungkusan snack berwarna ungu, Eva menutup pintu mobil dan berjalan beberapa langkah, sampai tiba-tiba perempuan itu melihat guratan di sisi kanan mobil ini, tepat di bagian tengah pintu belakang.
Langkah kaki Eva terhenti sebentar, mengingat singkat bagaimana ia bisa melukai mobil mungil kesayangannya ini ....
**
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
"Dah?" Ika menepuk-nepuk pundak sahabatnya pelan. Eva mengangguk sebagai jawaban. Setelah kembali duduk di hadapan Eva, Ika menggelengkan kepala takjub. "Bisa-bisanya lu keselek pas panic attack." Eva menatapnya sambil tersenyum simpul, mengedikkan bahu. Setelah menghela beberapa napas, Eva kembali mengambil potongan pizza terkutuk itu, berniat menghabisinya. Ika memandangi Eva yang mengunyah dengan lebih hati-hati. Tatapannya dalam, membuat kunyahan sahabatnya itu memelan sampai berhenti sepenuhnya. "Apaan?" tanya Eva dengan mulut penuh. "Lu
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Hidup pada era milenium kedua dari tahun masehi, kamu akan terbiasa dengan segala sesuatu yang serba cepat dan instan. Begitu juga dengan romansa. Speed dating. Pernah dengar istilah itu? Salah satu sarana untuk menemukan belahan jiwa secara efisien dan hemat waktu adalah Timber, aplikasi dimana kamu bisa bertemu orang-orang yang menarik minatmu dalam sekali swipe. Dari puluhan kandidat yang lolos seleksi, hanya hitungan jari jumlah lelaki yang rela Eva temui di dunia nyata dari app ini—salah satunya adalah Nathan. Yonathan C
Menurutmu, apa yang akan terjadi jika sepasang lelaki dan perempuan dewasa yang jelas-jelas menguarkan vibrasi ketertarikan antar satu sama lain, diberi kesempatan untuk berduaan dalam satu kamar motel? Yap. Itulah yang terjadi antara Eva dan Nathan. They made love. Itu bukanlah pengalaman pertama bagi Eva, dan bukan juga yang terakhir. Namun dari cara Nathan membawa tubuhnya, tampak sekali kalau ini juga bukan kali pertama bagi lelaki itu. Untungnya, Eva tak ambil pusing atas status keperjakaan laki-laki ini, sebab yang jelas Eva rasakan adalah bersyukur karena telah melakukan treatment brazilian wax
Hari ini hari Minggu, hari di mana orang-orang seharusnya beristirahat dengan santai. Namun Minggu ini berbeda untuk Eva Sania, yang pada jam 9 pagi ini sudah berada satu mobil dengan Ika, berkendara selama satu jam terakhir menembus tengah-tengah kota Bogor. Hari ini Eva ada janji dengan balita berusia 3 tahun yang kemarin ia rebut coklatnya. Sebersit perasaan lega sempat mendarat di hati Eva setelah kemarin melepas beban di rumah Ika—Eva memutuskan untuk menginap disana sore itu. Kebetulan Yogi, suami dari Ika, sedang work trip di Garut. Ika kesepian, katanya. Tak berapa lama, lega itu harus cepat-cepat pergi ketika mobil melaju memasuki jalan utama gerbang perumahan