Share

Part 7

Bayi yang Kubawa dari Kota

"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku.

Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal.

"Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu.

Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing.

"Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah.

"B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk.

Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin.

"Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis.

Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya.

Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengambil alih Safira dari gendongan.

Lagi, gadis kecilku itu kembali diam dalam pelukannya. Mata Safira lekat menatap ke arah Mas Yusuf.

Bulir bening kembali menganak sungai di pelupuk mataku. Inilah yang aku takutkan, cepat atau lambat Safira pasti akan mencari sosok ayahnya yang bahkan aku sendiri tak tahu keberadaannya.

Mas Yusuf dengan telaten mengajak Safira bermain. Safira yang memang baru bisa berjalan sangat senang mengelilingi taman kecil di halaman rumah itu.

Sementara aku hanya duduk diam di kursi panjang yang berada di ujung halaman. Tak tahu harus berbuat apa, sungguh aku takut kedekatannya dengan Mas Yusuf justru akan semakin mengingatkannya tentang sosok ayah.

Saking asyiknya melamun, aku tak menyadari bahwa pesta telah usai, karena kulihat mobil tamu undangan mulai keluar dari parkiran. Sepertinya aku juga harus segera pulang, karena hari sudah semakin gelap.

"Mama ...." teriak Safira membuyarkan lamunanku.

Rupanya anak itu telah berada di dekatku bersama Mas Yusuf yang terus menggenggam tangan mungilnya. Sepertinya dia juga sangat menyayangi Safira. Dalam pandanganku, kedekatan mereka justru terlihat seperti hubungan seorang ayah dengan putrinya.

"Yusuf, kamu di sini? Mama cariin dari tadi lho." kata seorang wanita bergamis mocca yang tampak elegan dengan hijab warna senada.

Wanita yang masih tampak cantik di usianya itu, terus berjalan ke arah kami.

"Iya Ma, maaf kalau Yusuf keluar dari acara Mama, bosen di dalam terus." kata Mas Yusuf pada Mamanya.

"Lalu siapa anak kecil ini, dan kamu siapa?" tanya Ibu tadi seraya menunjuk ke arahku dan Safira bergantian.

"Maaf Bu, saya tadi ikut acara yang diadakan pemilik rumah ini. Namun karena anak saya rewel sehingga saya ajak keluar saja, takut mengganggu acaranya." jawabku apa adanya.

"Jadi kalian ini tamu saya?" tanya Ibu tadi kepadaku.

"Maaf, apakah anda ini Bu Alma?" jawabku malah balik bertanya.

"Iya, jadi kamu baru tahu ya. Nama kamu siapa cah ayu?" tanya Bu Alma kepadaku.

"Iya Bu, maaf kalau belum mengenal Ibu. Nama saya Amira Bu. Terima kasih sudah memberi pekerjaan kepada saya." jawabku sungkan.

"Tak apa Amira, Ibu maklum kok. Karena selama ini karyawan yang mengurusi reseller. Jadi wajar saja kalau kamu belum mengenalku." sahut Bu Alma bijak.

"Ini anak kamu ya, lucu banget. Siapa namanya Sayang?" tanya Bu Alma kepada Safira.

"Namanya Safira Bu." jawabku sembari mengangkat Safira ke pangkuanku.

Aku sangat kagum pada sosok Bu Alma yang ramah. Selain cantik dan juga kaya, ternyata Bu Alma tak merasa risih duduk berdampingan dengan orang sepertiku.

Beliau juga sangat menyukai anak kecil, terbukti Safira juga langsung akrab begitu saja, meski mereka baru bertemu untuk pertama kali.

Bu Alma juga lebih banyak bercerita kepadaku. Rupanya Mas Yusuf itu pernah menikah, namun istrinya pergi setelah terjadi kesalahpahaman dalam rumah tangganya.

Mas Yusuf sangat menyesal atas kejadian itu dan menyalahkan dirinya sendiri. Berbagai cara telah dilakukan untuk mencari istrinya, namun sayang usahanya sia-sia karena hingga kini istrinya tak juga ditemukan.

Sejak saat itu, Mas Yusuf menutup diri dari lawan jenis karena trauma dengan masa lalunya. Karena itu, Bu Alma sangat senang saat tadi Mas Yusuf mau berbincang denganku.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, akhirnya kami pamit pulang kepada Bu Alma dan Mas Yusuf.

Kali ini aku memesan taksi online karena sudah malam. Kasihan kalau Safira kedinginan, apalagi anak itu sudah terlihat kelelahan. Benar saja, baru sebentar mobil berjalan, Safira sudah tertidur di pangkuanku.

Awalnya Bu Alma menyuruh Mas Yusuf untuk mengantarkanku, namun aku tolak karena takut merepotkannya. Apalagi beliau ini bosku, rasanya tak pantas kalau harus mengantarkan orang sepertiku.

Tak butuh waktu lama, sampailah mobil yang kutumpangi di depan gang masuk kontrakan. Segera kugendong Safira menuruni taksi kemudian memberikan ongkos kepada pak sopir.

Aku berjalan tertatih karena kakiku kesemutan sembari menggendong Safira yang tertidur. Sesampainya di kontrakan, segera kubaringkan Safira ke tempat tidur dan mengganti bajunya.

Setelah beres, aku segera masuk kamar mandi untuk bersih-bersih. Badanku terasa lengket karena kebetulan cuaca saat ini cenderung panas.

Ah, segar rasanya setelah semuanya bersih, kini tinggal tiduran sembari mengecek ponsel yang sedari tadi tak tersentuh. Kulihat dalam aplikasi hijau banyak sekali chat yang masuk. Kebanyakan berasal dari pelanggan yang memesan daganganku.

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah notifikasi panggilan dalam aplikasi tersebut. Sepuluh kali panggilan dari nomor asing, nomor siapa ini?

Belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba konsentrasiku teralihkan oleh suara ketukan di pintu depan. Siapa sih malam-malam begini datang bertamu? batinku.

Kualihkan pandanganku pada jam berwarna biru yang bertengger di dinding, tepat jam delapan malam. Sementara ketukan tadi masih terdengar berulang-ulang.

Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Seketika mataku membulat saat melihat siapa yang datang.

"Kamu?" tanyaku pada seorang gadis berambut pirang yang kemarin bertemu di rumah Bu Ratmi.

Namun yang membuatku lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sebelahnya. Meski sudah lama tak bertemu, namun aku masih dapat mengenali dari sorot matanya yang tajam.

Seketika air mata merebak di pelupuk mata, mengingat kejadian demi kejadian yang telah aku lalui. Ya, aku menangis untuk luka yang kurasakan selama ini.

Dadaku sesak oleh emosi yang siap meledak, namun sebisa mungkin kutahan agar tak membuat keributan di rumah orang.

Kuhempaskan napas kuat-kuat, perlahan kususut air mata yang meleleh di pipi. Aku tak boleh begini, aku harus kuat demi Safira.

Setelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya.

"Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status