Share

Bab 3. Istri Paman Marah

"Juaaaaaang!!!"

Mendengar teriakan Sani, Juang hampir saja tersedak saat sedang asik asiknya mengunyah karna kaget.

"Kenapa lagi perempuan itu, kenapa dia hobi sekali berteriak?" gerutu Juang kesal. Ia pun segera berjalan menyusul istrinya ke luar rumah.

"Juang, apa kamu tahu siapa bocah ini? Sepertinya dia adalah seorang penyusup di kampung ini. Aku tidak tahu apa tujuan dia ke sini, tapi yang jelas dia lah pasti orang yang telah merusak dan menginjak injak hasil kerja kerasmu hari ini!" Seperti laju kereta api, Sani merepet begitu cepat dan panjang menumpahkan kekesalannya.

Juang yang belum menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, sempat melongo beberapa detik mendengar rentetan panjang ucapan sang istri. Dan baru ia menyadari semuanya, tatkala kedua bola matanya mengikuti arah tatapan Sani.

"An - anak nakal? Astaga.....!" Juang menepuk keras jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa telah membawa bocah itu sampai ke rumahnya?

"Paman Juang...!" Sasya memekik girang saat mendengar suara lelaki yang  baru beberapa saat dikenalnya itu.

Sani mengkerutkan keningnya.

"Juang, apa kau mengenal bocah ini?" Sani mulai mengintrogasi suaminya. Ia terheran, bocah itu menyebut nama suaminya dengan sebutan "paman".

"Ehm...ehm...di - dia tadi kutemukan di tepi jalan saat perjalanan dari hutan. Tadinya aku tidak berniat membawanya kesini, tapi...." Sejenak ucapan Juang terhenti, dengan ragu ia melihat wajah Sani sebelum menyelesaikan kalimatnya, "Tapi aku pun tak tega meninggalkannya, bagaimanapun tempat itu sangat berbahaya di malam hari. Apalagi untuk bocah seusianya yang sepantar Elena, putri kita."

Sani hanya diam mendengar penjelasan suaminya, namun tatapannya begitu dingin seperti lautan es. Menakutkan...! Membuat Juang semakin membeku dan salah tingkah.

"Eh...eh...Istriku, jangan marah! Aku hanya berniat sedikit menolongnya. Siapa tahu dia akan berguna untuk kita suatu hari nanti!" Juang begitu gugup berupaya meredakan kemarahan Sani. Entah kenapa pria yang berperawakan tinggi besar dan terlihat sangar itu selalu ciut nyalinya tiap kali menghadapi kemurkaan sang istri.

"Baah....Kau bilang berguna? Baru menginjakkan kakinya di sini saja dia telah membuat kerusakan dan kita merugi. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari seorang buta sepertinya?" Sani menunjuk kerusakan di dalam gerobak. Ia begitu gemas dengan apa yang telah di lakukan bocah itu, terlebih suaminya telah membawanya ke rumahnya. Padahal hidup mereka begitu pas pasan bahkan seringkali berkekurangan. Dia pasti tak akan sanggup untuk berbagi kebutuhan dengan anak itu.

"Kruuuukkk...!" Sasya meringis memegangi perutnya. Rasa lapar tak dapat lagi ia sembunyikan. Tapi kenapa perutnya justru tak bisa berkompromi di saat suasana sedang begitu tegang?

Sani melirik Sasya yang hanya berdiri termangu sedari tadi. Wajah kecilnya menunduk dalam seperti sedang menahan ketakutan.

"Huuufff....!" Sani menarik napas panjang.

"Baiklah aku akan berbaik hati sekali ini. Dia boleh makan dengan sisa kuah sup malam ini. Kasih dia tidur di ruang tamu, dan ingat besok pagi kamu bawa bocah itu ke pasar. Dan setelahnya dia bukan lagi urusan kita!" 

Sani menghentakkan kakinya lalu dengan langkah gusar ia pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sasya dan Juang yang masih saja terbengong. Lelaki itu menyerah dengan perintah istrinya, tak ada pilihan lain selain menuruti kata kata Sani atau hari hari ke depannya akan sangat buruk bagi dirinya.

"Itu artinya, esok aku harus kembali membuang bocah ini ke pasar." Sekilas Juang melirik Sasya. "Aaah...tapi paling tidak di pasar banyak orang berlalu lalang, pasti di antara mereka akan ada yang bersedia memungutnya nanti," batin Juang bermonolog menjawab keraguan dalam pikirannya. Ia berpikir keras tentang apa yang harus ia perbuat selanjutnya untuk "Si anak nakal" tersebut.

"Tok... Tok.. Tok...!" terdengar pintu rumah diketuk. Sani yang sedang sibuk berkutat dengan cucian piring, bergegas berjalan untuk membukanya. 

"Cekleeek...!" Begitu pintu terbuka, suaminya pun telah berdiri di depannya. 

"Bagaimana, Kau sudah mencampakkan bocah itu tentunya kan?" tanya Sani  langsung memberondong suaminya.

"Eh istriku, eh itu..." Juang bicara dengan begitu gugup. Bagaimana dia harus menjelaskan semuanya kepada istrinya?  Alasan apa yang harus dia berikan?Juang menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia bingung. "Istriku, soal itu aku..., emm..."

"Jangan katakan kalau kau tidak melakukannya!" Sani menyambar cepat ucapan Juang yang belum selesai, ia menyadari gelagat aneh suaminya hingga nampak begitu gugup.

Di tengah suasana yang ambigu, tiba tiba saja tubuh kecil Sasya menyembul keluar dari arah belakang Juang. Rupanya, sejak awal ia telah bersembunyi di balik tubuh tegap tersebut. Dengan takut takut, Sasya pun coba menyapa, "Bibi Sani..!"

Tentu saja kemunculan Sasya kembali membuat emosi Sani tersulut. Matanya mendelik  tak suka. Ia begitu gemas, merasa telah dipermainkan oleh dua makhluk didepannya. "Bagus sekali, suamiku!" ujarnya ketus menatap Juang. 

"Bibi, tolong jangan salahkan Paman Juang. Dia sudah berulangkali merepotkan dirinya karna aku. Ini semua salahku," tutur Sasya menghiba. 

"Braaaakkk....!" Pintu dibanting dengan sangat keras. Jantung Juang hampir saja copot dibuatnya. Ia meraup wajah frustasi sebelum akirnya mengejar sang istri masuk ke rumah.

"Istriku...Istriku dengar penjelasanku dulu!"

Sani pun membalik badan. 

"Praaang....!" Satu piring terbang dari tangan Sani mendarat sempurna dan menjadi berkeping keping  setelah membentur tembok di sisi kanan Juang.

"Istriku, jangan begitu!"

"Praaaang....!" Satu lagi gelas terbanting. Kali ini jatuh tepat di sisi kiri Juang. 

Ternyata pertunjukan sepertinya belum usai. Dengan mata yang merah menyala Sani menyiapkan serangannya kembali. Tangan kanannya terangkat tinggi ke atas memegang sebuah kuali. Persis seperti seorang prajurit yang hendak melempar sebuah dinamit.

"Istriku..., coba lihat ini! Lihatlah uang uang ini!" Juang berteriak keras tepat saat lengan istrinya mengayun siap melemparkan kuali. Kedua mata Juang terpejam erat menahan kepanikannya akan amukan istrinya.

"Haa...?" Gerakan Sani seketika terkunci. Ia tertegun  melihat banyak lembaran uang kertas melambai lambai di tangan Juang. 

Dengan gerakan yang cepat, Sani segera maju dan menyambar semua uang dari tangan Juang. "Darimana Kau mendapatkan semua uang ini?" cecarnya.

"Ee - itu - eee..., itu semua uang dari hasil menjual rumput dan bunga bunga kita yang masih selamat. Seperti yang kamu ketahui, tadi aku sudah sangat kesiangan berangkat ke pangkalan berjualan. Jadi aku memutuskan akan membawa anak itu selepas berjualan saja. Tapi..." Juang menggantung kalimatnya.

"Tapi apa, hah?"

"Tapi aku tidak menyangka saat anak itu duduk di dekat barang dagangan kita, banyak orang yang datang menghampirinya. Mereka bilang paras bocah itu sangatlah cantik, dan mereka mengaguminya. Dan begitu mereka tahu kenyataannya bahwa dia buta, merekapun akhirnya membeli dagangan kita, bahkan sampai ada yang memborongnya. Belum lagi uang cuma cuma yang di berikan mereka pada bocah itu karna rasa kasihan."

Ekspresi Sani berangsur mulai tenang. Matanya terfokus pada banyaknya uang di tangannya. Jari jarinya begitu lincah menghitung lembar demi lembar uang tersebut. Bagaimanapun jumlah uang itu lumayan banyak. Sama seperti Juang, ia juga tidak menyangka  bocah buta yang dibawa suaminya itu mempu menyedot perhatian orang orang, hingga mendapat banyak uang dari mereka.

"Huuuff...." Juang menarik napas lega.

"Untung, tadi aku mengibarkan bendera damai tepat waktu," batinnya.

Setelah Sani mendengarkan panjang lebar penjelasan suaminya, otaknya pun berpikir cepat. Ia tahu kemana arah bicara Juang saat itu, termasuk alasannya membawa kembali bocah itu ke rumah. Sudut bibir Sani tiba tiba terangkat, tersenyum miring. Hatinya mendesis picik,

"Hmm, bocah itu bisa menjadi ladang uangku yang baru!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status