BAGIAN 40
Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya.
“Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku.
“Ibu.”
Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran.
“Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan.
Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang
BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”
BAGIAN 1“Silakan, Bu,” ucapku sembari meletakkan jajanan pasar dan dua cangkir teh melati panas ke atas meja tamu. “Wah, Bu Agit. Menantunya makin cantik aja. Udah gitu, sregep pula. Beda banget sama menantu saya di rumah.” Bu Puji, sahabat ibu mertuaku, mulai memuji. “Lho, tentu, Bu Puji! Istrinya siapa dulu, Faris! Anakku itu berhasil mendidik istrinya, Bu Puji. Dia mampu membimbing Gista hingga bisa jadi istri saleha seperti sekarang ini. Betul kan, Gis?” Ibu mulai meninggikan anaknya. Membuatku hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk. “Iya, Bu,” sahutku pelan. Tampak, rekahan senyum di wajah tua Ibu makin merona. Aku ikut senang
BAGIAN 2 Siang itu, aku benar-benar merasa jengkel yang luar biasa. Merasa baru saja dikhianati oleh orang yang terduga. Ibu, sudah kuanggap seperti mamaku sendiri. Rela kutinggalkan rumah kedua orangtuaku yang nyaman, demi hidup membersamai Mas Faris dan ibunya yang telah ditinggal oleh bapak mertuaku menikah dengan wanita lain di Kalimantan sana.Ikhlas kulayani Ibu seperti kepada mama kandungku. Padahal, dia sendiri punya anak perempuan dan anaknya itu ogah tinggal di sini. Namanya Farah. Dek Farah, aku memanggilnya. Farah belum menikah. Dia bekerja di luar kota dan hidup mengontrak. Mungkin dia menghindari hidup bersama ibunya di sini. Aku saja baru tahu seperti apa sifat asli mertuaku yang munafik. Mulai hari ini, aku harus lebih waspada pada Ibu. Apa yang dia ucapkan, jelas bukan berasal dari hatinya. Semua hanya tipu daya.
BAGIAN 3 “Gista, kamu ini kenapa?” Mas Faris tiba-tiba membuka pintu kamar tidur kami lebar-lebar. Dia masuk dengan wajah yang setengah gusar dan setengah bimbang. Aku terduduk di ranjang. Desiran di dada rasanya masih membabi buta. Tanganku bahkan sampai tremor saking emosinya. “Astaghfirullah,” lirihku seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Terdengar suara derap langkah kaki Mas Faris yang kian mendekat. Pria dengan tinggi 170 sentimeter dan berbobot 75 kilogram itu lalu kulihat duduk di sampingku. Aku yang baru membuka mata pun mengerling tajam ke arahnya. “Gis, istighfar!
BAGIAN 4 “Gis, kamu mau ngapain?!” Mas Faris menahan tanganku erat ketika aku hendak membuka pintu lemari. Kuat kutepis, tetapi dia enggan untuk melepas. “Lepas!” “Nggak! Aku nggak akan ngelepasin kamu, Gis! Kamu istriku. Kamu nggak bisa seenaknya kaya gini.” Napas Mas Faris terdengar menderu. Kilatan di kedua netranya yang pekat membuatku agak gentar. Namun, kukuatkan tekad untuk memberikan perlawan ke tiap blunder yang Mas Faris buat. “Kamu suamiku. Kamu juga nggak pantes untuk giniin aku, Mas! Satu, kamu nggak mau dengerin aku. Dua, kamu lebih mihak ke ibumu padahal dia salah. Dan tiga, jangankan mau minta maaf, yang ada malahan kamu merasa paling
BAGIAN 5 “Nggak usah. Kamu di sini aja sama ibumu. Dia lebih berhak mendapatkan kasih sayang dan kehadiranmu ketimbang aku!” Aku membuang muka. Tangisan Mas Faris malah terdengar kian keras. Aku enggan untuk peduli. Gegas kukemaskan diri. Menukar pakaian dengan sepotong gamis satin bermotif abstrak warna abu-putih-merah muda. Sebuah pasmina crinkle berwarna cokelat tua pun kukenakan dengan hanya sebuah jarum pentul untuk mengencangkan bagian dagu. Selebihnya, dua sisi pasmina itu asal kulemparkan ke atas dua pundak. Tanpa perlu mematut diri di depan cermin, aku beringsut seraya menyambar tas jinjingku dari genggaman Mas Faris. “Gis … aku ikut.” Dia beru
BAGIAN 6 “Lepas!” Aku berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Mas Faris. Apalagi, suara klakson di depan sana terdengar sangat membisingkan gara-gara lalu lintas sempat macet akibat aksi memalukan suamiku. “Bikin malu aja!” kataku jengkel. Mas Faris pun melepaskan pelukannya. Gegas, aku masuk ke mobil. Mukaku sudah merah sekali pasti. Rasa malu yang mendera akibat jadi tontonan orang ramai, membuatku buru-buru masuk ke mobil untuk menyembunyikan diri. Suamiku ikut masuk. Dia buru-buru menyalakan mesin. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menyetir dalam kecepatan sedang. “Gis,
BAGIAN 7 Dua puluh menitan lebih berkendara, akhirnya kami tiba di depan halaman rumah orangtuaku. Dua minggu lalu terakhir kali aku main ke sini. Menjenguk adikku, Gio, yang terkena demam tifoid alias tipes. Rasanya, aku sudah rindu sekali ingin tidur di ranjang kamarku yang lega. Menikmati harumnya kamar masa remajaku yang penuh kenangan. Lekas aku turun dari mobil sambil menjinjing tas. Mas Faris yang secepat kilat menyusul pun, merampas tasku. Demi terlihat baik, dia membawakan tas itu sampai ke depan pintu. “Gis, aku mohon. Bicara yang baik-baik saja. Katakan kalau kamu rindu dan ingin menginap di sini,” ucap Mas Faris dengan mata yang penuh pinta. “Iya,” sahutku.