Sebenarnyalah, ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, “Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua.”Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Ardhakusuma telah hadir pula ditempat itu.Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama.”Tetapi Pangeran Ardhakusuma tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini.”“O, jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?,” bertanya Pawana.“Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau bercerita”, jawab Pangeran Ardhakusuma, “beberapa malam aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceriteramu.”Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Ardhakusuma. Namun mereka berdua-pun ke
Tubuhnya kekar dan tegap. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun. Namun anak laki-laki itu sudah menampakkan ciri-ciri kegagahannya.Di siang yang cukup terik, anak itu berjalan-jalan menyusuri jalanan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Namun betapa terkejutnya orang-orang disekitarnya ketika tiba-tiba saja anak itu mengamuk. Dengan wajah merah padam, dicabutnya pohon besar di dekatnya. Dan pohon besar itu pun tumbang. Orang-orang berdatangan mendengar dentaman kayu besar itu.“Raden Pragola telah menelusup ke dalam tubuhnya,” gumam sebagian orang yang hadir.“Siapa yang bilang saya kerasukan??” rupanya anak itu mendengar gumaman orang-orang di sekitarnya.Ditanya demikian, menunduklah orang-orang.Berita kelakuan aneh anak itu sampailah kepada Prabu Wijaya Kusuma, ayahanda anak itu. Maka di utuslah seorang prajurit untuk memanggilnnya. Prajurit itupun datang menghampiri anak itu."Pangeran. Ayahanda Pangeran telah menunggu Pangeran,"Anak tampan itu menegang sesaat. Namun dengan
Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Ardhakusuma mendapat hukuman. Namun hukumannya lebih ringan dari sebelumnya. Anak itu hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Ardhakusuma yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Ardhakusuma telah berada didalam sebuah warung yang baru saja dibuka. Tetapi didalam warung itu terdapat beberapa orang yang lain. Agaknya warung itu adalah warung yang paling besar dan paling lengkap menyediakan jenis makanan dan minuman. Karena itu, orang-orang yang telah menyerahkan barang barang dagangannya kepada para tengkulak, telah singgah untuk makan diwarung itu.Pangeran Ardhakusuma-pun duduk pula di warung itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung yang membawa pertanda kuasa Prabu Wijaya Kusuma itu-pun telah membawa Pangeran Ardhakusuma dan memasuki ruang dalam lewat seketheng sebelah kiri.Tumenggung Wiragiri itu sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, “Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?,”“Tumenggung Wiragiri mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Ardhakusuma” jawab seorang prajurit.“Kenapa?” bertanya Senapati itu pula.“Pangeran Ardhakusuma telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Wiragiri. Pangeran Ardhakusuma melepaskan seekor harimau di halaman Tumenggung itu” jawab prajurit yang sudah mendengar persoalan yang terjadi di rumah Tumenggung Wiragiri.Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun justru telah tertawa tertahan. Katanya, “Dan Tumenggung Wiragiri melaporkannya kepada ayahanda Pangeran Ardhakusuma?”“Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Wiragiri untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya” jawab
Dalam pada itu, Pangeran Ardhakusuma dan Pawana-pun telah sampai di istana Padmanegaran. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan.“Aku tinggal di bagian belakang” berkata Pangeran Ardhakusuma.“Apakah Pangeran selalu berada di sini ? Tidak di kasatrian, di istana Ayahanda?” bertanya Pawana.“Aku lebih banyak berada di sini sekarang, Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan” jawab Pangeran Ardhakusuma.“Dan Pangeran menyadarinya?” bertanya Pawana.“Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” jawab Pangeran Ardhakusuma.Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Ardhakusuma itu.“Nah sudahlah” berkata P
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.”“Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggraita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, akan terjadi sebagaimana aku lihat sebelumnya” berkata Pangeran Ardhakusuma, “demikian juga tentang diriku sendiri.”“Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana.“Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya.” jawab Pangeran Ardhakusuma, “tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendaknya?”“Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sekali-sekali merasa bahwa keterbatasannya seb
Pangeran Ardhakusuma termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.”“Aku melihatnya” Pawana menjelaskan.“Dimana?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya yang besar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar.Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.”Pangeran Ardhakusuma memang berpaling. Tetapi ia-pun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Ardhakusuma adalah sepotong balok kayu.“Inikah buaya itu?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kay
Pangeran Ardhakusuma yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.”“Kepadaku?” bertanya Pawana.“Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” bertanya Pangeran Ardhakusuma.“Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana.“Baiklah” berkata Pangeran Ardhakusuma, “kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi itu-pun akan menjadi milikmu”Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Ardhakusuma berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itu-pun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana