"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara.
"Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli.
"Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka.
"Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.
Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.
"Eh ..." Tentu saja Hanna kaget.
Namun, Sultan tidak peduli. Dia malah menyimpan telepon itu ke saku, lalu melenggang pergi. Hanna mengejarnya di belakang, yakin sekali belum sepuluh menit. Dia butuh kepastian.
"Sudah sepuluh menit ya?" tanya Hanna sambil mensejajarkan diri.
"Sudah," jawab Sultan sekenanya.
Sikap Sultan memang selalu berubah-ubah. Ini pertemuan pertama mereka setelah Sultan mengabaikan Hanna seharian penuh. Melihat perlakuan lembut Sultan kepada Arimbi membuatnya enggan menggaggunya semalam, sehingga Hanna datang menemui bunda seorang diri. Untung saja beliau tidak menaruh rasa curiga sedikit pun.
Hanna pikir jika tidak ada telepon dari pamannya, Sultan masih belum menemuinya karena lelaki itu tampak marah sekali. Entah apa yang Hanna perbuat sampai dia sebegitu dingin? Yang jelas Hanna tak merasa bersalah.
Tiba-tiba langkah Sultan berhenti, lalu menghadap ke arah Hanna. Dia pun bertanya, "Kamu tidak ingin meminta maaf?"
Minta maaf? Terus terang Hanna menatap Sultan seperti orang bodoh.
"Ya, minta maaf padaku." Sultan kembali mengatakannya, membuat Hanna tersadar. Dia harus mengalah.
Jika ingin hubungan mereka kembali membaik, Hanna harus mengakui kesalahannya yang tidak dia ketahui. Mungkin bagi Sultan kata maaf dapat menjernihkan hatinya yang kering. Hanna juga tidak betah seperti ini terus, karena pesona Sultan dia bisa bertahan. Keinginannya untuk kabur dari rumah tergantikan dengan rasa selalu ingin berada di dekat Sultan.
"Hmm, ya, aku minta maaf." Hanna berkata lirih, dan sangat menyentuh.
"Berjanji padaku, kamu tidak akan mengulanginya lagi."
Sultan menatap Hanna tajam, yang ditatap buru-buru mengangguk. Takut Sultan berubah pikiran. Mungkin, untuk saat ini Hanna harus banyak mengalah demi perasaannya. Hanna yakin sekali suatu hari nanti Sultan akan membalas cintanya, meski itu butuh waktu yang lama. Sekarang Hanna hanya perlu banyak bersabar.
"Bagus! Sekarang kita berteman lagi," kata Sultan seraya merangkul Hanna.
Lelaki itu tertawa renyah sekali saat melihat Hanna tampak gugup. Hanna tidak pernah melihat Sultan sesantai ini sebelumnya, dan setiap momen yang baru selalu menjadi hal menarik untuknya. Membuat Hanna semakin cinta pada pesona Sultan yang lain.
"Arimbi, apa kamu sudah makan?" tanyanya sambil lalu, sesekali Sultan mengusap puncak kepala Hanna.
"Sudah baru saja," jawab Hanna.
"Makan pakai apa?" Sultan bertanya lagi, seakan belum puas dengan jawaban Hanna.
Ekor matanya terus melirik Hanna, hingga keduanya menginjak kamar.
"Pakai ayam panggang, sambal kecap, dan sayur rebusan."
"Kenapa tidak makan sop iga, Sayang? Marlina selalu memasaknya setiap hari, dan kamu harus memakan menu itu." Lagi, Sultan menekan kehendaknya.
Dengan lambat Hanna mengangguk, dan berkata lirih. "Ya, akan aku coba."
***
Dengan cepat Hanna menyiapkan segala keperluan Sultan di pagi hari. Seperti seragam kerja, memasak sarapan, sampai membersihkan sepatu. Untuk sarapan Sultan hanya ingin Hanna yang memasaknya tanpa alasan apapun. Selama itu bisa Hanna lakukan, maka permintaan Sultan akan terpenuhi. Hanna harap dengan perlakuannya Sultan bisa berubah.
"Sepertinya malam ini aku akan pulang larut malam." Beritahu Sultan.
"Oh, yaa ..."
Sultan mengangguk, mengelap mulut setelah menghabiskan segelas teh. "Kamu tidak perlu menungguku. Kalau ngantuk tidur saja, dan jangan lupa kunci pintunya."
"Jadi, kamu akan tidur di mana?" tanya Hanna begitu perhatian.
"Aku bisa tidur di kamar Arimbi, istri pertamaku. Sudah lama juga aku tidak tidur dengannya, mungkin malam ini."
Hanna tersenyum, sungguh mengerti. Memang seharusnya Sultan membagi waktu untuk kedua istrinya, apalagi Arimbi yang begitu membutuhkan kehadiran suami. Mendengar itu jelas Hanna bahagia, karena Sultan tidak berat kepadanya dan mencoba adil.
"Mulai besok kamu harus membuat jadwal, Mas." Hanna mengingatkan.
Kening Sultan mengernyit, menatap Hanna yang wajahnya sudah merah. "Jadwal apa?"
"Ya, anu, jadwal giliran. Ingat, Mas! Sekarang kamu sudah punya dua istri, dan kamu tidak boleh berat sebelah."
Melirik jam yang melingkar di tangan, Sultan bangkit setelah meraih berkas. Waktunya tidak lama lagi. Sebagai manager Sultan harus memberi contoh yang baik pada bawahannya untuk datang tepat waktu. Sultan mendekati Hanna, lalu mengecup keningnya.
"Sekarang aku harus berangkat kerja. Soal yang tadi, nanti akan kupikirkan." Saat Sultan mengatakannya wajah Hanna sudah semerah tomat. Tersipu.
Sambil menyisir rambut bunda yang hampir putih semua Hanna senyam senyum mengingat kejadian beberapa saat lalu. Sultan mengecup keningnya sebelum berangkat, memperlakukan Hanna sebagai istri sungguhan. Meski Hanna tahu Sultan sangat mencintai istri pertamanya, tapi lelaki itu tidak membantah jika sudah memiliki dua istri. Hal itu membuat Hanna lega.
"Nak, Arimbi, apa kamu sakit?" tanya bunda, menyadarkan lamunan Hanna.
"Ah, tidak, Bunda."
"Bunda pikir kamu sakit, soalnya sejak tadi kamu diam saja," terang bunda.
Melihat wajah cemas bunda Hanna jadi merasa bersalah. Tidak sepatutnya Hanna larut dengan kebahagiaannya sampai mengabaikan bunda. Dari luar Marlina datang tergopoh, membawa sepiring makanan dan beberapa obat. Sambil menaruh bawaannya Marlina melirik Hanna sekilas. Wanita itu pun tersenyum, lalu mendekat sang nyonya.
"Selamat pagi, Nyonya. Saya Marlina. Tadi tidak sengaja saya melihat Nona Hanna dan Tuan Sultan yang sedang bercengkrama. Nyonya harus tahu mereka terlihat begitu romantis dan sangat menggemaskan seperti anak muda pacaran." Cerita Marlina pada Ningsih. Seketika wajah Hanna tersipu.
Kening Ningsih mengeryit bingung, dan bertsnya. "Marlina, apa aku salah dengar? Kamu mengatakan Hanna bukan Arimbi."
"Hmm, maksud saya Nona Arimbi." Buru-buru Marlina memperbaikinya.
"Marlina, apa ada yang tidak aku ketahui? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?" Ningsih jadi curiga. Dia bukan wanita yang bodoh.
Menyadari kesenjangan itu Hanna langsung mengambil segelas air di atas meja. Dengan lembut Hanna membantu bunda untuk meminum sedikit, mencoba mengalihkannya.
"Bunda tidak boleh banyak berpikir." Suara halus Hanna terdengar menenangkan. Ningsih mengangguk.
"Tadi itu Ibu Marlina hanya salah sebut nama. Dia baru saja memberi makan kucing yang bernama Hanna, makanya sampai jadi salah sebut nama." Hanna memberi alasan yang masuk akal.
"Tapi Nak, perasaan bunda mengatakan jika Hanna itu ..."
"Kucing, Bun. Nanti Arimbi bawa Hanna ke sini ya. Bunda harus mengenalnya, biar tidak berpikiran yang aneh lagi." Jelas Hanna.
Semampunya Hanna menyakinkan sang bunda. Untuk masalah nama saja Hanna akan mendapatkan masalah yang berat, karena Sultan membenci jika nama itu masih berkeliaran di rumah. Sungguh! Semaksimal mungkin Hanna memilimasir kesalahan, kalau tidak ingin Sultan meledak-ledak.
Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya."Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah."Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan."Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.Setelah itu dia berlari membuka pintu."Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.Di de
"Tidak bisa!" bentak Sultan untuk ke sekian kalinya.Hanna berjengit. Untung saja bunda sudah tidur setelah meminum obat.Dengan hati-hati Hanna menyelimuti bunda, lantas berlari ke luar menuju suara Sultan. Tidak biasanya lelaki itu memarahi Ratih, apalagi kehadirannya sangat berarti bagi Arimbi. Namun, sepertinya masalah satu ini amat berat."Tuan, saya mohon. Ibu saya sedang sakit parah, dan dia membutuhkan kehadiran saya. Sungguh! Jika bukan Ibu saya yang sakit, tentu saya lebih memilih tinggal merawat Nyonya." Ratih menangis sesegukan, bahkan kedua tangannya memeluk kaki sang Tuan."Harus berapa kali aku katakan? Tidak bisa! Kamu akan tetap di sini.""Tuan, saya mohon ...""Mas, tidak semestinya kamu berbuat dzolim pada Ratih." Hanna mencoba menyadarkan Sultan.Melihat keberanian Hanna darah Sultan semakin melonjak naik. Kedua mata merahnya menatap Hanna, me
Pagi-pagi sekali Hanna bangun, mengurus dirinya lebih dulu sebelum mengunjungi kamar bunda, dan kamar Arimbi. Sekarang tugasnya bertambah, jadi Hanna harus pandai membagi waktu. Seusainya membereskan kamar yang menjadi pekerjaan rutinnya, Hanna langsung beranjak menuju kamar bunda untuk memastikannya sudah bangun."Selamat pagi, Bunda," sapanya penuh kehangatan.Ningsih tersenyum lebar. Kedua matanya berputar seolah mencari sumber suara Hanna. Dengan kasih Hanna mendekati sang bunda, lalu membantunya bersandar pada dipan."Bagaimana keadaan Bunda hari ini?" tanya Hanna sembari mengusap rambut bunda yang sedikit berantakan."Bunda selalu bahagia semenjak ada kamu, Nak. Rasanya Bunda sangat beruntung memiliki menantu yang baiknya luar biasa seperti kamu.""Alhamdulillah, Arimbi senang mendengarnya." Hanna memeluk singkat wanita di depannya, dan tersenyum bahagia.Sambil mendengark
Seluruh perkataan Leo, Hanna simak dengan baik. Kepeduliannya tampak begitu nyata. Hanna tidak tahu mengapa Leo sangat peduli? Sikapnya yang bijaksana dan lembut dengan mudah meluluhkan hati keras Hanna.Menutup mata sejenak Hanna mulai gelisah dengan hidupnya. Akal dan perasaan Hanna tidak sejalan. Sejak awal membongkar makar Sultan, Leo terus meminta Hanna agar segera meninggalkan Kota. Namun, hatinya memilih tinggal. Bertahan di dalam ketidakadilan. Selain mencintai sang suami Hanna juga menyayangi bunda, beserta mengasihi Arimbi yang sakit.Mereka semua membutuhkan Hanna."Hanna, aku bisa melihat kamu wanita yang baik. Kamu juga berhak bahagia, di sini bukan tempatmu.""Tapi, aku hanya mempunyai suamiku." Hanna berkata getir."Suami hanya status, aku sungguh miris saat mengetahui wanita yang dijadikannya istri kedua adalah kamu.""Leo, aku tidak ada pilihan selain bertahan.
Setelah kepergian sang bunda untuk selamanya, Sultan semakin tidak bisa mengontrol emosinya dan bertambah parah. Apapun yang membuat Sultan marah, maka lelaki itu akan menjadi seseorang yang sangat tega. Bahkan, dia tidak sungkan menghabisi nyawa orang lain. Sudah berulang kali Sultan mendapat masalah karena membuat banyak rekannya mengalami sekarat.Sikapnya terhadap Hanna? Tentu saja semakin menjadi. Apa yang Hanna lakukan pasti selalu salah di matanya. Namun, pengecualian kepada Arimbi, dia tetap menjadi Sultan yang baik hati dan penyayang. Mereka jadi lebih sering bersama, sembari menunggu kabar baik dari Leo. Hanna sungguh mengerti dengan perasaan suaminya itu, jika hanya Arimbi satu-satunya kebahagiaan Sultan selama di dunia."Mas, apa kamu perlu bantuanku?" tanya Hanna, menatap Sultan dan Arimbi secara bergantian."Tidak." Sultan menjawab acuh.Bahkan, menoleh saja tidak. Hanna menghela napasnya, tapi t
Tidak tinggal diam Hanna juga ikut andil dan membantu Sutan mengemas barang. Meski tidak membawa banyak barang, ternyata juga membutuhkan dua ransel besar. Hanna memasukkan beberapa pakaian sehari-hari Arimbi, beserta alat yang memang sering dibutuhkan seorang wanita. Semua Hanna lakukan dengan ikhlas, hanya mengharap ridho Allah dan sang suami.Hatinya memang sakit, tapi akalnya masih sehat. Hanna tidak mungkin membenci atau membalas kejahatan seseorang padanya, apalagi orang itu adalah suaminya sendiri. Cepat atau lambat Hanna percaya kesabarannya akan berbuah manis. Suatu saat nanti."Arimbi, apa kamu melihat pakaian dalamku?" Sultan bertanya kepada Hanna yang tengah menata barang bawaan mereka."Sepertinya tidak, sebentar Mas, akan aku lihat di jemuran belakang." Hanna pun meninggalkan kerjaannya.Hanna berlari kecil agar cepat sampai, dan memberikan barang yang dicari Sultan. Tanpa berkata apapun Sultan m
Tinggal berdua dengan Marlina ternyata tidak menutup rasa kesepian Hanna. Berulang kali Hanna melihat kalender yang terpajang, menandainya, dan berharap hari berganti dengan cepat. Kehadiran Sultan selama ini mengambil tempat khusus di hati Hanna. Maka, ketika suaminya itu pergi Hanna begitu merindukan sosoknya. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar, dan menunggunya membuat Hanna resah sepanjang waktu."Nona, makanlah sedikit. Hampir seharian ini kamu tidak makan." Tidak menyerah Marlina terus membujuk Hanna. Menyuruhnya makan walau sesendok.Sesungguhnya, Marlina kasihan pada Hanna. Sultan selalu menyakitinya berulang kali, bahkan mengklaim jika dirinya tidak akan pernah mencintai wanita lain. Akan tetapi Hanna begitu kekeuh dengan perasaannya, sehingga menggantung harapan setinggi langit."Bu, apa Mas Sultan belum memberi kabar? Sudah seminggu dia pergi." Tatapan Hanna begitu sendu, terlalu lama memendam rasa rindu.
Satu bulan sudah berlalu semenjak dokter menyatakan Hanna hamil. Nomor ponsel Sultan masih belum bisa dihubungi. Tidak ada kabar darinya, membuat Hanna semakin cemas. Untung saja Marlina selalu mengingatkan akan kehamilannya. Kendati demikian rasa takut itu tidak bisa hilang seutuhnya, nasihat Marlina hanya mengurangi rasa gelisah bukan mendamaikan hati.Sama seperti Hanna, Marlina sebenarnya juga merasa cemas, mereka tidak mendapat informasi apapun. Ruang keduanya untuk mencari berita sangat terbatas. Setiap hari Marlina selalu berusaha menelepon, bahkan tembus sampai ratusan kali. Namun, hasilnya tetap nihil. Tidak ada yang bisa Marlina perbuat selain menyemangati, dan menghibur Hanna."Ini susunya, Non." Marlina menaruh segelas susu tepat di depan Hanna.Mengangguk sekali, Hanna menatap Marlina dengan gusar. "Bagaimana, Bu, apa teleponnya masih belum aktif?""Belum, Non. Baru saja tadi saya hubungi, sep