Share

Chapter 4

"Aku tau kamu pasti di sini,"

Tommy menoleh saat merasakan elusan-elusan lembut di bahunya. Penampakan jemari lentik bercat kuku merah muda di bahunya, terus meraba dan menggoda. Gerakan-gerakan abstrak itu terus merambat maju mundur hingga mengelus rahang. Tanpa menoleh pun Tommy tau siapa wanita ini. Diana Paramitha.

"Lantas?" tanya Tommy pendek. Ia sedang tidak mood untuk bermain tebak-tebakan saat ini. Ia sedang punya kegiatan menarik lainnya saat ini. Yaitu menghisap tembakau dalam-dalam, sembari membayangkan wajah anak dan istrinya. Ia merindukan kehadiran keluarga kecilnya.

"Lantas apa kamu tidak mau bersenang-senang sedikit malam ini, heh? Toh Jihan sudah tau soal affairs kita." Diana kembali mengelus rahang persegi Tommy. Rahang jantan dengan bulu-bulu kasar sehari itu, membuat gairahnya bangkit seketika. Ia sudah cukup lama memimpikan saat-saat seperti itu. Saat di mana dirinya dan Tommy bisa memadu kasih tanpa takut ketahuan lagi.

"Aku sedang tidak berminat, Dian. Tolong tinggalkan aku sendiri," jawab Tommy acuh di tengah kepulan asapnya. Setelah ketahuan seperti ini, ia malah sudah tidak merasakan serunya sensasi bermain kucing-kucingan lagi.

"Ayolah, Tom. Aku tau kamu sedang banyak pikiran. Makanya kamu perlu merelaksasi diri."

Diana belum mau menyerah. Sekaranglah saatnya kalau ia ingin menggantikan posisi Jihan. Kalau ia berhasil merayu Tommy dan mengenyahkan Jihan dari pikiran pacar gelapnya ini, ia tinggal menghitung hari kemenangan. Makanya diperlukan usaha maksimal untuk menggoalskan semua rencana-rencananya.

Karena Tommy tetap diam dengan tatapan nyalang, Diana merubah tak tik. Ia makin mendekatkan diri pada Tommy. Sementara jemarinya yang tadi hanya mengelus-elus rahang dan bahu Tommy mulai turun dan makin turun. Bergerak dan gerilya seperti ular. Mengincar titik-titik sensitif di tubuh Tommy. Posisinya saat ini memeluk mesra Tommy dari belakang.  Dadanya sengaja ia busungkan hingga menempel erat ke punggung Tommy. Sungguh ia sangat menginginkan Tommy malam ini.

"Kamu mengerti bahasa indonesia 'kan, Dian?" Tommy menepis jemari nakal Diana yang bermaksud mengelus bawah perutnya. Diana memang nekad. Sifat beraninya ini terkadang memang menantang. Tetapi di waktu yang tidak tepat terasa memuakkan. Diana ini tidak bisa melihat sikon.

"Sombong sekali kamu, Tommy! Kemarin-kemarin  kamu semangat sekali bercinta. Di mana pun, kapan pun, kamu selalu ada untukku. Kenapa sekarang kamu menolak?" Alis Diana menungkik tajam. Ia geram melihat sikap jual Tommy.

"Sudah kukatakan tadi, kalau aku sedang tidak mood. Bahasa kasarnya aku sedang tidak ingin bercinta denganmu. Kamu tidak tuli bukan? Jadi jangan menanyakan hal yang sudah kamu ketahui jawabannya. Membosankan. Mengerti?" sergah Tommy kasar.

"Heh, bosan? Maksudmu, kamu sudah bosan padaku seperti kamu bosan pada Jihan. Begitu?" sembur Diana geram. Elusan tangannya sontak berhenti.

Mendengar nama Jihan disebut-sebut, menyulut emosi Tommy. Ia berbalik dan berdiri dari kursi. Kini posisi mereka berdua saling berhadapan.

"Jangan membawa-bawa nama Jihan dalam hubungan sesaat kita. Lagi pula siapa bilang kalau aku bosan pada Jihan? Kamu jangan sembarangan berasumsi sendiri!" rutuk Tommy geram. Ia tidak munafik. Ia memang bukan suami yang baik. Ia suka sesekali jajan di luar, atau sekedar menerima undangan dari wanita-wanita haus belaian seperti Diana ini. Tetapi ia tidak pernah sekalipun bosan pada Jihan, atau berniat meninggalkan istrinya yang sholeha itu. Ia mencintai Jihan.

Diana makin emosi mendengarnya. Dulu demi dirinya, Tommy menghianati Jihan. Dan kini demi membela Jihan, Tommy bersikap kasar padanya. Dada Diana hangus karena api cemburu.

"Tidak bosan? Lantas kenapa kamu menghianati dia, dengan berselingkuh denganku? Kenapa? Coba jawab?" Diana berkacak pinggang. Ia tidak terima melihat Tommy membela Jihan. Padahal di waktu lalu, Tommy bersedia meluangkan waktu untuknya, dan meninggalkan Jihan berminggu-minggu di rumah. Setiap Tommy keluar kota, Tommy selalu membawanya. Bukan Jihan! Itu berarti di hati Tommy dirinya lebih penting daripada Jihan bukan?

"Karena kamu menawarkan diri tentu saja. Ditawari barang gratis tanpa komitmen, laki-laki mana yang menolak? Aku cuma mengambil apa yang kamu tawarkan. Tidak lebih. Paham kamu!"

"Dasar laki-laki buaya. Habis manis sepah dibuang. Kamu brengsek, Tommy!" Diana memukuli dada Tommy geram. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini dari Tommy. Biasanya mulut Tommy ini semanis mandu saat melancarkan rayuan.

"Memangnya kamu tidak? Kita memang sama-sama orang brengsek, makanya kita bisa berselingkuh. Lagi pula habis manis sepah dibuang apaan? Memangnya kamu siapa? Anak perawan? Masalah kata laki-laki buaya? Memangnya buaya tidak ada yang betina? Padahal contohnya sudah ada di depan mata! Ya kamu ini buaya betinanya!" tuding Tommy.

Kalimat provokatif Diana tadi menyulut emosi Tommy. Istimewa hatinya sedang gundah gulana seperti ini. Ia seperti mendapat panggung untuk melampiaskan segala kegalauannya.

Diana terperangah. Sungguh ia tidak mengira kalau Tommy sampai hati mengatainya seperti ini. Di mana Tommy yang dulu begitu penurut saat ia menginginkan sesuatu? Tommy yang begitu sabar, setiap kali ia merajuk? Diana tidak menyangka kalau kepribadian Tommy bisa berubah secepat ini.

"Dengar Dian, daripada kita saling memaki, sebaiknya kamu pergi. Aku sungguh-sungguh sedang tidak mood untuk berbicara atau melakukan apapun denganmu saat ini. Pergilah. Jangan membuatku mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakitkan dari ini." Tommy kembali duduk. Meraih sisa whiskey, dan meneguknya nikmat.

"Baiklah. Aku mengerti. Mungkin kamu sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk berbicara. Tetapi jika kamu membutuhkan teman mengobrol, kamu tau 'kan ke mana harus mencariku? Aku akan selalu ada untukmu. Aku menunggumu di apartemen ya, Tom? I love you."

Diana akhirnya mengalah. Ia masih menginginkan Tommy. Oleh karenanya ia memilih untuk mengalah dulu. Ia akan melihat berapa lama Tommy tahan untuk tidak mencarinya. Menjadi seorang pelakor seperti dirinya ini membutuhkan kesabaran tingkat dewa.

Tommy hanya mengangguk kecil. Namun bahasa tubuhnya tetap sama. Dingin dan acuh tak acuh. Sepertinya anggukan kepalanya itu hanya sekedar upaya agar ia segera menyingkir dari club ini.

Diana meradang. Tidak bisa begini. Ia tidak boleh membuat Tommy merasa tidak nyaman dengannya dengan bertingkah seperti pacar yang cerewet. Ia harus menjadi tempat Tommy pulang, atas segala kegaulannya. Itulah kemenangannya sebagai seorang pacar gelap. Membuat nyaman Tommy saat ia lelah dengan segala tingkah istrinya yang sok baik itu. Ia tidak boleh bersikap sama seperti Jihan. Ia harus tetap menjadi pelabuhan penghibur Tommy. Laki-laki memang suka kalau egonya dielus-elus bukan?

"Aku jalan dulu ya, Tom? Kalau kamu lelah dan ingin merelaksasi diri, Aku ada di apartemen? Aku akan selalu menunggumu pulang jam berapa pun dan kapan pun kamu pulang. Jangan lupakan itu." Diana kembali berusaha melembutkan hati Tommy.

Karena Tommy tidak lagi merespon kalimatnya, Diana  pun berlalu. Namun ia sempat mencercahkan sekecupan hangat di pipi Tommy, sembari mengucapkan kata i love you sekali lagi. Diana telah memutuskan, untuk sementara ia akan mengalah, semengalah-mengalahnya. Ia harus menahan egonya agar bisa menyelesaikan tujuannya. Ia akan terus bersabar menunggu Tommy benar-benar bosan pada kekeraskepalaan Jihan, dan akhirnya menemukan kenyamanan didirinya. Dan saat itulah, goalnya akan ia eksekusi. Ia siap menggantikan Jihan menjadi istri sah Tommy. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi.

***

"Han, di depan ada Tommy dan kedua mertuamu. Ayo, kamu temui dulu mereka. Ada ayahmu juga di sana." Jihan yang tengah melipat-lipat pakaian, menghentikan kegiatannya. Ibunya berdiri di ambang  pintu kamar. Membawa kabar yang seharusnya ia dengar delapan hari yang lalu.

"Baik, Bu. Nanti Jihan keluar. Jihan mengganti pakaian dulu."

"Baik. Ibu menunggumu di depan ya? Ingat walau hatimu sedang panas, kepalamu harus tetap dingin. Selesaikan masalah kalian dengan baik. Satu hal yang harus kamu ingat adalah, kamu sebentar lagi akan menjadi ibu dari dua orang anak, dan hidup itu tidak mudah. Ibu mengatakan ini bukan untuk menakutimu. Tetapi mengingatkanmu. Namun Ibu akan tetap mendukung apapun keputusan yang kamu ambil, walau ayahmu tidak. Mengerti, Han?"

"Mengerti, Bu. Ibu duluan saja. Sebentar lagi Jihan menyusul."

Setelah ibunya keluar dan pintu kamarnya tertutup, Jihan menggeser tumpukan pakaiannya ke samping koper yang telah terbuka. Selanjutnya ia beranjak ke depan lemari, dan meraih kulot berpinggang karet serta sehelai kaos oblong. Dengan cepat ia mengganti dasternya dengan kulot dan kaos. Setelah memasang kerudungnya dan mengecek penampilannya sekali lagi, barulah Jihan membuka pintu kamar dan menutupnya kembali perlahan. Ia takut kalau Niko terbangun.

Sejurus kemudian Jihan telah tiba di ruang tamu. Setelah menyapa dan menyalami suami dan kedua mertuanya, Jihan duduk di sofa yang berdekatan dengan kedua orang tuanya. Ia melewati sofa di samping Tommy. Jihan memang sengaja menghindari Tommy. Entah mengapa, sejak mengetahui bahwa suaminya ini telah berselingkuh, Jihan merasa tidak nyaman berada di dekatnya.

"Nah Jihan, berhubung suami dan kedua mertuamu telah datang menjemput, maka Ayah anggap persoalan ini selesai sampai di sini saja. Tommy tadi telah meminta maaf pada Ayah soal kekhilafannya dengan perempuan yang bernama Diana itu. Dan Ayah harap, kamu juga bisa berbesar hati untuk memaafkan kekhilafan Tommy. Sudah sewajarnya suami istri saling memaafkan bukan?"

Kalimat ayahnya membuat Jihan terdiam. Terkadang ia merasa heran melihat cara berpikir ayahnya yang terlalu menggampangkan perasaan perempuan. Hanya karena dirinya doyan berselingkuh, ayahnya jadi menganggap bahwa perselingkuhan itu seperti permainan petak umpet yang mengasyikan. Kalau tidak ketahuan lanjut, kalau ketahuan minta maaf karena khilaf. Ayahnya mencari pembenaran atas kegemarannya sendiri. Ayahnya egois.

"Ayahmu benar Jihan. Suami istri itu harusnya saling mengerti, saling mengayomi dan saling memaafkan. Tommy sebenarnya sudah berniat menjemputmu pulang, pada hari pertama kamu pergi. Hanya saja Ayah dan Ibu tidak setuju. Ayah dan Ibu ingin memberimu pelajaran, bahwa tidak baik sedikit-sedikit seorang istri minggat setiap ada masalah. Tidak baik kalau kamu grasa grusu dan emosi tidak menentu, sebelum kamu mendengarkan penjelasan Tommy dulu. Namun kini Ayah dan Ibu merasa, kami sudah cukup memberi pelajaran padamu, agar di waktu lain kamu tidak terbiasa minggat. Makanya kami sekarang ingin menjemputmu pulang." Kali ini Anwar, ayah mertuanyalah yang bersuara.

Sebenarnya yang salah siapa sekarang? Tommy yang selingkuh, atau dirinya yang minggat? Mengapa semua orang seolah-olah menutup sebelah mata atas kesalahan Tommy?

"Jadi menurut Ayah, suami istri itu harus saling mengerti, saling mengayomi dan saling memaafkan. Tidak boleh grasa grasu dalam bertindak, sebelum mendengarkan penjelasannya. Lantas mengapa saat Jihan bertemu dengan Hafiz dulu, Ayah tidak menasehatkan hal yang sama pada Tommy? Mengapa Ayah justru setuju kalau Tommy akan menceraikan Jihan, padahal Ayah dan Tommy belum menyelidiki kebenarannya?"

Kalimatnya membuat Anwar dan Tommy terdiam. Wajah keduanya merah padam dengan rahang yang bergerak-gerak. Alih-alih merasa malu karena telah melakukan standar ganda, ayah dan anak ini malah tampak marah.

Ingatan Jihan memutar kembali kejadian tahun lalu. Di mana salah seorang teman SDnya, Hafiz,  mengajaknya bertemu untuk membahas masalah reuni, di lobby hotel miliknya. Di saat yang sama, salah seorang rekan Tommy, melihatnya masuk ke dalam hotel bersama Hafiz. Tommy, tanpa mau mendengar kejadian yang sebenarnya, mengamuk dan berniat menceraikannya. Kedua mertuanya juga ikut-ikutan mengecamnya. Mereka mendukung penuh niat Tommy tanpa menyelidiki kebenarannya. Setelah Wita, istri Hafiz memberi kesaksian kalau ia juga ada saat pertemuan itu, barulah Tommy mengurungkan niatnya. Itu pun setelah Tommy memeriksa CCTV hotel dan melihat bahwa memang pertemuan itu juga melibatkan Wita.

Dan sekarang mereka semua dengan entengnya mengatakan bahwa kesalahan Tommy ini hanyalah kekhilafan semata. Bahwa seharusnya suami istri itu saling memaafkan. Terlihat sekali standar gandanya bukan?

"Tidak usah membahas-bahas masa lalu yang tidak ada relevansinya dengan masa kini. Sekarang Mas tanya, kamu mau pulang atau tidak?" tanya Tommy singkat.

"Tidak," jawab Jihan tak kalah singkat.

"Maksud kamu apa? Kamu masih mau tinggal di sini dulu? Sampai berapa lama? Kamu sudah delapan hari ini meninggalkan rumah!"

"Bukan," Jihan menggeleng tegas.

"Lantas?" Tommy kehilangan kesabaran mendengar kalimat-kalimat pendek Jihan.

"Jihan tidak mau pulang lagi ke rumah kita, karena Jihan ingin bercerai."

"Kamu sudah gila! Mas tidak ada hubungan apapun lagi dengan Diana. Mas hanya khilaf. Mas tidak mau lagi mendengar kata cerai dari mulutmu!"

Tommy bangkit dari sofa. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Jihan sampai berani meminta cerai darinya. Istimewa dalam keadaan hamil tua seperti ini. Lagi pula, dari dulu pun ia memang tidak punya hubungan apapun dengan Diana, kecuali hanya saling melampiaskan nafsu. Tidak ada masalah hati di antara mereka. Apalagi sekarang-sekarang ini. Ia bahkan sudah kehilangan minat untuk bermesraan dengan Diana. Mungkin efek dophaminnya sudah habis karena sudah ketahuan. Ia tidak merasakan sensasi apapun lagi terhadap Diana. Makanya ia tidak terima kalau Jihan sampai meminta cerai darinya. Demi apapun, ia tidak akan pernah menceraikan Jihan!

"Mas, selingkuh itu bukan suatu kekhilafan. Tapi kesengajaan. Dengan Mas berani berselingkuh, itu artinya Mas sudah tidak mencintai Jihan dan Mas tidak takut kehilangan Jihan. Karena apa? Karena sudah ada orang lain yang akan menggantikan Jihan. Lagi pula apa Mas pikir hubungan kita bisa kembali seperti biasa setelah kejadian ini? Tidak bisa, Mas. Seumur jam, setiap menit, setiap detik, Jihan akan selalu was was memikirkan apa yang Mas lakukan di luar sana. Terus menduga-duga apakah Mas sedang melakukan hal-hal yang tidak wajar tanpa sepengetahuan Jihan. Lama kelamaan Mas akan lelah terus dicurigai, dan Jihan muak dengan pikiran Jihan sendiri. Dan itu semua sangat melelahkan, Mas. Makanya Jihan ingin berpisah. Kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini," pungkas Jihan pasrah. Ia sudah lelah bolak balik memikirkan masalah ini. Tetap bersama namun tidak adanya kepercayaan satu sana lain, akan membuat rumah tangga mereka rapuh.

"Kamu bicara apa, Jihan? Kamu ingin bercerai dengan perut sebesar itu? Ayah tidak setuju!" Syahan memukul meja. Putrinya ini bodoh sekali. Hanya karena masalah sepele, ia mau bercerai. Kalau sampai itu terjadi, perempuan yang bernama Diana itulah yang akan bertepuk tangan. Perempuan itu akan bersanding bahagia dengan Tommy, sementara putrinya akan menjadi janda. Bagaimana ia tidak emosi mendengarnya?

"Maaf, Yah. Jihan tetap pada keinginan Jihan. Jihan sudah mempertimbangkannya masak-masak. Jihan tidak ingin dibunuh pelan-pelan oleh racun dalam pikiran Jihan sendiri. Jihan tetap ingin bercerai. Titik."

"Kamu ini lemah sekali! Hanya karena satu perempuan saja kamu sudah kalah. Contoh ibumu, atau ibu mertuamu. Mereka tetap setegar karang walau suami-suami mereka berpoligami. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat dalam kehidupan kami. Mengapa kamu tidak mencontoh mereka berdua?" sembur Syahnan lagi.

Jihan tersenyum maaygul. Baiklah, ia sudah terlalu lama menggenggam bara. Sudah saatnya ia melepas bara itu dari tangannya, agar para laki-laki di ruangan ini sadar. Bahwa betapa mereka telah salah menilai perasan pasangan mereka masing-masing.

"Istri-istri ayah berdua ini walau dipoligami tetap setegar karang? Kuat? Hebat? Apakah Ayah berdua ini pernah bertanya, apa sesungguhnya yang istri-istri Ayah berdua ini rasakan? Pernah tidak?" Pertanyaan Jihan membuat Syahnan dan Anwar membuang pandangan. Mereka tidak menyangka kalau Jihan berani memprotes mereka seperti ini.

"Asal Ayah tau, Jihan adalah saksi hidup bagaimana Ibu menangis setiap malam, saat Ibu menyangka kita semua sudah terlelap. Jihan adalah saksi hidup bagaimana Ibu memukuli dadanya sendiri, setiap Ayah meminta izin untuk menikah lagi." Syahnan tergugu. Ia sama sekali tidak mengira kalau Rianti melakukan semua itu. Sepengetahuannya Rianti itu tegar dan kuat. Dan kini saat ia melihat Rianti menyusuti air matanya kala Jihan bercerita, Syahnan telah menarik satu kesimpulan. Bahwa apa yang dikatakan putrinya itu benar.

Jihan kini menoleh pada ayah mertuanya. Ia juga ingin ayah mertuanya mengetahui satu hal. Bahwa sesungguhnya ayah mertuanya ini telah menyiksa batin ibu mertuanya sampai ke titik nadir.

"Yah, apakah Ayah tau kalau ibu pernah dua kali melakukan percobaan bunuh diri saat Ayah menikah lagi dua tahun lalu?"

"Jihan. Sudah! Jangan dilanjutkan." Fatimah Wiranata buru-buru meminta menantunya menghentikan kalimatnya. Ia tidak mau kalau kekalahannya, diketahui oleh suaminya. Ia tidak ingin terlihat lemah!

"Sekarang ayah berdua tau 'kan mengapa Jihan ingin bercerai? Dan tekad Jihan sudah bulat. Jihan tidak akan mengubah keputusan Jihan. Jihan akan segera mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
sesama besan sama brengseknya tukang selingkuh... kirain Tommy cuma selingkuh sama Diana aja ternyata tukamg jajan sembarangan juga
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status