“Kenapa Mama tinggalin Shasha? Shasha takut, Mah!” jeritnya sambil memeluk kakiku. Aku menjadi serba salah disini, bagaimana bisa anak sekecil itu memintaku menjadi ibunya? Aku menggendong Shasha dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aku harus memberikan pemahaman mengenai statusku kepadanya.Kutaruh anak kecil itu pada sofa ruang keluargaku dan aku duduk disampingnya, sedangkan Yuli duduk agak menjauh, “Shasha …,” ucapku perlahan.“Ya, Ma?”“Mama Alea mau bicara hal yang serius sama Shasha, karena Shasha sudah besar, betul?”“Iya, Ma. Kata papa, tahun depan Alea sudah bisa masuk sekolah TK,” jawabnya.“Bagus. Artinya Shasha sudah semakin besar dan mama Alea mau berbicara untuk anak yang sudah besar ini.”“Mama mau bicara apa?” tanya Shasha dengan raut muka yang serius.“Shasha ada di dunia ini, karena ada papa, ada mama. Kalau papa dan mama gak ada, maka Shasha juga gak akan lahir ….” Aku memperhatikan rau
“Apa? Erika pindah kemari? Hah! Jangan mimpi mas! Biar Erika pindah ke tempat ibumu saja! Jadi mas gak perlu repot-repot masak. Biar ibu yang masakin buat kalian berdua!” Aku geram seenaknya saja menyuruh pindah. Dulu aku mengikuti mas Farhan karena niatnya ingin kita bisa menabung. Ternyata, mas Farhan malah menabung benih di perutnya Erika dan sekarang dengan seenaknya saja ingin menumpang tinggal di rumahku.“Loh, Dek? Rumah ini juga kan mas yang bakal bayar kontrakannya. Lagi pula, kalau kalian tinggal dalam satu rumah, itu bisa mengirit ongkos mas juga loh.” Mas Farhan berdiri dan melihat sekeliling. “Nah kamar kamu kan disana, gak apa-apa, nanti kamar Erika sebelah sini. Nanti tiap hari Senin sampai Kamis, mas tidur di kamar kamu, Jumat sampai Minggu tidur di kamar Erika. Adil bukan?” ucap mas Farhan seolah-olah seperti sebuah solusi buatnya.“Enak saja. Mas Farhan memang bayar kontrakannya tapi hanya separo, kan? Aku hanya dikasih jatah hidup sebul
Aku membahas program yang menjadi ideku ini dengan Evan. Aku membuat daftar menu yang dimulai dari menu pembuka, menu utama dan menu penutup. Masing-masing aku buat 3 pilihan. Sedangkan Evan mendesain promo yang akan dipakai di semua media iklan, baik di media sosial, maupun di luar media sosial, seperti banner, flyer, dll.Sampai sore, pekerjaan selesai. Mulai besok, promo akan diujicobakan untuk acara Jumat Sabtu dan Minggu. Evan menunjuk salah satu tim untuk menjadi admin booking, Amanda, gadis magang yang ditarik oleh Evan karena diantara semuanya, Amanda ini gadis yang sudah mengerti konsep dari Restoran Homy Private Dining. Ditambah, karena aku tidak selalu berada di restoran, jadi Evan meminta bantuannya.“Baik mbak! Besok Amanda juga mulai share promo-promo secara online biar banyak yang lihat,” ucapnya semangat.“Oke! Sekarang mbak pulang dulu ya!” Aku harus membeli beberapa perlengkapan dapur yang pecah karena dilempar mas Farhan.
“Ting tong! Ting tong!” Bel rumah kembali berbunyi.“Oh Tuhan, mau apa lelaki itu?” Aku tidak mampu menggerakkan tubuhku. Rasanya seperti terikat. Hingga akhirnya suara ponselku berbunyi dengan nyaring. Aku terbangun dari tidurku dan mengambil ponsel disamping.“Ha … halo?”“Alea! Kenapa pintu gak dibukakan? Kita nungguin dari tadi nih!”“Kak Leo?”“Ya iyalah! Siapa lagi! Cepat bukain!”Kulihat jam ternyata sudah jam 5 subuh. Aku tertidur dan terbawa mimpi buruk, sampai-sampai aku keringat dingin dan terasa sangat haus. Aku mengambil mantel tidur, lalu keluar untuk membukakan pintu untuk kak Leo dan pak Daman.“Kamu tidurnya ngebo yah?” sindir kak Leo ketika pintu dibukakan.“Assalamualaikum,” sapa pak Daman.“Kakak nih! Waalaikum salam pak Daman!” Rasa takutku semalam langsung hilang ketika mereka berdua ada di rumah ini.“Aku gak tahu kak Leo datang subuh.”“Ibu yang nyuruh kaka
“Apa yang kalian inginkan?” tanyaku acuh untuk tetap bersikap profesional. Memegang notes dan mulai mencatat.“Kulihat restoran ini penuh dan ternyata untuk masuk sini saja harus booking dulu. Beruntung aku dan mas Farhan lihat spanduk dan mencoba untuk mencicipi makanan disini. Aku ingin tahu, apa rekomendasi makanan untukku dan suamiku ini,” tanya Erika sambil melihat menu yang cuma ada selembar.“Kami menyediakan makanan dari menu pembuka, menu utama dan menu dessert. Menu pembuka bisa kalian pilih, soup atau salad. Sedangkan di menu utama steak dengan berbagai saus. Sedangkan dessert kami sediakan puding, creme brulee dan waffle ice cream.” Aku yang membuat menu, tentu saja aku tahu dan bisa menjelaskan pada makhluk yang sedang duduk dengan sombongnya di hadapanku ini.“Sayang, kamu mau makan apa?” tanya Erika pada mas Farhan dengan manjanya. Sedangkan mas Farhan sedari tadi hanya menatapku. Entahlah apa yang sedang dipikirkann
“Jadi maksud ibu, pelayan kami yang ceroboh hingga harus dipecat?” tanya Evan kepada Erika.“Tentu saja! Bukankah kalau ada yang merugikan harus segera disingkirkan?” Erika balik bertanya.“Maksud kamu apa? Apa perlu kita buka CCTV disini?” tanyaku langsung kepada Erika. Pertanyaanku membuat Erika tertawa.“Hahaha, lihat, pelayanmu ini! Bahkan tidak ada sopan santunnya kepada pelanggan. Kenapa sih tidak dipecat saja? tanya Erika ngotot.“Tentu saja saya tidak bisa memecatnya,” ucap Evan.“Kenapa? Emangnya dia yang punya restoran ini?” ejek Erika.“Tentu saja!” jawab Evan kemudian melipat tangan di depan dadanya.“Cih! Mana ada tukang cuci piring pemilik restoran ini?” Kembali Erika menyerang.“Kata siapa mbak Alea ini tukang cuci piring? Dia penanggung jawab dan pemilik restoran ini!” jawab Evan dengan tegas.Seketika itu pula, para pengunjung mulai berbisik-bisik, ada yang mulai merekam kejadian ini de
“Dek, mas minta maaf, mas janji gak akan ngeluarin kata-kata yang gak pantas,” mohon mas Farhan.“Untuk apa mas minta maaf? Apa karena aku pemilik restoran ini, jadi mas Farhan berubah menjadi baik? Maaf mas Farhan, hubungan kita sudah berakhir sejak mas Farhan sendiri berkata cerai, aku hanya bisa berkata, ‘alhamdulilah’,” ucapku meninggalkan mas Farhan. Pak Daman pun sudah melihat ke arahku untuk mengantarkan aku pulang kembali ke rumah.“Dek, Dek!! Mas minta maaf, Dek!” teriak mas Farhan sambil menangis mengejar mobilku.“Itu gak apa-apa dibiarkan, Non?” tanya pak Daman.“Dia sudah mantan pak. Ingin balikan karena tahu saya yang punya restoran ini. Kalau saya hanya cuma tukang cuci piring, dia dan keluarganya menginjak-injak saya, pak. Makanya biarkan saja dia seperti itu,” ucapku acuh.“Oh, gitu ceritanya.” Pak Daman tidak lagi berani bertanya apapun, mungkin terlalu sensitif untuk dibicarakan. Berbeda jika dia adalah bagian dari
“Kak! Aku masih dalam proses perceraian, kakak malah jodoh-jodohin! Hatiku saja sedang galau tidak menentu.”“Kamu benar, urus dulu saja perceraian kamu dengan si Farhan itu. Setidaknya buat dirimu sendiri bahagia.”“Yah benar, hatiku sendiri harus bahagia. Baru bisa membuka hatiku untuk orang lain,” keluhku.“Hahaha, Alea, ingat ketika kamu sedang bermasalah, jangan selesaikan dengan caramu sendiri, Kamu tidak akan kuat, tapi, serahkan seluruh masalahmu kepada Tuhan, maka pada saat kamu sujud, kamu diberikan ketenangan, jalan pikiran yang tadinya buntu pasti akan menemukan jalannya.” “Bener yang kamu bilang kak! Aku bodoh sekali, aku terus-terusan bersedih. Karena aku pikir bisa melegakan aku, tapi malah justru ingin berdiam diri terus dan gak mau ngapa-ngapain.”“Bersedih boleh, tapi harus melihat masa depan. Yuk bangkit! Oh yah, mengenai orang yang menguntitmu setiap hari, aku sudah mendapatkan orang
Aku duduk merenung di dalam ruanganku sendiri. Bagaimana bisa Erika bersama dengan si Joko? Apa yang terjadi dengan mas Farhan? Kenapa sampai Erika mengancam untuk tidak memberitahukan kepada mas Farhan? Apakah itu artinya Erika ada main dengan si Joko? Lalu bagaimana nasib dengan Ratih? Ah… semakin dipikir membuatku semakin penasaran, tapi aku tidak ingin terlibat langsung dalam urusan rumah tangga mereka. Bukankah aku harus fokus dengan kehamilanku? Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Rasanya menyakitkan jika aku harus mengalami keguguran lagi karena terlibat urusan dengan keluarga mas Farhan. “Ya! Masa bodoh dengan keluarga orang lain! Masih banyak hal yang aku harus pikirkan!” Aku mensugesti diri sendiri untuk tidak lagi terlibat dalam urusan orang lain. *** Beberapa hari berlalu, dan pikiranku tentang Erika serta si Joko perlahan mulai terkubur oleh kesibukan sehari-hari. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku di re
Aku berdiri kaku, menatap Erika yang jelas sama terkejutnya denganku. Namun, tatapan Erika tetap dingin seperti biasanya. Wanita itu berdiri dengan perut besarnya, tetap angkuh seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. Tapi yang membuatku jauh lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sampingnya. Joko Supriono. Pria yang selama ini ingin aku hindari... mimpi buruk di masa laluku. Mas Calvin melangkah setengah langkah ke depan, berdiri di depanku seolah menjadi pelindung. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, apalagi saat si Joko menyunggingkan senyum licik yang sangat aku kenal. "Alea... lama tidak bertemu." Suaranya membuat bulu kudukku meremang. Aku menguatkan diri, menatap tajam tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut. "Kamu... kenapa ada di sini?" suaraku terdengar bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar. Joko melirik Erika dengan senyum samar. "Aku
"Mas, Evan minta kita bantu buat nyiapin lamarannya, kamu ada ide?" tanyaku sambil melirik mas Calvin yang fokus menyetir.Suamiku menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis."Evan minta bantuan kamu... atau kita?" godanya.Aku mendengus pelan, melipat tangan di dada pura-pura kesal."Ya jelas kita lah, Mas! Masa aku sendiri? Kamu kan jago soal beginian."Mas Calvin terkekeh, tapi aku tahu dia memang senang jika dilibatkan."Hmm..." gumamnya sambil mengetuk-ngetuk setir, seolah berpikir."Kita bisa buat acara kecil di restoran kamu. Gak usah mewah, yang penting intimate dan berkesan."Mataku langsung berbinar, ide itu terdengar sempurna."Kayaknya Nadine tipe yang gak suka hal-hal berlebihan, ya?"Mas Calvin mengangguk kecil."Iya... dan Evan pasti pengen suasana yang sederhana tapi bermakna."Aku tersenyum, membayangkan wajah Evan yang pasti akan gugup di hari lamarannya.
Pagi itu, aku melangkah masuk ke restoran dengan perasaan campur aduk. Satu sisi aku penasaran, tapi di sisi lain aku sedikit khawatir dengan kejutan yang Evan janjikan.Mataku langsung menangkap sosok Evan yang berdiri di balik meja pantry dengan senyum penuh arti. Dia melambai ke arahku.“Tumben semangat banget pagi ini,” aku membuka percakapan sambil melepas tas kecilku.Evan hanya tersenyum misterius, sambil menata gelas-gelas di atas meja."Aku kan memang selalu semangat kalau ada Mbak Alea."Aku meliriknya tajam."Jangan bercanda, Evan. Aku sudah punya suami, ingat?"Evan tertawa pelan, lalu berbalik menghadapku."Waktu akan segera membuktikan, aku sudah benar-benar move on."Aku memiringkan kepala, bingung dengan nada bicaranya."Kejutan itu... siapa sih yang mau kamu kenalin?"Evan melirik jam tangannya, seolah-olah menghitung waktu."Nanti juga Mbak tahu sendiri. Aku
Tanganku gemetar saat mengetik balasan. Aku tahu, kalau aku diam saja, maka Putri akan memutarbalikkan segalanya.“Aku di kafe, barusan bertemu Chef Hengki. Dia pamit mau pindah ke Jepang.”Tidak sampai satu menit, mas Calvin langsung membalas.“Kenapa nggak kasih tahu aku dari awal? Kenapa kamu nggak bilang mau ketemu dia?”Aku menggigit bibir. Memang aku salah karena tidak bilang sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu Chef Hengki hari ini.“Aku juga nggak rencana ketemu, dia tiba-tiba hubungi aku dan ingin pamit…”Pesan mas Calvin tidak langsung dibalas. Hatiku semakin gelisah. Aku menatap layar, menunggu hingga akhirnya ponselku bergetar.“Oke, aku percaya kamu. Pulang sekarang, jangan berlama-lama di luar.”Aku menarik napas lega.Ya Tuhan... aku bersyukur Calvin masih mempercayaiku.Aku berusaha menenangkan diriku setelah membalas pesan Calvin. Baru saja aku hendak berdir
Setelah beberapa detik hening, Evan akhirnya berkata, "Kalau itu keputusanmu, semoga beruntung."Nada suaranya datar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ditahannya, tapi Amanda terlalu tenggelam dalam obsesinya untuk menyadarinya."Terima kasih, Evan! Aku janji akan menghubungi kalian setelah sampai di sana!" katanya dengan senyum lebar, lalu melambaikan tangan dan keluar ruangan.Aku hanya bisa membalas senyumnya samar. Di dalam hatiku, aku tahu ini bukan keputusan yang baik. Tapi ini hidup Amanda, dan aku tidak bisa menghentikannya.Aku baru saja selesai berbincang dengan Evan ketika ponselku bergetar di dalam saku. Aku mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar—Chef Hengki.Alisku berkerut. Kenapa dia menghubungiku? Dengan ragu, aku membuka pesan darinya.“Alea, aku ingin bertemu. Bisa kita bicara berdua?”Aku menelan ludah. Setelah semua yang terjadi, aku tidak menyangka dia masih ingin bertemu denganku.
Evan menarik napas dalam, lalu berkata, "Restoran baru Chef Hengki yang rencananya akan buka sebentar lagi… tiba-tiba akan dijual.”Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Evan."Restoran Chef Hengki akan dijual?" tanyaku, berusaha memastikan aku tidak salah dengar.Evan mengangguk. "Iya, padahal restorannya belum sempat dibuka."Aku menarik napas dalam. Aku tidak ingin lagi ada urusan dengan Chef Hengki, terutama setelah masalah Amanda. Aku sudah bertekad untuk menjauh darinya."Kenapa kamu memberitahuku soal ini?" tanyaku akhirnya.Evan menatapku sejenak sebelum menjawab. "Karena ini kesempatan besar, mbak Alea. Restoran itu lokasinya strategis, dan konsepnya sudah matang. Aku tahu kamu dan mas Calvin punya visi besar untuk bisnis kuliner kalian."Aku menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan Chef Hengki lagi."Evan tampak terkejut dengan reaksiku. "Tapi ini soal bisnis, buka
Shasha berdiri di ambang pintu dengan boneka favoritnya di tangan, matanya berbinar penuh semangat."Sayang, sudah larut malam. Kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?" tanyaku, mencoba menenangkan diri."Shasha mau tidur sama adik! Kan adik masih di perut Mama, jadi Shasha harus jagain adik dari sekarang!" katanya polos.Aku dan Calvin saling berpandangan. Aku melihat Calvin berusaha menahan senyum geli."Tapi, sayang, adik masih kecil sekali di dalam perut Mama. Dia belum bisa merasakan kalau kamu tidur di sini," ucap mas Calvin lembut, membujuknya."Tapi Shasha mau nemenin! Kalau nggak, adik kesepian," protesnya, mengerucutkan bibirnya.Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu, malam ini kamu bisa tidur di sini."Shasha langsung tersenyum lebar, lalu berbaring di tengah-tengah kami sambil memeluk bonekanya erat-erat. Tapi sebelum dia memejamkan mata,
Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Mas Calvin menggenggam tanganku dan tersenyum, lalu berkata dengan suara mantap, “Mama, Alea hamil.” Sejenak, tidak ada suara di seberang sana. Lalu, terdengar helaan napas kaget, disusul suara penuh kebahagiaan. “Benarkah? Ya Tuhan, Calvin! Mama senang sekali!” Aku bisa mendengar suara Mama Calvin yang jelas-jelas penuh dengan emosi bahagia. “Alea sayang, selamat ya, Nak! Kamu baik-baik saja? Kamu sehat?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan menjawab, “Iya, Ma. Aku baik-baik saja, hanya sedikit mual-mual.” “Itu wajar, Sayang. Mama senang sekali akhirnya keluarga kecil kalian bertambah. Mama harus segera ke sana! Aku ingin melihat kalian!” Aku melirik mas Calvin, meminta pendapatnya. Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Tentu, Ma. Kami juga ingin Mama di sini.” “Kalau begitu, Mama akan segera mengatur jadwal. Kalian jaga diri baik-baik, terut