Mone tersenyum ramah sambil menyapa beberapa orang yang sempat berkenalan dengannya setelah dua minggu Mone bekerja di tempat ini. Mone melewati beberapa ruangan divisi lain untuk menuju ke ruangannya.
Interior kantor ini setiap divisi memiliki ruangan masing-masing, hal itu membuat kantornya memiliki lorong-lorong yang di kanan-kirinya berisi ruangan tiap-tiap divisi dengan pintu dan kaca yang membuat siapa pun yang melintas di lorong tersebut dapat melihat aktivitas di dalamnya.
"Pagi, Bu Mone," sapa Dini, rekan satu divisinya, yang terlihat sedang menikmati sarapan di mejanya.
"Pagi, semuanya." Mone balas menyapa semua orang yang ada di ruangannya, yang setelah sapaan Dini, mereka bergantian untuk menyapa Mone.
"Bu, tadi ada titipan sarapan kayak biasa. Udah aku taro di meja, ya." Fara teringat dengan lontong sayur yang tadi pagi ia terima untuk sarapan Mone.
"Oh, iya. Thank you, Fara." Mone tersenyum ramah.
"Tuh, Far. Punya pacar tuh dikirimin sarapan, bukan stiker W******p." Dion meledek Fara yang setiap pagi hanya menyeduh energen. Padahal, Fara memang tidak biasa sarapan.
"Hei, ngaca dong, Yon! Lo sendiri punya pacar dikirimin sarapan, gak?"
"Cewek gue mah tau gue masih miskin, jadi udah gue beliin promag satu kotak buat stok sebulan."
Mone tertawa mendengar timnya yang saling mengejek.
Lalu, Mone membuka pintu menuju ke ruangannya. Posisi Mone sebagai manajer membuatnya memiliki ruang tersendiri dalam ruangan divisinya. Mungkin tata letak kantornya terkesan agak rumit, tapi Mone menyukainya karena bentuk seperti ini menjaga privasi setiap divisi. Serta agar berkas-berkas antar divisi tidak saling tertukar.
Mone melihat kantong plastik berisi lontong sayur di atas mejanya. Ia tersenyum, semenjak pindah ke Jakarta, Pandu memang hampir setiap hari mengiriminya sarapan. Katanya, untuk mengganti karena mereka tidak bisa sarapan bersama. Mone cukup menghargainya meski sesekali ia juga ingin sarapan bersama Pandu. Sayangnya, Pandu harus sarapan bersama keluarganya.
Mone mengembuskan napasnya saat memikirkan itu lagi. Pandu sudah berkeluarga, dan memiliki seorang anak. Ya. Hubungan Mone dan Pandu berlangsung tanpa ada yang tau. Alasan mengapa Mone terus mengeluh pada Pandu. Alasan mengapa Mone tidak bisa memperkenalkan pacarnya pada siapa pun. Ralat, alasan Mone harus selalu memperkenalkan Pandu adalah Kakaknya pada semua orang.
Benar. Pandu adalah kakaknya. Tepatnya, kakak tirinya. Pandu adalah anak dari suami ibunya. Semenjak ibunya meninggal, Mone tinggal bersama bapak tirinya dan Pandu. Untungnya, bapak tirinya tidak sedrama koran-koran lampu merah, begitupun dengan Pandu, yang selepas ibunya meninggal, adalah orang yang menemani Mone selama ini.
Ponsel Mone bergetar, menandakan ada telpon masuk. Ia melirik nama pemanggil di layar Ponselnya, rupanya Pandu.
"Pagi, Sayang," sapa Pandu.
Mone selalu menyukai cara Pandu memanggilnya, juga suara berat Pandu yang bernada lembut. Mone menyukainya dan nyaris gila, karena keadaan yang tidak berpihak padanya.
"Pagi, Mas."
"Kamu udah sampe kantor?"
"Iya, udah. Ini lagi makan lontong sayurnya. Makasih ya, Mas."
Mone memakan lontong sayur sambil memeriksa beberapa dokumen di mejanya, ia lalu berdiri sambil mengapit ponsel di bahunya, dan keluar ruangannya.
"Far, tolong foto kopiin ini dua lembar ya. Nanti aja kalo kamu udah selesai makan." Mone menyerahkan satu set dokumen pada Fara yang mejanya paling dekat dengan ruangannya.
"Ok, Bu."
"Makasih ya, Fara." Mone tersenyum ramah, lalu kembali ke ruangannya.
"Gimana tadi, Mas? Kamu minggu depan ada acara ke Jogja?" Mone bertanya perihal yang terlewat tadi saat ia bicara dengan Fara.
"Iya, aku ada beberapa meeting di Jogja. Kamu masih punya jatah cuti?"
Mone memperhatikan kalender di mejanya, melihat jadwal untuk minggu depan. Jatah cutinya memang masih banyak, cuma karena ia belum ada sebulan mengantor di Jakarta, ia segan untuk mengajukan cuti.
Namun, kesempatan melewati hari bersama Pandu adalah hal yang langka.
"Aku coba selesain kerjaan yang urgent dulu deh, nanti baru ngajuin cuti. Kamu berapa hari di Jogja?"
"Urusan kantor dua hari, Senin dan Selasa. Tapi kalo kamu ikut, kita berangkat hari jumat malem."
"Oke, deh. Aku usahain, ya."
"Mon, udah dulu ya. Kantor udah mulai rame nih. Nanti pulang ngantor aku telpon lagi."
"Oke, bye."
Sambungan terputus.
Mone kembali fokus dengan pekerjaannya. Memeriksa email masuk di komputernya, sambil menghabiskan lontong sayurnya yang tersisa sedikit.
Terdengar ketukan dari pintu ruangan Mone, tak lama Fara masuk sambil membawa beberapa dokumen yang tadi Mone berikan.
"Ini ya, Bu." Fara menaruh dokumennya di meja Mone.
"Oke. Makasih, Fara."
***
Jam makan siang Mone memutuskan untuk makan di kantin gedung yang berada di lantai dasar. Sudah seminggu belakangan ini ia makan di kantin, biasanya Mone memasak untuk bekal makan siangnya. Namun, sejak tragedi minggu lalu, Mone masih membenci wajannya dan tidak ada niatan untuk memasak.
Kejadian dengan Rafka sudah berlalu selama seminggu dan selama seminggu Mone tidak berhubungan sama sekali dengan Rafka. Meskipun Rafka mengatakan ingin membahasnya, tapi Rafka sama sekali tidak menghubunginya. Mungkin Rafka lebih memilih untuk melupakan kejadian itu.
Mone sudah membawa nampan berisi pesanannya, namun ia melihat bangku kantin sudah terisi semua. Kemarin-kemarin ia memesan dengan teman-temannya untuk menempati bangku terlebih dulu. Tapi, karena jam sepuluh tadi Mone keluar kantor, teman-temannya tidak tau Mone akan makan di kantin.
"Bu Mone!"
Mone mendengar namanya dipanggil, lalu ia menemukan Fara sedang melambaikan tangan ke arahnya. Ia juga melihat bangku di sebelah Fara tidak terisi.
Mone tersenyum, lalu berjalan ke arah Fara dengan membawa nampannya.
"Kamu makan sendirian, Far? Yang lain makan di mana?"
"Di sini, Bu. Si Fara kalo masi ama cowoknya kita mana boleh duduk bareng dia, itu dia caper aja ama Bu Mone, biar di rekomendasiin naek gaji." Suara Dion yang duduk di belakang bangku Fara terdengar, lagi-lagi mencela Fara seperti biasa.
"Iya bener. Fara tuh lebih tega liat kita makan jongkok daripada ngijinin gabung sama dia kalo ada cowoknya." Laely menimpali ucapan Dion.
Mone tertawa mendengarnya. "Wah, berarti kehormatan banget dong buatku."
"Ya, kan, caper, Bu." Dini ikutan memojokkan Fara.
"Berisik lo pada. Awas lo ya, kalo gue naek gaji, gak bakal gue traktir." Fara menoleh ke meja belakangnya dan mengomeli teman-temannya. "Bohong mereka, Bu. Aku sering ngajak, kok, tapi jiwa jomblo mereka suka meronta-ronta tiap aku makan siang bareng pacar aku." Fara nyengir.
Mone tersenyum memaklumi.
Fara dan teman-temannya bersyukur memiliki atasan baru seperti Mone, karena umur yang tidak terpaut jauh, cara bekerja Mone pun cukup santai dan mau bergabung dengan mereka. Berbeda dengan atasan sebelumnya, yang hanya mau bergabung dengan sesama manager. Sedangkan, Mone justru tidak terlalu suka bergabung dengan para manager, karena rata-rata mereka sudah berumur, jadi kurang nyambung juga pembahasannya. Tentu saja Mone tidak suka membahas pekerjaan di jam makan siang.
"Cowok kamu ke manain, Far? Dia gak papa kan aku gabung?"
"Tadi lagi angkat telpon, Bu. Di sini berisik jadi keluar dulu. Gak papa kok, dia santai orangnya."
Mone mengangguk, sambil menyuapi sendok ke mulutnya.
Tak lama, Mone melihat seorang cowok berjalan ke arahnya. Cowok itu tampak berkutat dengan ponselnya sehingga tidak memperhatikan sekitar. Mata Mone memicing, tidak salah. Itu Rafka.
"Maaf ya, lama. Temen aku lagi sidang di pengadilan pajak, jadi nanya-nanya, deh, tadi."
Rafka duduk di hadapannya—tepatnya hadapan Fara—tapi karena Mone duduk di sebelah Fara, tentu saja Mone tetap bisa melihat Rafka.
Mone mendengus, sepertinya Rafka belum menyadari keberadaannya karena masih fokus dengan ponselnya.
Tenyata, pacar Rafka itu Fara. Teman kantornya.
Iseng, Mone menyapa, "Hai, Raf."
Mone dapat melihat Rafka menghentikan aktivitas mengetiknya, dan perlahan ia menegakkan kepala lalu menoleh ke arah Mone.
Mone tersenyum, sementara Rafka masih terpana.
Fara yang mendengar Mone menyapa Rafka ikut-ikutan menoleh pada Mone. Bagaimana bisa atasannya mengenal Rafka?
"Mone?"
"Kalian saling kenal?" tanya Fara.
Mone mengangguk. "Rafka temen SMA aku. Temen kuliah juga."
"Wah, dunia sempit banget emang. Ini Bu Mone, atasan baru yang pernah aku ceritain waktu itu, Raf. Kamu inget, kan?"
Rafka ingat. Tapi, ia tidak menyangka jika atasan yang diceritakan Fara itu Mone. Barusan Mone bilang apa? Teman SMA dan Kuliah? Oh, oke. Mungkin Mone tidak enak dengan Fara.
"Berarti pas kemarin temen SMA Rafka nikah, Bu Mone dateng juga?"
Pertanyaan Fara sukses membuat Rafka yang sedang minum es tehnya tersedak.
Fara menoleh pada Rafka, khawatir. Namun, Rafka mengisyaratkan dia tak apa-apa.
"Iya, dateng. Aku sempet ketemu Rafka. Tapi, kamu kok gak ikut ya, Far?"
"Iya. Aku ada acara pas itu. Jadi gak bisa ikut."
"Mantep tuh, Far. Cowok lo temennya Bu Mone, makin kenceng buat naek gaji." Dini yang mendengar percakapan di meja Fara ikut berkomentar.
"Ya ampun, ini meja tetangga kok nguping aja!"
Sementara Mone dan Fara mengobrol, Rafka tampak diam saja seolah menyimak. Padahal Rafka masih shock harus bertemu kembali dengan Mone paska kejadian hari itu. Rafka belum sempat menghubungi Mone karena beberapa alasan. Kini, ia malah harus bertemu Mone dalam keadaan seperti ini.
"Far, aku ke atas duluan, ya. Nanti jam dua mau keluar kantor lagi, aku perlu siapin beberapa dokumen. Nanti kalo ada yang penting info ke aku ya. Bye." Mone berdiri terlebih dahulu, lalu pergi dari meja tersebut.
***
Rafka melihat Mone keluar dari lobi gedung kantornya sambil membawa map plastik berisikan dokumen. Teringat ucapan Mone saat di kantin yang mengatakan akan keluar kantor, dengan keluar melalui lobi berarti Mone tidak naik kendaraan pribadi.Rafka yang baru keluar dari basement parkir gedung tersebut, seketika menghentikan mobilnya di depan lobi, lalu membuka kaca jendelanya untuk memanggil Mone."Mone!" panggil Rafka. Mone yang sedang melihat ke ponselnya menenggak, lalu melihat Rafka dalam mobil di hadapannya. "Kamu ke arah mana?""Neo Soho.""Bareng aku aja, sekalian lewat."Mone berpikir sebentar. Rafka pasti akan membahas lagi kejadian tempo hari, Mone sebenarnya malas membahasnya. Tapi, mengingat sejak tadi ia mencari taksi online tak kunjung dapat, akhirnya Mone menyetujui ajakan Rafka."Emang kamu mau ke mana?" Mone memasang sabuk pengamannya, lalu memutar kaca spion mobil Rafka untuk merapikan rambutnya."Balik ke kantor.""Loh, kantor kamu bukan di sekitaran sini? Jadi emang
Angkringan malam Jogja yang berjejer di sebelah selatan Monumen Tugu ramai di kunjungi para wisatawan lokal. Akhir pekan memang selalu menjadi favorit para pengunjung yang berasal dari berbagai kota untuk menghabiskan minggu di Kota Yogyakarta. Terbukti dari ramainya tempat-tempat wisata malam di setiap jumat atau sabtu malam. Dari mulai kedai kopi yang estetik dengan live musik, sampai angkringan kopi joss di samping jalan monumen tugu yang diiringi musik dari beberapa pengamen yang melintas.Rafka termasuk dalam golongan keduanya. Setelah dua jam lalu menikmati kopi di kedai kopi yang namanya sedang naik daun karena terkenal di i*******m, kini Rafka berada di angkringan kopi joss untuk menikmati kopi yang fenomenal di Jogja."Raf ... Raf ... lambung kamu kalo bisa nangis udah nangis kali tuh. Baru dua jam lalu kamu minum kopi." Fara yang melihat arang yang masih menggolak dalam gelas kopi Rafka, menggelengkan kepalanya melihat Rafka yang meminum kopi dalam jangka waktu berdekatan."K
"Mone?"Rafka terkejut saat bertemu Mone menggeret kopernya di minimarket hotel. Di sebelah tangannya Mone tampak membeli beberapa kaleng minuman beralkohol.Rafka sendiri belum bisa tidur, mungkin efek kafeinnya baru terasa, hingga memutuskan untuk membeli rokok di minimarket yang masih berada di lingkungan hotel."Aku mau bayar." Mone menunjuk kasir yang berada di belakang Rafka, mengisyaratkan agar Rafka minggir, sebab menghalangi jalan Mone.Rafka pun minggir, membiarkan Mone menyelesaikan transaksinya. Ia masih bertanya-tanya, mengapa jam satu malam Mone malah membawa koper?"Kamar di sini udah penuh, aku mau nyari penginapan deket sini." Mone menjelaskan, sambil memberikan beberapa lembar uang pada kasir.Rafka semakin tidak paham. Ini sudah jam satu malam. Untuk apa Mone mencari penginapan lagi? Jika mereka bertengkar seperti malam itu, bukankah seharusnya Pandu yang mengalah dan mencari penginapan lain?"Kamu tau penginapan lain deket sini?" Mone sudah berbalik, kini bertanya
Kaleng ketiga kembali dibukanya setelah dua minuman kaleng Mone habis. Tanpa banyak bicara, Mone menikmati minuman kalengnya, sambil memperhatikan pemandangan kota Jogja pada malam hari dari jendela hotel.Tak banyak kendaraan yang melintas, hanya satu atau dua dalam setiap menitnya. Mone menyesap minuman dalam kalengnya, meski kepalanya mulai terasa pusing karena efek alkohol yang sudah mulai bekerja, Mone tetap menghabiskan kaleng ketiganya. Berharap seluruh isi dalam kepalanya lenyap seketika. Berharap seluruh rasa sakitnya dapat luruh selagi kesadarannya mulai mengabur.Mone menyandarkan kepalanya pada bagian belakang sofa. Saat ini posisi duduknya menyamping, untuk persiapan tidur di sofa. Hari sudah semakin malam saat Mone ngotot akan mencari penginapan lain, dan Rafka, yang saat itu mati-matian mencegah Mone untuk tidak keluar dari area hotel lalu menyarankan agar Mone tidur di kamarnya.Tadinya, Rafka ingin menyarankan Mone agar tidur di kamar Fara. Hanya saja, Rafka berusaha
12 Tahun Yang LaluKijang super milik Bapak digunakan Pandu selama Bapak cuti kerja. Pandu mengantarkan Mone yang ngotot ingin masuk kuliah, padahal Pandu yakin kondisi Mone belum stabil. Selama dua malam, Pandu mendengar Mone terus menangis di dalam kamarnya.Namun hari ini, dengan wajah yang semakin memprihatinkan, Mone memilih untuk masuk kuliah. Akhirnya Pandu memaksa untuk mengantar Mone karena takut terjadi sesuatu dengan Mone saat di jalan."Mas nunggu di KFC depan, ya. Kalo kamu gak mau ikut kelas sampe abis, nanti Mas jemput di sini."Mone menatap Kakak tirinya yang sejak hari ibunya meninggal tampak mengkhawatirkannya. "Mas Pandu pulang aja, nanti aku pulang sendiri. Makasih, Mas." Mone turun dari kijang tersebut tanpa mengindahkan ucapan Pandu kemudian.Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Mone bertemu beberapa orang yang dikenalnya. Mereka mengucapkan bela sungkawa pada Mone, saat itu Mone berusaha tersenyum tegar menanggapi seluruh ucapan bela sungkawa teman-temannya.Ta
"Mone!" Dika berteriak dengan dramatis, lalu memeluk Mone diikuti dengan teman-temannya.Beberapa orang di stasiun ikut menoleh karena perilaku teman-teman Mone yang tampak rusuh saat melihat Mone ada di sana."Gila, Raf. Lo lagi latihan poligami apa gimana?" Deni yang melihat keberadaan Fara, yang ia ketahui sebagai pacar Rafka saat ini, jelas tidak mengerti saat melihat Mone ikut datang dengan Rafka."Gak sengaja ketemu," sahut Rafka."Eh kalian nginep di Vila ya? Gue mau ikut dong." Perhatian Mone kini sepenuhnya dengan teman-temannya.Bagas yang lebih dahulu terpikirkan untuk mengeluh saat mendengar ucapan Mone. "Ah kacau! Kamarnya cuma dua, Mon. Alamat tidur di ruang tamu lagi deh.""Lo udah pada kerja masih aja nyewa vila dua kamar gitu. Udah tau tidur gak pada bisa diem, seneng amat tumpuk-tumpukan." Mone memprotes dengan kelakuan mereka, mengingat terakhir kali mereka berlibur ke vila di kawasan Puncak, Bogor. Kamar yang hanya ada dua, sedangkan mereka berjumlah tujuh orang sa
Mobil yang di rental Rafka mampir ke hotel terlebih dahulu sebelum berlanjut ke vila yang telah di pesan teman-temannya untuk stay selama di Jogja. Rafka dan Mone perlu mengambil beberapa barang yang masih tertinggal di hotel.Mone bersyukur dengan kebetulan hari ini, setidaknya niat menghabiskan waktu dengan Pandu selama di Jogja yang berakhir tragis, tergantikan dengan liburan bersama teman-teman SMA nya. Meskipun Mone seringkali di teror dengan pertanyaan yang sama, ke mana saja selama delapan tahun, dan mengapa teman-temannya ikut menjadi korban dalam kandasnya hubungan Mone dan Rafka karena tidak diberi kabar Mone sama sekali.Menanggapi pertanyaan itu Mone hanya tertawa tanpa ada niatan untuk bercerita. Ia hanya menjawab sekenanya, seperti, "Pokonya delapan tahun ini gue sibuk nanjak karir, lanjut S2, ikut training sana sini, hadir seminar, terus fokus ikut tes buat naik jabatan deh. Demi bisa berkata 'Bye kemiskinan, welcome kekayaan dan kejayaan'."Beruntung teman-temannya tak
Setelah seharian jalan-jalan ke tempat wisata di sekitaran Jogja, Mone dan teman-temannya tampak kelelahan dan berebut tempat tidur. Total kasur yang hanya ada tiga, terdiri dari dua ukuran double dan satu single, yang mana diletakkan dalam satu kamar satu Kasur single dan double, dan kamar satunya lagi satu kasur double.Sebenarnya perhitungan tempat tidur sudah diatur sedemikian rupa untuk mereka yang semula hanya berlibur lima orang. Satu kamar dengan satu Kasur double akan diisi oleh Rafka dan Bagas, sedang kamar satunya untuk Dika, Farel, dan Deni. Tapi semuanya kacau karena Mone ikut menginap dan memakai satu Kasur berukuran double. Jadilah dua Kasur yang tersisa menjadi rebutan anak-anak cowok."Enggak, enggak! Lo minggir, ini kasur gue. Lo tidur di sofa sana!" Dika menendang Bagas yang sudah hendak mengambil tempat tidurnya."Geseran, kek. Gue nyetir dari pantai kidul ke sini, pegel woi." Bagas masih berusaha menyempil di antara Dika dan Farel."Rafka, sempit! Lo tidur gak bis