Share

7. Bukan Pilihan

“Kamu kenapa?” Adam bertanya dengan polosnya.

Alma menutup wajah dengan kedua tangannya, “Kamu ngapain disini, mas. Aku mau mandi.”

“Yakin mau mandi?”

“Yakin lah. Sana keluar!”

“Kamu bukannya dari tadi tidur?”

“Maaaas, jangan bikin aku marah pagi-pagi gini. Kamu keluar, aku mau mandi, terus nanti giliran kamu yang mandi.”

“Kita mandi bareng aja biar menghemat waktu.”

“Gak usah ngarang. Sana pergi!”

Bukannya menuruti permintaan Alma, Adam malah dengan sengaja menghampirinya, “Kita udah halal buat mandi berdua.”

“MAAAS!” Alma bergegas berdiri sambil menutup matanya. Ia mendorong tubuh Adam untuk keluar dari kamar mandi.

“Kamu mau ngapain sih? Kok aku di dorong-dorong?”

“Awas kamu keluar duluuu!”

Adam tidak membalas ucapan Alma lagi, ia malah tertawa senang. Entah apa yang membuatnya sesenang itu karena Alma masih menutup matanya.

Ceklek.

Alma mengunci kamar mandi setelah mengusir suaminya dari sini. Ia mengatur napasnya dan baru menyadari kalau ia tidak memakai apapun ketika mengusir suaminya dari sini.

“Ya Tuhan, Alma! Ini namanya bunuh diriiii! Dia pasti kesenengan liat lo telanjang bulat begini.”

Tanpa berlama-lama, Alma langsung membersihkan bathub dan memulai mandi sebelum Adam mengganggunya. Ia yang memutuskan keramas karena rambutnya basah ketika berendam di bathub tadi, melilitkan handuk di atas kepalanya.

Dengan ragu, Alma memutar putaran kunci pintu kamar mandi. Ia membuka pintu perlahan dan mencari keberadaan suaminya.

“Mas?”

“Mas, kamu dimana?”

“Eh kok gak ada?”

Alma berjalan santai ke arah lemari untuk mengambil baju. Saat ia membuka lemari, Adam baru masuk memakai bathrobe yang sama dengan miliknya.

“Mas, kamu mandi dimana?”

“Di kamar mandi lain, kalo nunggu kamu lama.”

Alma tak menjawab. Ia baru ingat kejadian beberapa menit lalu mengenai ia yang melihat aset milik Adam, dan Adam yang mungkin juga melihat kedua aset miliknya. Ia menyembunyikan wajahnya dengan menutupnya dengan handuk yang melilit rambutnya karena malu.

Adam berdiri di dekat Alma didepan lemari.

“Kenapa?”

“Aku mau ambil baju.”

Alma mundur beberapa langkah memberikan tempat agar Adam bisa mengambil baju miliknya di lemari.

“Kamu mau pake baju dimana? Disini atau di kamar mandi?” tanya Adam masih memilih baju yang akan ia kenakan.

“Di kamar mandi.” Alma berjalan cepat ke arah kamar mandi dan kembali menguncinya.

***

Alma menuruni tangga ketika Adam sudah duduk menunggunya di meja makan bersama Belle dan suster Ruth. Alma yang sudah siap pergi dengan dress mini dan tas selempang fringe favoritnya melenggang santai ke arah meja makan.

“Ayo sarapan dulu.” ajak Adam sibuk membuka piring dan menuangkan sup jagung ke dalam mangkuk kecil.

Alma duduk di hadapan Adam, “Aku mau ke caffe milik keluarga Sezan ya, mas. Mau kumpul sama Audy.”

Adam menghentikan aktivitas menyiuk sayur jagung, “Ngapain?”

“Ya, kumpul.”

“Iya, maksudnya dalam perkumpulan itu kalian ngapain?”

Alma melirik suster Ruth yang tengah menyuapi Belle, “Ya ngobrol sama makan. Masa kamu gak tahu apa yang di lakuin kalo lagi ngumpul di kafe?”

Adam tak menjawab, ia hanya mengangguk sekali lalu menyesap kopi hitam di hadapannya.

“Kamu kok diem, mas?”

Adam melirik Alma, “Hm?”

“Boleh, ‘kan?”

“Boleh.”

Alma tersenyum sumringah. Ia pikir Adam adalah tipe suami kaku yang menyebalkan dan tidak pengertian.

“Tapi sama Belle.” sambungnya.

Alma menganga, “Mas!”

“Kenapa?”

“Kamu yang bener aja, masa sama Belle?”

“Kamu bilang tadi kalian cuma makan dan ngobrol aja, ‘kan?”

“Tapi kan-”

“Kalo kamu gak sama Belle, kamu gak perlu pergi.”

Alma melotot. Ia melirik suster Ruth yang juga terlihat kaget dengan ucapan Adam. Biasanya majikannya ini tidak se-overprotektif itu.

“Mas, aku perginya gak lama.” Alma masih berusaha membujuk Adam agar bisa pergi tanpa Belle.

“Ya bagus. Itu artinya Belle gak papa ‘kan kalo ikut?”

Alma melirik Belle yang mulai rewel karena melempar buah apel yang sedari tadi digenggamnya, “Mas, Belle tuh lagi rewel karena tumbuh gigi, biarin aja lah dia di rumah buat istirahat.”

Adam menggeser badannya menjadi semakin dekat dengan meja makan, “Belle anak siapa?”

“Anak kamu lah, pake nanya lagi”

“Kamu siapa?”

“Aku istri kamu.”

“Yang artinya Belle adalah...”

Alma membuang nafasnya dengan kasar. Ia membuang muka dan beranjak dari kursi, “Aku gak jadi pergi!”

“Oke.”

Alma menghentakkan kaki dan berjalan cepat menaikki tangga. Ia benar-benar marah dan tidak suka dengan permintaan Adam untuk mengajak Belle pergi bersamanya menemui Audy dan Sezan. Sebenarnya tak masalah mengingat kedua sahabatnya itu sudah tahu mengenai pernikahannya dengan seorang duda beranak balita. Tapi entah, rasanya sulit sekali menerima kehadiran Belle apalagi ia harus ikut campur tangan untuk mengasuhnya.

Alma duduk di kasur dengan perasaan marah dan kesal. Ia menangis pelan karena merasa dunianya selesai dengan statusnya kini yang menjadi ibu sambung dari seorang balita yang doyan menangis.

“Heu.. heu... heu.. harusnya kemaren sebelum ijab gue kabur aja. Gak usah nikah sama dokter duda tua nyebelin.” Ia menggeleng, “Enggak, harusnya dari acara lamaran gue udah nolak perjodohan ini. Paling gue di omelin mama seharian. Gak papa deh asli yang penting gue masih bisa hidup bebas, heu.. heu.. heu...”

“Alma.” Adam berdiri di lawang pintu.

Alma memalingkan wajahnya. Ia benar-benar membenci Adam sebagai suami yang menurutnya sangat menyebalkan karena tidak memberikannya kebebasan.

Adam duduk disamping Alma, “Aku minta maaf.”

“Ngapain minta maaf kalo aku gak di izinin pergi kumpul sama temen-temen.” protesnya masih terisak.

“Aku izinin kamu pergi.”

“Tapi harus bawa Belle ‘kan?”

Adam mengangguk.

Alma menatap Adam, “Mas, dengan aku nikah tiba-tiba sama kamu aja aku masih butuh waktu buat bisa terima semuanya. Apalagi ada Belle. Apalagi Belle lagi rewel. Aku bukannya gak sayang sama Belle, aku cuma butuh waktu lebih lama buat terima semuanya.”

“Terus mau kamu gimana?” tanya Adam dengan suara super lembut.

“Kamu jangan libatin apa-apa antara aku sama Belle. Aku jadi istri kamu baru dua hari loh, mas. Kamu jangan bikin aku gila dadakan.”

Adam tertawa kecil.

“Maaaas, kok malah ketawa sih, aku serius.”

Adam mengambil lengan Alma, ia menepuk-nepuk lengan itu, “Aku punya temen dokter jiwa, jadi kalo kamu gila, kita gampang berobatnya.”

Alma melotot dan menarik lengannya. Ia berdiri dan benar-benar marah pada Adam yang malah merespon ucapan seriusnya dengan bercanda.

Adam berdiri dan memegang bahu Alma, “Maaf ya. Aku lagi berusaha hibur kamu biar gak stress.”

“Kalo kamu mau aku gak stress, turutin mau aku soal Belle.”

Belum sempat Adam membalas ucapan Alma, suara tangisan Belle kembali menggema di seluruh rumah.

“Tuh denger tangisan anak kamu, ngalahin suara petasan bulan puasa tau!"

“Iya, aku minta maaf. Tapi maaf, aku gak bisa ikutin mau kamu soal Belle. Kita udah bicarain ini dari acara lamaran ‘kan, soal kamu yang ikut bantu aku asuh Belle?”

“Iya, tapi gak serakang dong, mas.”

“Terus kapan?”

“Ya... kasih aku waktu sebulan dua bulan biar aku siap ikut asuh Belle.”

Adam membuang nafasnya pelan, “Alma, maaf, suka gak suka kamu harus ikut asuh Belle. Kita mulai pelan-pelan ya. Kalo kamu mau kumpul sama temen-temen kamu Belle harus ikut.”

Alma meradang. Ia tidak pernah menyangka baru dua hari pernikahannya sudah di selimuti masalah serius seputar anak, "Pokoknya aku gak mau ngurus Belle!” teriaknya kencang depan Adam dengan penuh emosi.

“Terus kamu maunya Belle yang ngurus anak manja kayak kamu?” balas Adam dengan suara tenang.

“Mas!”

“Pergi bawa Belle, atau gak pergi sama sekali.” Adam keluar dari kamar dan berlari menghampiri Belle untuk menenangkannya.

Alma mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

Sudah satu jam Alma tiduran di sofa kamar. Ponselnya terus bergetar berasal dari notifikasi grupnya bersama Audy dan Sezan. Ia sengaja tidak membuka ponselmnya karena tidak tahu harus mengatakan apa pada dua sahabatnya. Meski sudah sangat dekat, Alma tidak suka melibatkan orang lain dalam masalah hubungan asmaranya.

Ketika diam memainkan kukunya, Alma baru ingat sesuatu. Adam ‘kan seorang dokter bedah dengan jam terbang tinggi. Tidak lama pasti suaminya akan pergi bukan? Ia melirik jam digital. Baru pukul delapan. Sabar, Alma, nanti ketika suaminya pergi, ia bisa kabur tanpa harus mengajak Belle.

“Makan dulu.” Adam tiba-tiba masuk menggendong Belle yang anteng dipangkuannya.

Alma sengaja tidak membalas ucapan Adam. Biarkan saja, Adam harus tahu kalau ia serius marah padanya.

“Kamu harus inget udah jadi seorang istri. Kamu juga gak lagi di rumah orang tua kamu. kalo kamu sakit, kamu yang urus diri kamu sendiri.”

Alma melirik Adam sinis, “Berisik!”

“Kalo kamu sakit, aku bingung bawa kamu ke dokter anak atau apa-”

“Mas, daripada kamu ngomong terus, mending kamu ke rumah sakit sana.”

Adam menghampiri Alma di sofa dan duduk disana, “Kamu mau pergi ‘kan tanpa Belle kalo aku udah ke rumah sakit?”

Alma gelagapan, “Hah? Eu... enggak. Kamu gak usah nuduh sembarangan.”

Adam tertawa, “Umur kamu baru dua puluh dua, sedangkan aku tiga lima. Pengalaman hidup aku lebih banyak. Akal bulus yang lagi kamu pikirin udah aku hapal banget alurnya.”

“Kamu nuduh ada buktinya gak? Aku cuma peduli sama pasien kamu disana, gimana kalo mereka butuhin kamu?”

Adam mengangguk, “Aku pergi sebentar lagi, nanti di jam makan siang pulang sebentar buat liat kamu.”

Alma duduk dengan tegap, “Kamu tuh punya trush issue ya? Separah itu kamu takut aku pergi tanpa Belle?”

“Ya anggap aja begitu. Selama aku di rumah sakit, nanti aku bisa minta bantuan mamah kamu buat nemenin kamu disini.”

“Mas, gak usah lah manggil mama. Kan ada suster Ruth yang bisa jagain aku.” protesnya cepat karena takut kalau beneran mama akan datang kesini.

“Kamu sama suster Ruth kan udah jadi kawan. Masa aku gak boleh curiga sama kalian?”

“Kamu tuh ya.”

Adam beranjak berdiri, “Kamu makan sana. Aku gak terbiasa ngurusin istri sakit. Aku siap-siap dulu.”

Alma menatap punggung Adam yang berjalan menjauhinya. Ponselnya bergetar panjang. Ia melirik layarnya yang menyala dan membaca nama penelponnya dengan takut, “Mama?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status