Mereka berempat menunggu beberapa waktu lamanya, Kenanga bergerak cepat terlebih dahulu hingga membuat jantung para pemuda pesisir itu nyaris copot. Gadis itu kembali dengan satu buah senapan panjang. Matanya sedikit memerah terkena sisa-sisa asap yang belum mereda. “Ayo, kita pergi dari sini. Aku khawatir marsose lain akan menemukan kita,” perintah Alif sambil menerima senapan dari Kenanga. Sang pangeran risau luar biasa, gadis itu baru saja sembuh dari demamnya dan sudah terkena racun lagi. *** Wakil Daalen yang diperintahkan untuk membunuh sisa-sisa gerilyawan yang masih berjuang tiba di tepi sungai. Ia bersama puluhan serdadunya menemukan bawahannya mati terbujur kaku begitu saja tanpa sebab yang jelas. “Cari terus di sekitar hutan ini. Aku yakin ini bukan perbuatan binatang berbisa.” Sersan itu mengobrak-abrik tumpukan daun yang telah mengering. Ada sedikit bau yang membuatnya sesak napas. Serdadu yang berjumlah puluhan nyaris ratusan mulai bergerak, mereka menyiagakan masin
Adrian Van Mook---lelaki dengan satu pangkat lebih rendah daripada Daalen, berdiri di hadapan dua laki-laki dan satu orang perempuan yang membawa senjata masing-masing di tangannya. Lelaki dengan bekas luka di pipi kanannnya membuka peti kecil yang berisikan lembaran gulden dan beberapa keping emas hasil jarahan dari Kerajaan Pesisir Aceh. Ia membuka sebuah gulungan kertas yang bergambarkan wajah keturunan raja terakhir yang masih hidup dan berkeliaran. “Bawa kepala lelaki keturunan bangsawan ini ke hadapanku. Setelah itu berlembar-lembar gulden dan puluhan keping emas akan menjadi milik kalian.” Adrian mengembuskan asap cerutunya. “Namanya Teuku Alif Muda, lelaki yang merusak wajahku.” Tiga orang pembunuh bayaran itu pergi setelah menerima uang panjar dari Adrian. Mereka melacak jejak demi jejak yang ditinggalkan Alif berserta gerilyawan yang ia pimpin. Salah satu dari pembunuh bayaran itu adalah seorang wanita yang kerap memikat lawan dengan pesonanya. Tiga orang itu kini telah b
“Kau berurusan dengan yang gaib, bukan? Pusaran angin tadi, apa kau yang memanggilnya?” Alif menahan tangan Kenanga yang berusaha menghindari pembicaraan. Enggan berdebat, gadis itu mengempas genggaman di tangannya dan berusaha lari. Namun, terlebih dahulu bahunya ditahan oleh Alif. “Kau tak boleh pergi sampai semuanya jelas!” Sang pangeran mendesak.Kenanga mendorong Alif, tetapi lelaki itu bergeming. Ia tahu gadis bisu itu pasti tak akan memberi penjelasan sedikit pun. Tabib muda itu mengepalkan tangannya, ia mengarahkan tepat ke dada Alif, tetapi terlebih dahulu berhasil diempaskan oleh sang pangeran. “Aku tak mau mencari keributan denganmu. Aku hanya minta kau menjelaskan semuanya. Mengapa kau tak terluka saat tertembak? Mengapa selama kita berjalan bersama kau juga tak pernah terluka walau hanya sedikit?” tanya Alif sekali lagi.Gadis itu tahu apa yang ingin Alif cari tahu darinya. Hanya saja ia sedang tak ingin membahas perihal perjanjian gaibnya dengan Datok Panglima. Namun,
“Kaphe Ulanda. Cuih! Sampai mati pun aku tak akan pernah mengakui kemenangan kalian.” Snouck Hurgronje mengembuskan asap cerutunya ketika mengingat makian dari Cut Nyak Dien yang ditujukan padanya. Wanita pejuang sekaligus ulama itu telah ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Lelaki itu lanjut menorehkan dawatnya, memanipulasi banyak catatan sejarah Islam di bumi nusantara. Pintu ruang kerjanya diketuk ketika ia menyalin catatan dua ulama penting yang sangat disegani. Gegas lelaki yang mendapat kepercayaan besar dari Pemerintah Hindia Belanda itu berdiri dan membuka pintu. Dua orang yang ia perintah telah hadir, Van Daalen dan Ivan. “Bagaimana perkembangan genosida warga Gayo Alas?” Tanpa berbasa basi Snouck lansung membuka perbincangan. Ia mempersilakan dua bawahannya duduk dan menuangkan sendiri minuman beraroma pekat ke gelas kristal mewah. “Aku sudah banyak membunuh warga Gayo. Lucu sekali melihat mereka berjuang hanya dengan pisau, pedang, dan tombak, terlalu sombong dan akh
Siang ba’da dzuhur, Liam mengajak Cempaka untuk berkeliling dengan kereta tentu dengan pengawalan beberapa marsose bersenjata lengkap. Lelaki berkebangsaan Inggris itu menunjukkan rute perjalanan yang akan mereka tempuh ke pelabuhan. Ketatnya penjagaan di rumah Daalen membuat dua orang itu akan pergi dengan waktu yang berbeda.“Supaya tak menimbulkan kecurigaan, aku akan pergi sore hari setelah menyelesaikan tugasku di rumah sakit. Kau bisa pergi pada malam hari saat pertukaran penjaga. Manfaatkan kekosongan waktu selama setengah jam. Kau gadis pemberani dan pintar, aku yakin kau bisa,” bisik Liam perlahan agar tak didengar para penjaga. “Baik, demi kebebasanku, aku bisa lakukan apa saja.” Senyum palsu terkembang dari bibir Cempaka. Ia memberi seikat dusta pada William agar bisa keluar dari rumah Daalen. Dua hari lagi lelaki itu akan sampai di rumahnya. “Jalan belok ke kiri menuju pelabuhan, ke kanan menuju wilayah perbukitan. Kau bisa menunggang kuda, bukan?” “Bisa,” jawab Cempaka
“Susah payah aku membunuh ribuan orang demi mendapatkan semua harta ini. Sekarang semuanya hangus jadi abu!” Terpaku Daalen di tempatnya berdiri melihat tragedi yang dibuat oleh Cempaka. Lelaki berkumis tebal itu menyuruh para marsose yang bertanggung jawab tadi malam untuk berbaris. Mereka ditanyai satu per satu termasuk juga para babu yang berhasil menyelamatkan diri dari kobaran api. Salah satu babu berhasil memergoki Cempaka berjalan mengendap-endap memasuki ruang kerjanya dengan pakaian hitam, tetapi ia tak berani menegur karena takut mati di tangan gadis yang bergerak sangat cepat dan tenang itu. Daalen murka, semua kebanggaannya dalam istana itu musnah hanya karena kehadiran seorang wanita. Ia tak pernah berpikir jika gadis Gayo yang ia culik akan melakukan perlawanan, sebab dia hanya seorang diri.“Kau dipermalukan oleh sekuntum bunga, Meneer?” ejek Adrian yang baru sampai di rumah Daalen. “Soldaten!” panggil Daalen, “buat lukisan gadis itu, masukkan dalam daftar buronan
Kenanga menelisik penampilan wanita yang terluka di hadapannya. Wanita itu memiliki beberapa luka bekas di pipinya, meski samar gadis bisu itu tahu itu bekas goresan senjata tajam. Wanita berbaju merah tersebut terus menerus mengaduh, bahkan kini menggenggam jemari Alif walau pemuda itu terlihat enggan. Sang tabib menggulung kain bajunya, mencoba memeriksa tangan wanita itu, ia mencari asal bau racun itu. Namun, gadis bisu tersebut menemukan satu tanda di kulitnya, sebuah huruf yang tak ia kenali dengan lambang tengkorak di atasnya.“Cepatlah, Ken. Kau tak lihat darahnya terus mengucur?” perintah Alif padanya. Gadis bisu itu beranjak, ia tak menjawab dengan bahasa isyarat sama sekali. Kenanga menarik tangan Akbar agak menjauh dari tempat wanita tersebut terluka. Ia mengambil ranting kayu dan menuliskan beberapa pesan dengan huruf Arab Melayu di tanah. “Hati-hati, sepertinya dia bukan orang biasa.” Kenanga kemudian terus berjalan tanpa tahu ke mana arah yang akan ia tuju. Akbar me
Satu batang jarum beracun menancap tepat di leher Mantili. Wanita itu terdiam, ia meraba bagian tubuhnya yang terasa perih sampai ke mata, tangannya mencabut jarum beracun yang melukai dirinya sendiri. Alif melihat ke arah Kenanga terus berlari, ia mengabaikan lawannya yang sekarang duduk bersimpuh di tanah. Pembunuh bayaran itu meraba pinggangnya, membuka batang bambu lain berusaha meminum penangkal dari jarum beracun tersebut. Gemetar tangannya memegang benda hijau itu, Mantili tak mau mati terlalu cepat, ia masih ingin menagih janji Adrian yang akan menjadikannya salah satu nyonya di dalam istananya. Batang bambu itu ia arahkan ke mulutnya dengan tangan gemetar. Namun, penawar itu tumpah dan sesaat kemudian tubuhnya roboh, terbaring di tanah. Perlahan-lahan bibirnya membiru dan kantong matanya berubah warna menjadi hitam pekat, ia mati dengan mata tak terpejam. ***Alif membantu Ridwan yang terlihat kesusahan melumpuhkan lawannya. Lelaki ulebalang itu mengambil pisau Mantili yan