Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya.
"Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah.
"Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan.
"Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.
Setelah itu dia berlari membuka pintu.
"Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.
Di detik berikutnya Sultan melotot saat melihat penampilan Hanna yang aneh. Tanpa berkata apapun Sultan menyeret Hanna menuju kaca rias yang memantulkan dirinya sendiri. Hingga tampaklah sesosok wanita sederhana tengah menatap bingung.
"Kamu tidak menyukainya ya?" tanya Hanna saat mengetahui alasannya.
"Sangat tidak suka." Tekan Sultan.
"Maaf, aku tidak tahu."
"Ya, kamu harus tahu. Aku membeli gamis itu lima tahun yang lalu saat kami masih berpacaran. Bagaimana bisa kamu memilihnya untuk tampil di depan kerabat dekatku? Gamis itu sudah jelek dan ketinggalan zaman."
Hanna menggigit bibirnya menahan tangis. Perkataan Sultan terdengar menyakitkan, tetapi memang benar adanya. Selera Hanna sangat buruk. Untuk pakaian saja Hanna tertinggal jauh bahkan dirinya tak tahu model.
"Paman selalu mengajarkanku untuk berpakaian sopan dan tertutup. Maka dari itu aku memilihnya, karena aku tidak mengenakan gaun yang pendek."
"Baiklah! Kali ini kamu aku maafkan. Kita tidak memiliki banyak waktu, dan temanku sedang menunggu. Sekarang kamu bisa gunakan sepatu ini. Ukuran kaki kalian berbeda sehingga aku harus membeli baru." Sultan menyerahkan bingkisan yang dibawanya pada Hanna, lalu berbalik.
Namun, baru tiga langkah berlalu Sultan menghentikannya. Tanpa berbalik dia berkata cukup tegas. "Poleslah sedikit wajahmu yang pucat itu, sementara aku bersiap-siap."
Tanpa berpikir panjang Hanna pun mematut dirinya. Ada banyak produk kecantikan yang tersedia di depannya, tapi cukup banyak juga yang tidak Hanna pahami fungsinya apa. Hanna jadi teringat Arimbi, wanita itu pasti sangat pandai memoles wajah. Wajar saja Sultan sangat mencintainya. Sambil mengingat-ingat wajah cantik Arimbi, Hanna menggunakan sedikit bedak berikut lipstik bewarna soft pink. Tidak lupa Hanna menyisir rambut panjangnya, dan menambahkan pita.
"Hmm, ternyata aku cantik juga." Hanna kagum melihat penampilannya yang baru.
Apalagi setelah mengenakan sepatu yang Sultan berikan, Hanna merasa seperti wanita tercantik di dunia. Di depan cermin wanita itu berputar-putar sehingga kedua sisi gaunnya mengembang. Saking girangnya Hanna sulit mengontrol gerakannya sendiri sampai melayang. Tepat di saat kaki Hanna terkelit Sultan datang dan menangkap tubuhnya yang nyaris terjatuh. Jantung Hanna berdebar kuat sekali, menatap sepasang mata Sultan.
"Masa kecilmu kurang bahagia ya?" Pertanyaan Sultan tidak Hanna hiraukan.
Wanita itu masih menatapnya tanpa berkedip. Sultan berdecih, lalu membenarkan posisi Hanna. Waktu mereka tidak banyak, Sultan sudah telat dari waktu yang ditentukan.
"Hmm, apa aku sudah terlihat cantik?" Hanna menatap penuh harap, sementara Sultan melirik jam tangannya.
"Ayo! Kita sudah terlambat."
"Jawab pertanyaanku dulu, Mas." Kali ini Hanna kekeuh, sedikit memaksa.
"Kamu cantik, tapi masih lebih cantik Arimbi istri pertamaku," jawabnya.
Hanna melotot. Rasanya kecewa sekali. Bahkan, Hanna menyesal telah bertanya demikian. Sultan memang tidak pernah tahu bagaimana perasaannya yang selalu dihempaskan.
***
Kerap kali Hanna tertinggal mengikuti langkah Sultan yang besar, menuju meja bundar yang menyediakan banyak makanan. Seorang lelaki sudah menunggu kedatangan mereka, dan dia tersenyum begitu melihat pengantin baru itu. Tenyata dugaan Hanna salah. Sultan tidak mengajaknya kencan, melainkan makan malam di salah satu ruangan rumah mereka sendiri.
"Selamat malam, Bro." Lelaki itu memeluk singkat Sultan. Keduanya tampak begitu akrab.
"Whoa, malam. Apa kami sangat terlambat?" tanya Sultan dengan cengirannya yang khas.
"Eum, tidak terlalu lama. Aku baru saja menunggu setengah jam lalu," jawabnya diiringi tawa.
Sepertinya mereka sudah lama tidak bertemu, Hanna jadi merasa tidak berguna. Selama keduanya asyik mengobrol dan saling bertanya kabar, Hanna melangkah mundur. Pada saat itulah temannya Sultan menyadari jika ada Hanna yang berdiri kikuk.
"Apakah dia wanita yang kamu ceritakan itu?" tanyanya pada Sultan, sambil melirik ke arah Hanna.
"Ya, betul. Kemari Arimbi, ini teman karibku." Sultan memanggilnya lembut.
Perlahan, Hanna datang mendekat. Matanya mengarah pada teman lelaki Sultan yang terus menatapnya intens. Bahkan Hanna dapat melihat dia sama sekali tidak berkedip. Dengan terpaksa Hanna mengulurkan tangannya, dan mereka berjabat tangan.
"Leonardo Dicaprio, kamu bisa memanggilku Leo." Lelaki itu tersenyum manis. Hanna mengangguk, buru-buru menarik tangannya.
"Maafkan sikap istriku. Dia memang agak pemalu." Sultan menarik kursi untuk Hanna, lalu memintanya duduk.
Leo tertawa hambar. Dari tempat duduknya yang bersebrangan dengan Hanna, dia terus menatapnya. Sultan tidak menyadari itu, karena Leo melakukannya dengan sangat baik. Sementara Hanna yang ditatap tentu saja merasa risih. Harapannya semoga acara makan malam mereka segera berakhir. Dia benar-benar muak.
"Kalau aku boleh tahu, di mana kamu menemukannya?" tanya Leo secara terang-terangan. Sultan terkekeh.
Menaruh kembali gelas yang baru saja diambilnya, Sultan pun berdeham. "Jangan bilang dia terlalu buruk untukku."
"Lebih baik dari sebelumnya." Leo berkata tegas, melirik Hanna yang kini menunduk.
Mendengar kedua lelaki itu membicarakannya Hanna terus menunduk, semakin enggan mendongak. Keduanya begitu santai membicarakan Hanna seolah dirinya tidak ada. Meski rasanya ingin menangis, Hanna mencoba untuk bertahan. Dia tidak mungkin meninggalkan Sultan, apalagi sampai membuat nama baiknya tercoreng.
Saat Hanna berhasil menghabiskan makan malamnya, dia memberanikan diri menegur Sultan yang masih asyik mengobrol. "Mas, apa kamu masih lama?"
"Ya, ada apa?" tanya Sultan, tatapannya begitu tajam.
"Eum, aku ingin balik duluan. Boleh?" Dengan hati-hati Hanna menyampaikan keinginannya, sontak Sultan melotot.
Braak! Sultan menggebrak meja di depannya, tampak sangat marah. Leo pun bangkit, meski tidak kaget lagi.
"Kamu tidak menghargai tamuku ya?"
"Dia sudah tidak sopan."
"Biarkan saja. Lagipula ada yang ingin aku bicarakan padamu, hal penting."
Sultan terdiam, dengan napas yang tidak beraturan dia berpikir. Cukup lama ditatapnya Hanna, sebelum akhirnya Sultan mengangguk yakin.
"Pergilah! Jangan kunci pintunya, malam ini aku tidur denganmu." Sultan memberi pesan, lalu kembali duduk.
Menyeka air matanya yang sempat menetes, Hanna mengangguk patuh. Sebelum beranjak Hanna menatap Sultan sekali lagi, berharap suaminya itu menoleh dan memastikannya kembali. Namun, bukan Sultan yang melakukan hal itu, melainkan Leo. Dia menatap Hanna kasihan. Matanya terus memperhatikan Hanna, sampai istri sahabatnya itu keluar melewati pintu.
"Tidak bisa!" bentak Sultan untuk ke sekian kalinya.Hanna berjengit. Untung saja bunda sudah tidur setelah meminum obat.Dengan hati-hati Hanna menyelimuti bunda, lantas berlari ke luar menuju suara Sultan. Tidak biasanya lelaki itu memarahi Ratih, apalagi kehadirannya sangat berarti bagi Arimbi. Namun, sepertinya masalah satu ini amat berat."Tuan, saya mohon. Ibu saya sedang sakit parah, dan dia membutuhkan kehadiran saya. Sungguh! Jika bukan Ibu saya yang sakit, tentu saya lebih memilih tinggal merawat Nyonya." Ratih menangis sesegukan, bahkan kedua tangannya memeluk kaki sang Tuan."Harus berapa kali aku katakan? Tidak bisa! Kamu akan tetap di sini.""Tuan, saya mohon ...""Mas, tidak semestinya kamu berbuat dzolim pada Ratih." Hanna mencoba menyadarkan Sultan.Melihat keberanian Hanna darah Sultan semakin melonjak naik. Kedua mata merahnya menatap Hanna, me
Pagi-pagi sekali Hanna bangun, mengurus dirinya lebih dulu sebelum mengunjungi kamar bunda, dan kamar Arimbi. Sekarang tugasnya bertambah, jadi Hanna harus pandai membagi waktu. Seusainya membereskan kamar yang menjadi pekerjaan rutinnya, Hanna langsung beranjak menuju kamar bunda untuk memastikannya sudah bangun."Selamat pagi, Bunda," sapanya penuh kehangatan.Ningsih tersenyum lebar. Kedua matanya berputar seolah mencari sumber suara Hanna. Dengan kasih Hanna mendekati sang bunda, lalu membantunya bersandar pada dipan."Bagaimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Hanna sembari mengusap rambut bunda yang sedikit berantakan."Bunda selalu bahagia semenjak ada kamu, Nak. Rasanya Bunda sangat beruntung memiliki menantu yang baiknya luar biasa seperti kamu.""Alhamdulillah, Arimbi senang mendengarnya." Hanna memeluk singkat wanita di depannya, dan tersenyum bahagia.Sambil mendengark
Seluruh perkataan Leo, Hanna simak dengan baik. Kepeduliannya tampak begitu nyata. Hanna tidak tahu mengapa Leo sangat peduli? Sikapnya yang bijaksana dan lembut dengan mudah meluluhkan hati keras Hanna.Menutup mata sejenak Hanna mulai gelisah dengan hidupnya. Akal dan perasaan Hanna tidak sejalan. Sejak awal membongkar makar Sultan, Leo terus meminta Hanna agar segera meninggalkan Kota. Namun, hatinya memilih tinggal. Bertahan di dalam ketidakadilan. Selain mencintai sang suami Hanna juga menyayangi bunda, beserta mengasihi Arimbi yang sakit.Mereka semua membutuhkan Hanna."Hanna, aku bisa melihat kamu wanita yang baik. Kamu juga berhak bahagia, di sini bukan tempatmu.""Tapi, aku hanya mempunyai suamiku." Hanna berkata getir."Suami hanya status, aku sungguh miris saat mengetahui wanita yang dijadikannya istri kedua adalah kamu.""Leo, aku tidak ada pilihan selain bertahan.
Setelah kepergian sang bunda untuk selamanya, Sultan semakin tidak bisa mengontrol emosinya dan bertambah parah. Apapun yang membuat Sultan marah, maka lelaki itu akan menjadi seseorang yang sangat tega. Bahkan, dia tidak sungkan menghabisi nyawa orang lain. Sudah berulang kali Sultan mendapat masalah karena membuat banyak rekannya mengalami sekarat.Sikapnya terhadap Hanna? Tentu saja semakin menjadi. Apa yang Hanna lakukan pasti selalu salah di matanya. Namun, pengecualian kepada Arimbi, dia tetap menjadi Sultan yang baik hati dan penyayang. Mereka jadi lebih sering bersama, sembari menunggu kabar baik dari Leo. Hanna sungguh mengerti dengan perasaan suaminya itu, jika hanya Arimbi satu-satunya kebahagiaan Sultan selama di dunia."Mas, apa kamu perlu bantuanku?" tanya Hanna, menatap Sultan dan Arimbi secara bergantian."Tidak." Sultan menjawab acuh.Bahkan, menoleh saja tidak. Hanna menghela napasnya, tapi t
Tidak tinggal diam Hanna juga ikut andil dan membantu Sutan mengemas barang. Meski tidak membawa banyak barang, ternyata juga membutuhkan dua ransel besar. Hanna memasukkan beberapa pakaian sehari-hari Arimbi, beserta alat yang memang sering dibutuhkan seorang wanita. Semua Hanna lakukan dengan ikhlas, hanya mengharap ridho Allah dan sang suami.Hatinya memang sakit, tapi akalnya masih sehat. Hanna tidak mungkin membenci atau membalas kejahatan seseorang padanya, apalagi orang itu adalah suaminya sendiri. Cepat atau lambat Hanna percaya kesabarannya akan berbuah manis. Suatu saat nanti."Arimbi, apa kamu melihat pakaian dalamku?" Sultan bertanya kepada Hanna yang tengah menata barang bawaan mereka."Sepertinya tidak, sebentar Mas, akan aku lihat di jemuran belakang." Hanna pun meninggalkan kerjaannya.Hanna berlari kecil agar cepat sampai, dan memberikan barang yang dicari Sultan. Tanpa berkata apapun Sultan m
Tinggal berdua dengan Marlina ternyata tidak menutup rasa kesepian Hanna. Berulang kali Hanna melihat kalender yang terpajang, menandainya, dan berharap hari berganti dengan cepat. Kehadiran Sultan selama ini mengambil tempat khusus di hati Hanna. Maka, ketika suaminya itu pergi Hanna begitu merindukan sosoknya. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar, dan menunggunya membuat Hanna resah sepanjang waktu."Nona, makanlah sedikit. Hampir seharian ini kamu tidak makan." Tidak menyerah Marlina terus membujuk Hanna. Menyuruhnya makan walau sesendok.Sesungguhnya, Marlina kasihan pada Hanna. Sultan selalu menyakitinya berulang kali, bahkan mengklaim jika dirinya tidak akan pernah mencintai wanita lain. Akan tetapi Hanna begitu kekeuh dengan perasaannya, sehingga menggantung harapan setinggi langit."Bu, apa Mas Sultan belum memberi kabar? Sudah seminggu dia pergi." Tatapan Hanna begitu sendu, terlalu lama memendam rasa rindu.
Satu bulan sudah berlalu semenjak dokter menyatakan Hanna hamil. Nomor ponsel Sultan masih belum bisa dihubungi. Tidak ada kabar darinya, membuat Hanna semakin cemas. Untung saja Marlina selalu mengingatkan akan kehamilannya. Kendati demikian rasa takut itu tidak bisa hilang seutuhnya, nasihat Marlina hanya mengurangi rasa gelisah bukan mendamaikan hati.Sama seperti Hanna, Marlina sebenarnya juga merasa cemas, mereka tidak mendapat informasi apapun. Ruang keduanya untuk mencari berita sangat terbatas. Setiap hari Marlina selalu berusaha menelepon, bahkan tembus sampai ratusan kali. Namun, hasilnya tetap nihil. Tidak ada yang bisa Marlina perbuat selain menyemangati, dan menghibur Hanna."Ini susunya, Non." Marlina menaruh segelas susu tepat di depan Hanna.Mengangguk sekali, Hanna menatap Marlina dengan gusar. "Bagaimana, Bu, apa teleponnya masih belum aktif?""Belum, Non. Baru saja tadi saya hubungi, sep
Ketika Marlina membuka pintu Hanna enggan melihat ke depan, rasa takutnya kian menjadi. Sampai akhirnya Hanna tersentak saat Marlina memegang pundaknya. Membuat arah pandang Hanna bertemu dengan seorang lelaki tua yang mengenakan baju koko biru.Wajah Hanna langsung berubah cerah. Tanpa basa basi Hanna berlari menghampiri lelaki tua itu, dan memeluknya erat. Menyampaikan rasa rindu yang tidak terhingga, serta meminta perlindungan padanya. Hanna benar-benar membutuhkan orang yang selalu siap melindungi."Eeeh, Nona." Marlina terpekik. Dia kaget sekaligus panik, dan berusaha menarik tubuh Hanna."Ibu, ini Pamanku dari desa." Hanna meminta pengertian Marlina, yang tatapannya seolah tidak menyukai.Sekali lagi Marlina menatap lelaki tua yang memegang ransel besar, lantas dia menarik tangan Hanna membuat jarak dengannya. Sebab Marlina perlu berbicara. Kedatangan lelaki itu pasti akan menjadi masalah untuk Hanna